Puisi di Tugu Keris
Daviatul Umam
Terkadang sebuah karya seni tidak butuh takarir apa pun, apalagi jika takarir itu hanya numpang nyampah, alih-alih menambah kekuatan nilai artistik atau kesan yang terpancar dari karya seni itu. Dengan kata lain, cukuplah ia "berbicara banyak" kepada kita dengan estetika dan filosofi yang dikandungnya sendiri.
Dalam kasus monumen tugu keris Kota Sumenep yang baru, terlepas dari problem pembangunan, lokasi yang dipilih, bentuk tugunya, bahkan penamaan Kota Keris itu sendiri yang masih perlu dipertanyakan sampai sekarang, saya dan teman-teman menyayangkan beberapa oret-oretan di tugu tersebut. Dua di antaranya adalah puisi Ibnu Hajar dan kata-kata (sok) bijak dari Bupati Fauzi tentang seni. Tapi saya ingin lebih fokus pada puisinya saja yang konon penyairnya meraup honor 150 juta. Ya, masih sebatas "konon", belum dapat divalidasi, tetapi tetap bisa dicurigai. Negative thinking kadang kala diperlukan agar kita tidak terus-terusan dibodohi.
Lantas, atas dasar apa penempelan puisi itu di tugu keris? Kenapa harus Ibnu Hajar yang dipilih untuk menuliskannya? Inilah pertanyaan besar yang tumbuh di benak kami.
Pertama, menurut kami, tidak ada alasan yang lebih logis ketimbang adanya "perselingkuhan puisi dan oligarki" sebagaimana tema Ngaji Teater ke-174 yang dihelat tempo hari. Selain itu, hal tersebut seolah hendak meneguhkan bahwa Sumenep memang punya perhatian besar terhadap budaya dan warisan leluhur, yakni keris, sekaligus menggembar-gemborkan diri bahwa Sumenep sangat melek literasi. Masalahnya, benarkah demikian? Anda bisa mendengar jawabannya langsung dari para empu di Aeng Tongtong serta para penulis yang begitu menjamur di kota keris(is) ini. Jangan tanya kepada pemangku kekuasaan!
Kedua, kenapa tidak D. Zawawi Imron saja yang "dimintai" puisi meskipun puisinya yang sekarang tidak sebagus dulu? Setidaknya beliau merupakan sastrawan cum budayawan yang saat ini paling dituakan di Sumenep, bahkan di Madura. Toh puisi Ibnu Hajar yang kini terpampang di tugu juga tidak seberapa. Lagi pula, kenapa harus puisi? Lebih-lebih puisi yang kurang---untuk tidak mengatakan "tidak"---merepresentasikan sejarah, filosofi, serta fungsi dari keris atau perjuangan masyarakat yang menempa hidup di dunia perkerisan Sumenep itu sendiri.
Ketiga, mengenai mutu puisi. Kalau kita mau berdebat soal estetika, barangkali hingga kiamat pun tidak bakal kelar-kelar. Namun, coba saja kita perhatikan, kira-kira apa yang bisa kita nikmati dari puisi ode dan persuasif di bawah ini, yang masih asyik masyuk dengan gaya Pujangga Baru? Kita dijejali imaji-imaji alam yang kelewat klise serta diksi-diksi curhatan anak remaja yang sedang mabuk asmara seperti "kitab waktu", "halaman semesta", "bilah-bilah sukma", "lautan imaji", "bibir cakrawala", dan di larik terakhir kita dikejutkan dengan klausa "aku masih setia menjilati semerbak melati". Yaps, menjilati.
Corak puisi semacam itu sudah didobrak sejak puluhan tahun silam oleh Chairil Anwar, dan lucunya, sempat muncul sebuah judul berita di koran lokal yang menyebut Ibnu Hajar sebagai Chairil Anwar-nya Madura. Chairil yang mana? Nah, yang harus saya tekankan di sini, puisi kita tentu saja boleh jelek sebagaimana puisi Pak Zawawi yang kita dewakan itu tidak semuanya bagus. Puisi saya pun masih kacau. Sangat kacau. Tapi, persoalannya adalah, pantaskah puisi jelek tertoreh gagah di sebuah tugu yang dapat disaksikan jutaan umat, terlebih pengunjung dari mancanegara?
Sumenep, 20 Maret 2025
Dari akub FB: Daviatul Umam