Moralitas Berangkat dari Altruisme: Fondasi Etika dalam Kehidupan Sosial
Ilustrasi; Moralitas Berangkat dari Altruisme: Fondasi Etika dalam Kehidupan Sosial
Oleh: Ahmad Rizal
Moralitas dalam diri manusia baru dapat dipahami secara lebih mendalam ketika perkembangan ilmu saraf menunjukkan peran otak dalam proses moral. Pertanyaan mengenai letak moral dalam otak manusia telah menjadi kajian yang berkembang, terutama sejak tahun 1995, ketika para ilmuwan mulai memahami bahwa spesies lain, seperti simpanse, juga menunjukkan perilaku moral.
Sebagai contoh, beberapa hewan seperti kuda dan ular tidak menunjukkan moralitas, yang dapat dikaitkan dengan kurangnya jumlah atau aktivitas neuron cermin yang memungkinkan individu merasakan keberadaan dirinya dan orang lain. Individu yang bermoral adalah mereka yang memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dan orang lain, sehingga mampu berempati dan bertindak altruistik.
Simpanse, misalnya, menunjukkan perilaku moral dengan menolong sesamanya yang dalam bahaya, seperti ketika salah satu anggotanya jatuh ke sungai. Sebaliknya, spesies seperti kuda tidak memiliki respons serupa terhadap anaknya yang berada dalam situasi berbahaya.
Altruisme merupakan dasar dari moralitas, di mana individu menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan makhluk lain, bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Dengan demikian, moralitas bukanlah sesuatu yang eksklusif bagi manusia.
Spesies lain seperti lumba-lumba juga menunjukkan perilaku moral, seperti menolong sesama atau bahkan spesies lain. Hal ini dapat dijelaskan oleh keberadaan kesadaran diri dan empati dalam otak mereka. Jika lumba-lumba tidak memiliki kesadaran eksistensial, maka mereka tidak akan mampu menunjukkan perilaku tersebut.
Dalam kehidupan sosial, moralitas sering dikaitkan dengan seperangkat aturan, norma, dan nilai yang mengatur perilaku individu. Salah satu faktor fundamental yang melandasi konsep moralitas adalah altruisme, yakni kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Altruisme berperan sebagai basis dalam berbagai sistem etika dan ajaran agama serta menjadi elemen esensial dalam menjaga keharmonisan sosial.
Altruisme sebagai Inti Moralitas
Altruisme dapat didefinisikan sebagai perilaku prososial yang bertujuan memberikan manfaat kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan langsung. Dalam ranah filsafat moral, konsep ini telah dikaji oleh berbagai pemikir, termasuk Auguste Comte yang pertama kali memperkenalkan istilah "altruisme" sebagai antitesis dari egoisme (Comte, 1851). Menurut Comte, suatu masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang anggotanya menunjukkan kepedulian terhadap sesama.
Dari perspektif evolusi, teori seleksi alam yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1859) serta kajian lebih lanjut oleh Richard Dawkins (1976) mengindikasikan bahwa altruisme memiliki nilai adaptif dalam kelangsungan spesies. Pada banyak organisme sosial, perilaku altruistik dapat meningkatkan peluang bertahan hidup suatu kelompok, meskipun terkadang mengorbankan individu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa moralitas tidak hanya merupakan konstruksi sosial, tetapi juga memiliki basis biologis yang kuat.
Manifestasi Altruisme dalam Kehidupan Sosial
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, altruisme termanifestasi dalam berbagai bentuk tindakan yang mendukung kesejahteraan sosial. Beberapa contoh konkret dari penerapan moralitas berbasis altruisme meliputi:
- Gotong royong dalam masyarakat, yang mencerminkan kerja sama kolektif tanpa mengharapkan kompensasi material secara langsung.
- Kegiatan sukarela dan kerja sosial, di mana individu mendedikasikan waktu dan tenaga mereka untuk membantu pihak yang membutuhkan.
- Empati dalam interaksi interpersonal, yang mendorong individu untuk memahami, merespons, dan mendukung orang lain secara tulus.
Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan bahwa altruisme bukan sekadar konsep teoretis, tetapi merupakan elemen integral dalam dinamika sosial yang dapat memperkuat kohesi dalam suatu komunitas.
Tantangan dalam Penerapan Altruisme
Meskipun altruisme diakui sebagai prinsip moral yang ideal, implementasinya di masyarakat menghadapi berbagai kendala. Dalam sistem sosial yang semakin kompetitif dan berorientasi materialistik, kepentingan pribadi kerap mendominasi interaksi sosial. Selain itu, terdapat perdebatan akademik mengenai apakah tindakan altruistik selalu murni, atau justru merupakan strategi sosial untuk memperoleh pengakuan dan manfaat jangka panjang (Batson, 1991).
Namun, studi dalam bidang psikologi positif menunjukkan bahwa perilaku altruistik berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan psikologis pelakunya. Fenomena ini dikenal sebagai helper’s high, yakni perasaan kepuasan dan kebahagiaan yang timbul setelah seseorang membantu orang lain (Luks, 1988). Dengan demikian, altruisme tidak hanya menguntungkan penerima bantuan, tetapi juga berdampak positif bagi pemberinya.
Altruisme merupakan aspek fundamental dalam pembentukan moralitas dan etika sosial. Dengan menanamkan nilai kepedulian terhadap sesama, masyarakat dapat berkembang menuju kondisi yang lebih harmonis dan berkeadilan. Meskipun terdapat tantangan dalam penerapan altruisme, upaya untuk menumbuhkan budaya kepedulian sosial sejak dini dapat berkontribusi pada pembentukan peradaban yang lebih humanis dan berkelanjutan.
Sebagai suatu prinsip moral, altruisme tidak hanya bersifat pilihan, tetapi juga kebutuhan dalam menciptakan tatanan sosial yang berlandaskan nilai-nilai moralitas sejati.
*Ahmad Rizal saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN MALANG)
Pilihan