Goresan Lima Perupa Negeri Garam: Bermain-main dengan Garis sebagai Kekuatan Bahasa dalam Lukisan
https://www.rumahliterasi.org/2025/02/goresan-lima-perupa-negeri-garam.html
Oleh: Hidayat Raharja
Sketsa jarang sekali dianggap sebagai karya yang telah selesai, karena kesederhanaan bentuk garis dan warna. Pada hal sebelum karya lukisan atau karya seni rupa diselesaikan diawali dari bentuk sketsa. Entah tertuang di atas kertas atau digambarkan dalam bayangan imajinasi yang kemudian dituangkan ke atas kanvas.
Di antara sekian pelukis sangat sedikit yang menjadikan sketsa sebagai karya mandiri, sebagai lukisan sketsa. Di Indonesia tidak banyak yang menekuni sketsa sebagai lukisan. Di antaranya dapat dicatat ada Henk Ngantung, Ipe Makroef, Lim Keng, Tedja Soeminar, M. Thalib Prasojo. Mereka ulet menekuni garis hitam putih sebagai cara mereka mengungkapkan obyek yang ditangkap dan diolah sebagai karya.
Kali ini Lima Perupa Negeri Garam: Yayan VD, Sigit Purnomo, Hendri R Sidik, Ochez Sumantri, Hidayat Raharja menjelajahi garis dan tinta hitam untuk menggoreskan sketsa sebagai sebuah karya akhir yang dipamerkan di Gedung Kesenian Pamekasan atau Eks Tapsiun, 22 Februari s/d 13 April 2025.
Di antara hiruk pikuk seni lukis mereka menawarkan alternatif melihat sebuah karya seni rupa dengan permainan garis dan warna hitam. Garis sebagai bahasa para pelukis untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman keseharian. Garis yang bisa dimiliki dan dibuat oleh siapa pun. Garis sebagai wujud untuk menyampaikan keinginan-keinginan atau pun untuk menangkap peristiwa.
Mereka ingin mengembalikan garis sebagai kekuatan dalam gambar, dan warna hanyalah pelengkap sehingga lukisan menjadi lebih hidup. Namun bukan berarti yang hitam putih tidak hidup. Justru kesedehanaan merupakan tantangan untuk menjadikan obyek hidup dan berbicara kepada penikmatnya.
Ochez, Konsep karyanya menjadikan garis untuk mewujudkan beberapa bentuk baik manusia, hewan, dan benda-benta lain sebagai metafora. Ia selalu mengungkapkan rasa yang berkembang, dari imajinasi jadi sebuah ide dalam karyanya. Baginya karya adalah puisi dalam bentuk garis (yang tak berkata) tetapi mampu berkomunikasi dengan apresiatornya.
Lukisan-lukisan Hendry R Sidik, Karya-karyanya menunjukkan perjalanan waktu, masa lalu, hari ini dan masa akan datang. Setiap detik, menit, jam, hari bulan, tahun, abad, selalu mengingat kebesaran Allah sang pencipta semesta alam. Garis bagi Hendry merupakan jalan ibadah untuk mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya.
Masa lalu telah membatu, namun sebagai prasasti ia membentuk hari dan masa yang akan datang. Karenanya bagi Hendry lukisan merupakan salah satu bentuk rasa syukur di dalam mengarungi kerasnya hidup pada hitam putihnya kehidupan.
Sigit Purnomo, menjadikan lukisan sebagai catatan harian perjalanan sehari-hari. Menurutnya, karya berupa aliran merupakan suatu bahasa ungkap dengan berbagai bentuk bertemu dengan penikmatnya. Karyanya akan berbeda-beda, karena bahasa yang digunakannya berbeda. Setiap gaya adalah bahasa ungkap yang berbeda, namun tidak akan menghilangkan esensi dari kekhasan garis dan warna yang digunakannya.
Yayan VD, baginya semua memiliki makna. Lukisan garis sebagai anasir utama dalam lukisan, menyangkut elemen-elemen figuratif, gambaran ruang dan latar atau penuh dengan bayangan. Elemen gelap dan kontras yang kuat dapat menggambarkan kesedihan yang mendalam, kehilangan, atau ketidakberdayaan. Yayan melihat bahwa pemilihan warna, seperti; hitam, abu-abu, coklat, jingga dan lainnya bisa menciptakan suasana melankolis dan menunjukkan perasaan terhimpit atau terpuruk. Kontras warna yang minim juga dapat menggambarkan kehilangan atau kebingungan.
Saya melihat garis adalah salah satu bagian penting dalam menyampaikan pesan dalam lukisan. Garis, milik dari tiap orang. Dari garis dapat dilihat emosi seseorang dalam karyanya sekaligus menjadi karakteristisk yang membedakan antara satu dengan lainnya. Dalam ketergesaan banyak pesan yang tersimpan dan tersampaikan.
*****
![]() |
Beberapa pajakan skstsa dari para pelukis |
Lima individu dengan lima corak garis yang berbeda. Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa garis merupakan sikap individu sebagai karakter dalam menyampaikan pesan lewat lukisan. Persoalannya bukan lagi bagus atau tidak bagus tetapi akan terlihat bahwa garis berbicara dengan segala keterbatasan dan keuatannya untuk menyampaikan pesan.
Apa yang diharapkan dari lima pelukis dalam pameran in? Sederhana , mereka ingin membuka jalan untuk mengembalikan dunia seni lukis sebagai dunia keseharian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Peristiwa keseharian yang lepas dari tangkapan atau sering kali kita lupakan.
Hendry memainkan garis sebagai jalan untuk mensyiukuri. Ia meihat bahwa tak ada yang harus lepas dari garis takdir, sehingga dalam menjalaninya ia seperti garis yang memilki titik awal dan titik akhir. Jalan yang taidak terlepas dari getaran-gertaran untuk menyampaikan seluruh rasa yang dimilikinya dalam obyek garis yang ditekuninya. Sering kali garis-garis Hendry seperti jalinan yang membentuk obyek tertentu, kadang serupa mesin yang bergerak dan menggetarkan suatana. Getaran garis yang menuntun kepada yang dekat dan kepada yang jauh.
Apa keseharian yang dilukiskan Sigit Purnomo adalah keseharian yang kadang amat dekat dnegan kita sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang biasa. Adagium “kepala batu” adalah keseharian yang sering kita ucapkan untuk orang yang sulit berubah meski yang dilakukannya salah, dan merasa benar. Ia melukisanya dengan tubuh dan kepalanya berubah jadi batu. Menggelikan dan menjengkelkan. Lukisan-lukisan pak sigit memang tidak jauh dengan hal keseharian yang kita hadapi dengan metafor-metafor yang gampang kita tangkap.
Ochez Sumantri. Salah seorang pelukis yang fasih menaklukkan garis ke dalam bentuk yang ekspresif meski tidak anatomis namun mampu melakukan ekspresi bentuk yang khas. Sehingga dalam karya-karyanya terlihat personalitas goresan Ochez dalam berbagai wujudnya. Karya-karyanya memiliki spirit dalam gerakan garis saling menjalin namun tidak menghilangkan harmoni dalam kesatuannya.
Beberapa karya yayan terlihat sangat anatomis dan realis. Namun Yayan tidak sekedar memindahkan obyek ke atas kertas atau kanvas. Pada obyek sektsa atau lukisannya Yayan juga menitipkan pesan yang sangat metaforis. Semisal pada sketsa yang berjudul “Salted Fish,” ia tidak hanya memindahkan obyek tapi pesan metafor yang membuat imajinasi kita bergerak ke persoalan-persoalan ikan dan laut.
Garis sebagai kekuatan bahasa seni lukis tidak berhenti hanya sampai wujud tetapi di dalamnya ada metafor, pesan yang perlu dibaca. Garis yang menjadi batas dalam kehidupan kita sekaligus sebagai penunjuk arah. Maka lima pelukis ini hanya memanfaatkan garis untuk menyampaikan permasalahan mereka dalam keseharian. Garis, sketsa, lukisan tak ubahnya seperti bahasa ucap yang kita pergunakan dalam percakapan sehari-hari. Selamat menikmati!
Sumber: akun FB Hidayat Raharja
Pilihan