Melayang Dalam Ikatan Takdir (Bagian 1)
Cerpen: Hidrotul Haya
Zainal adalah seorang pemuda desa yang memiliki paras tampan dan senyuman yang manis. Seringkali senyumannya membuat meleleh para kaum hawa yang melihatnya. Namun, dari sekian banyak wanita yang menginginkannnya hanya satu Wanita yang dapat meluluhkan hati Zainal yang dingin seperti Kutub Utara, yakni Azizah.
Azizah adalah gadis yang memiliki paras manis dengan kedua lesung pipit di wajahnya. Mereka berdua adalah sepasang sahabat sedari kecil, rumah mereka pun berdekatan hanya berjarak dua ladang yang memisahkan rumah mereka. Mereka selalu bersama dan sulit untuk dipisahkan, seperti api dan kayu dalam perapian, keduanya menciptakan panas dan cahaya yang tidak hanya menghangatkan tetapi juga menerangi.
Sama seperti persahabatan mereka yang saling mendukung dan memberikan kekuatan satu sama lain. Namun siapa sangka dalam persahabatan itu Zainal menganggap Azizah lebih dari sekadar teman, ada rasa yang meluap luap dalam hatinya Ketika berdekatan dengan Azizah dan Zainal menyadari bahwa hal itu adalah cinta yang sedang bersemi dalam hatinya.
Tetapi Zainal takut untuk mengungkapkannya kepada Azizah karena takut persahabatan mereka merenggang di sebabkan sedari mereka kecil Azizah sudah menganggap Zainal sebagai kakaknya. Hingga pada suatu hari Zainal sudah tidak kuat menyimpan gelora cinta dalam dadanya, dia memutuskan untuk menyatakan perasaannya, meskipun dia akan tertampar dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, semisal Azizah tidak menerima cintanya.
Pada hari itu Zainal mengajak Azizah bertemu di Sungai tempat favorit mereka selama ini.
“Azizah sudah lama kita tidak kesini”
“Iya Zainal, kita sering kali sibuk dengan tugas Sekolah dan Madrasah sehingga jarang berkunjung kesini.Oh ya Zai katanya tadi kamu ingin membicarakan sesuatu, apa yang ingin kamu bicarakan Zai?”
“Iya memang ada yang ingin aku bicarakan. Sudah lama aku memikirkan hal ini untuk mengatakannya kepadamu namun aku tidak memiliki keberanian, tapi pada akhirnya sekarang aku beranikan diri mengatakannya kepadamu”.
“Ada apa Zainal? Kamu bikin aku penasaran, apa yang ingin kamu sampaikan?”
“Azizah kita sudah kenal cukup lama dan kamu adalah teman sekaligus sahabat yang sangat berarti buat aku, aku merasa nyaman setiap kali kita mengobrol dan berbagi cerita denganmu”
“Aku juga merasa begitu, Zai. Kamu selalu ada buat aku”
“Itu dia Azizah, seiring waktu, perasaan aku ke kamu bukan Cuma sebagai sahabat. Aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dari itu.”
“Maksud kamu…?”
“Maksud aku, aku suka sama kamu Azizah. Bukan hanya sebagai sahabat, tapi lebih dari itu. Aku ingin tahu, apakah kamu merasakan hal yang sama terhadapku?”
“Zainal, aku tidak menyangka kamu bilang ini. Jujur saja, aku juga merasa ada sesuatu yang berbeda antara kita. Tapi aku butuh waktu untuk merenung dan memastikan perasaanku sendiri”
“Aku mengerti Azizah. Aku tidak mau terburu-buru atau memaksakan. Aku Cuma ingin kamu tahu perasaanku dan semoga apapun keputusanmu, kita bisa tetap menjadi sahabat yang baik.
“Terima kasih sudah jujur Zai. Aku sangat menghargai itu. Mari kita beri waktu dan lihat bagaimana nanti.
Pada malam harinya Azizah memikirkan perkataan Zainal, dia menimbang apakah perasaan yang juga bergejolak di dalam hatinya itu adalah cinta seperti yang di rasakan Zainal. Ternyata Azizah juga merasakan hal yang sama dengan Zainal, Azizah sering kali merasa gugup dan jantungnya tidak beraturan Ketika berdekatan dengan Zainal, dari hal itu Azizah menyimpulkan bahwa dia juga menyukai Zainal. Azizah membulatkan niatnya besok pagi-pagi dia akan pergi mengatakan perasaannya kepada Zainal. Keesokan harinya Azizah mengajak Zainal untuk bertemu di Sungai untuk membicarakan perasaannya yang sama.
“Zai setelah aku menela’ah isi pikiranku dan isi hatiku…ternyata…”
“Ternyata kenapa Azizah?”
“Ternyata aku juga mencintaimu, cintamu tidak bertepuk sebelah tangan Zai,” jawab Azizah.
“Apakah kamu mengatakan yang sebenarnya Azizah, atau kamu mengatakan hal ini karena ingin menjaga perasaanku?”
“Apakah kamu tidak mempercayaiku Zainal? Aku mengatakan sebenarnya, aku juga mencintaimu,” Azizah menatap manik mata Zainal dengan tatapan teduh.
Zainal membalas tatapan Azizah dengan senyuman lalu dia menjawab pernyataan Azizah
“Aku percaya padamu Azizah, aku harap cinta kita tidak hanya sebatas kata, tapi aku harap cinta kita sampai kepada hadapan allah SWT.”
“Aku juga berharap seperti itu Zainal, aku tidak ingin berpisah denganmu, aku menyayangimu aku ingin kita bersama sampai kita menua, dan menggapai ridhanya Bersama.”
“Azizah….”
“Ya, Zai?”
“Aku berjanji padamu selesai kita lulus Aliyah ini, aku ingin meminangmu kepada kedua orang tuamu, dan menikahimu lalu hidup Bersama dan menua denganmu.”
“Aku juga berharap seperti itu Zai, dan aku juga ingin kamu bisa menepati janjimu.”
“Satu lagi Azizah…”
“Apa Zai?”
“Apakah kamu tidak akan meninggalkanku apapun keadaannya?”
“Aku berjanji padamu Zai, aku tidak akan pernah meninggalkanmu, aku akan selalu menjadi sandaranmu jika kamu butuh, aku juga ingin menjadi Penawar dahagamu di kala letih, intinya aku ingin selalu bersamu,” Ucap Azizah di iringi dengan senyumannya yang memikat.
“Aku tidak bisa kehilanganmu Azizah, kamu sudah seperti separuh hidupku, aku ingin kita Bersama selamanya,” ucap Zainal.
Mereka menghabiskan waktu di pinggir Sungai dengan menikmati senja yang mulai nampak di ufuk barat. Kebahagiaan menguasai hati kedua pemuda yang sedang dimabuk cinta itu, serasa dunia hanya milik mereka berdua. Mereka mengikat janji disana untuk selalu Bersama apapun keadaannya. Mereka akan menghadapi bersama apapun resikonya.
Mulai hari itu Zainal merasakan kebahagiaan yang tiada tara, seperti tanah tandus yang menunggu hujan dan penungguannya tidak sia-sia. Ternyata hujan turun membasahi tanah yang kering hingga menumbuhkan benih-benih cinta dengan lebatnya, tanpa bisa Zainal mengelak benih-benih itu tumbuh.
Suatu pagi Zainal berangkat Sekolah Bersama dengan sahabat sekaligus pujaan hatinya. Mereka melewati pematang Sawah dan jalan Aspal yang hitam dengan saling bercanda dan melepas tawa, seakan-akan mereka tidak merasakan kesusahan apapun.
Setelah sampai di Sekolah mereka menuntut ilmu, Zainal mengantarkan Azizah ke kelasnya, karena kelas mereka berbeda, Zainal mengantar Azizah terlebih dahulu. Setelah mengantarkan Azizah dia menuju ke kelasnya yang berada di paling ujung sekolah, Zainal melangkahkan kakinya melewati pelataran kelas dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Banyak gadis yang menyapanya, tapi Zainal tidak menggubris karena hatinya telah terpaut pada Azizah, Wanita yang sudah menguasai perasaannya.
Sampailah Zainal di depan kelasnya, dia segera masuk dan duduk di kursinya. Temannya Ibrahim melihat raut wajah Zainal yang begitu cerah seperti sangat Bahagia. Hal itu membuat Ibrahim penasaran dan bertanya kepada Zainal.
“Heh Zainal, akhir-akhir ini aku lihat kamu begitu Bahagia, ada apa Zai,” Aku penasaran soalnya biasanya tampangmu seperti Kutub Utara, tapi sekarang cerah banget, kan aneh” tanya Ibrahim.
“Kamu mau tahu aku kenapa Ibrahim?”
Ibrahim mengangguk
“Sejak beberapa terakhir ini, rasanya hidupku seperti bunga yang mekar dimusim semi.”
“Maksudnya Zai? Apakah ada hal yang membuatmu seperti itu?”
“Kamu tahu Ibrahim ada seseorang yang berhasil mencairkan dinginnya es di hatiku, rasanya seperti matahari yang hangat setelah malam yang Panjang.”
“Hmm jadi kau sedang jatuh cinta Zai? Siapa Wanita yang dapat mencairkan Kutub Utara di hatimu itu,” tanya Ibrahim semakin penasaran.
“Azizah, dia yang telah meluluhkan hatiku Him. Setiap kali aku bersamanya, rasanya aku seperti menemukan Pelangi setelah hujan deras, semua jadi lebih indah dan penuh warna.”
“Heleh kalau sedang jatuh cinta lebaynya minta ampun kau Zainal,” cibir Ibrahim.
“Terus apa kamu sudah mengungkapkan peraasaanmu padanya,” Tanya Ibrahim.
“Sudah Him. Aku akhirnya berani mengungkapkan perasaanku ini kepada Azizah. Dan kamu tahu? Dia merasakan hal yang sama. Rasanya menemukan Oase di Tengah Gurun Pasir yang tandus”
“LEBAY LO ZAI!!!” teriak Ibrahim di depan Zainal diringi tawanya yang menggelegar.
“Gue gak nyangka Zainal yang biasanya gak ada suara, jadi bucin,” ejek Ibrahim masih dengan tawanya.
“Tapi gue dukung lo sih, semoga perasaan lo sampai kepelaminan dan Bahagia Zai”
“Makasih Ibrahim. Aku berharap juga begitu.”
Percakapan mereka terhenti karena ada guru yang sudah memasuki kelas. Setelah bel pulang berbunyi Zainal cepat-cepat menjemput Azizah di kelasnya, dan mengajaknya untuk pulang Bersama. di pematang Sawah mereka berbincang-bincang sembari berkelakar.
“Azizah! Bentar lagi kita lulus, kalau gak salah tiga bulan lagi.”
“Ya Zai, aku harap kita lulus dengan nilai yang memuaskan.”
“Aku harap juga begitu Zah. Dan setelah itu aku akan segera melamarmu,” ucap Zainal sembari menatap Azizah.
“Memangnya kamu sudah punya modal ya Zai,” goda Azizah”
“Ya punya lah, kalau gak punya mana berani aku bilang ini ke kamu. Kamu tahu sendiri Zah kalau aku sekolah sambil bekerja menjadi buruh pemetik lada, dari hasil itu aku menabung, dan Alhamdulillah, Insya Allah uang itu cukup untuk melamarmu. Kamu tahu Zah, aku dalam hal mencintai tidak akan main-main, aku sungguh-sungguh mencintaimu, Dan aku harap kamu tidak mengkhianatiku Zah.”
Azizah menatap Zainal dengan haru, betapa besar cintanya Zainal kepadanya.
“Aku janji tidak akan mengkhianatimu Zai”
*****
Cerpen bersambung:
Pilihan