Pertemuan di Stasiun Kereta
https://www.rumahliterasi.org/2025/01/pertemuan-di-stasiun-kereta.html
Cerpen: May Dindy
Stasiun kereta api itu ramai seperti biasanya. Suara panggilan kereta datang dan pergi memenuhi udara, diiringi oleh gemuruh roda besi yang melintasi rel.
Di tengah keramaian itu, seorang remaja laki-laki, Rizky, duduk di bangku sambil memperhatikan ponselnya. Sesekali dia melihat ke arah jam dinding, tampak seperti sedang menunggu seseorang atau sesuatu.
Di sudut yang lain, seorang remaja perempuan, Siska, memasuki stasiun dengan wajah ceria. Ia baru pertama kali mengunjungi kota tersebut untuk berwisata. Dengan tas ransel besar di punggungnya dan peta di tangan, dia tampak sedikit kebingungan mencari arah.
Siska menghampiri Rizky yang tampak lebih mengenal tempat itu.
"Permisi, mas, boleh tanya? Saya butuh tahu arah ke Candi Borobudur. Katanya naik kereta dari sini?"
Rizky tersenyum melihat Siska yang tampak kebingungan.
"Iya, betul sekali. Kamu turis ya? Dari mana asalnya?"
"Saya dari Bandung," jawab Siska sambil tersenyum.
"Namaku Siska. Kamu sendiri?"
"Aku Rizky, aku asli sini. Kalau mau ke Borobudur, kamu bisa naik kereta yang ke arah Yogyakarta, nanti turun di stasiun Magelang. Aku juga kebetulan mau jalan-jalan ke sana. Bagaimana kalau kita bareng saja?"
Siska terlihat senang mendengarnya. "Wah, bagus banget! Aku jadi nggak perlu bingung-bingung sendiri."
Mereka pun memutuskan untuk membeli tiket bersama dan menunggu kedatangan kereta. Sambil menunggu, mereka berbicara soal banyak hal. Saling menceritakan latar belakang mereka, mimpi, dan rencana masa depan. Percakapan mengalir dengan begitu mudah, seolah mereka sudah mengenal lama.
"Siska, kamu suka traveling gak? Aku sering banget jalan-jalan ke berbagai tempat di Indonesia, seru banget!" Rizky tampak antusias.
"Suka banget! Tapi ini pertama kalinya aku ke Jawa Tengah. Aku penasaran sama Candi Borobudur dan segala cerita di baliknya,"
Siska menjawab dengan penuh semangat.
"Kamu sering ke sana?"
"Iya, sudah beberapa kali. Nanti aku ceritain semua yang aku tahu di sana."
Beberapa jam perjalanan pun terasa singkat karena mereka asyik berbincang. Setibanya di Magelang, mereka jalan kaki dari stasiun menuju candi. Di tengah perjalanan, Rizky memutuskan untuk jujur kepada Siska.
"Siska, ada yang harus aku katakan. Sebenarnya, aku sudah menikah dan punya anak."
Siska terkejut mendengarnya. Wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi kaget.
"Kamu serius? Kenapa nggak bilang dari tadi?"
"Aku minta maaf. Aku tadi nggak mau langsung bilang karena takut kamu nggak mau bareng. Tapi, aku merasa kita harus jujur satu sama lain," jelas Rizky dengan suara rendah.
Siska tampak kecewa.
"Kenapa kamu nggak bilang dari awal? Ini penting banget, loh. Aku pikir, kita bisa lebih dari sekadar teman..."
Rizky menghela nafas.
"Aku benar-benar minta maaf, Siska. Aku nggak bermaksud bikin kamu kecewa. Aku cuma berpikir kita bisa tetap berteman walau aku sudah punya keluarga."
Siska terdiam sejenak, mencoba meresapi kata-kata Rizky.
"Aku hargai kejujuran kamu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkan ini semua."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang berbeda. Meski masih berbincang, ada batas yang kini terasa jelas di antara mereka. Siska sesekali terlihat merenung, memikirkan apakah dia masih ingin melanjutkan pertemanan ini atau tidak.
Sampai di Candi Borobudur, pandangan Siska sudah lebih tenang. Ia memutuskan untuk tetap menikmati perjalanan ini dan belajar memaknai pelajaran dari setiap pertemuan, meski terkadang kenyataannya tidak selalu seperti yang diharapkan.
Rizky dan Siska tetap menjalin percakapan, meski dengan batasan yang lebih jelas, sembari menikmati keindahan candi yang kokoh dengan segala sejarahnya.
Ini menjadi pelajaran bagi keduanya bahwa sikap jujur dan terbuka adalah hal penting dalam setiap hubungan, apalagi ketika harapan terlanjur tumbuh.
Pilihan