Meja Makan Retak
Cerpen: Muhtadi Chasbien
Sejak kejadian itu, kau paling benci acara makan malam. Bahkan, kini kau lebih suka menyendiri di kamar dibandingkan melakukan sesuatu yang melibatkan bapakmu. Kau bukan lagi wanita ceria yang di bibirnya selalu tersungging senyum merekah. Bila suatu ketika kau tersenyum, itu lantaran pikiranmu berjumpa dengan kenangan indah masa lalu sebelum makan malam itu terjadi.
Di awal kisah cintamu, keluargamu setuju. Bahkan beberapa kali kekasih dan bapakmu menjalin keakraban, semisal sepotong waktu sore yang digunakan mereka bermain catur di beranda. Dari jendela berkaca gelap, kau tersenyum senang melihat raut muka tegang mereka. Tiga kali kauabadikan momen itu melalui bidikan kamera. Suatu saat akan kutunjukkan foto ini kepadamu, Mas, gumammu. Kau terus mengintip mereka hingga ibumu yang membawa dua cangkir teh hangat menghampiri. “Percayalah, kelak status mertua-menantu akan disandang mereka,” katanya seraya menyuruhmu cepat-cepat membawa teh itu ke beranda.
Sore itu, hujan turun saat kau tiba di beranda. Sentuhannya pada atap rumah dari seng sedikit menganggu pendengaran. “Diminum dulu tehnya!” katamu sedikit nyaring. Bapakmu hanya melirik sebentar. Setelah itu ia kembali asik dengan permainan caturnya. Aroma teh yang kauhidangkan tak mampu menggodanya.
“Apakah kau juga hanya akan meliriknya?” tanyamu pada kekasihmu. Tanya yang bernada perintah itu dijawab dengan seduhan sekali oleh kekasihmu. “Enak. Komposisinya pas,” jawabnya. Sanjungannya sedikit membuat mukamu merah tersipu-sipu. Kauyakin, kekasihmu menduga kau lah yang membuat teh itu.
“Calon suami takut istri,” kata bapakmu meledek. Kau dan kekasihmu tersenyum.
“Skak...” Tiba-tiba suara kekasihmu membuat bapakmu terkejut. Ada kekecewaan di raut mukanya meski sebentar. Ia kalah pada laki-laki yang kaucintai sejak dua tahun lalu
“Aku suka menantu yang pintar main catur. Apalagi menjadi inspirator bagi pemuda di desanya,” bapakmu berujar. Sebuah tepukan ringan diberikan pada punggung kekasihmu. Kau pun memberikan dua jempol untuk bapakmu dengan wajah berseri-seri dan menarik bibir ke samping. Setelah itu ia beranjak pergi.
Kursi bapakmu yang awalnya berhadap-hadapan, kauubah arah menghadap halaman. Kauhempaskan tubuhmu di atasnya. Hujan waktu itu sudah berhenti. Tersisa rintik-rintik yang suaranya terdengar merdu. Namun air kiriman dari luapan parit di samping rumahmu masih terus mengalir di halaman rumah. Pandanganmu tertuju pada aliran air itu; aliran air yang menghanyutkan daun-daun yang jatuh karena terpaan angin dan hujan barusan.
“Bapak minta bantuanmu. Kalau berhasil, ia akan penuhi keinginanmu,” katamu pelan.
Kekasihmu mengubah arah kursinya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahmu hingga berjarak kira-kira sejengkal. “Bantuan apa? Aku pasti akan membantunya meski tanpa imbalan,” katanya sambil tersenyum. “Beliau butuh bantuan apa, Sayang?” lanjutnya. Namun, sebelum kau menjawab, hanponenya berdering. Ia mohon izin mengangkatnya. Saat menelpon, tubuhnya semakin menjauh darimu.
Lima menit berikutnya ia kembali duduk di kursi. Kau hendak melanjutkan obrolan tadi, namun ia pamit pulang. Katanya, ada pertemuan dengan pemuda. Wajahmu kembali cemberut, namun tak dihiraukan olehnya.
Besoknya, kau bertemu di pos ronda. Pagi itu kau melanjutkan obrolan kemarin yang belum selesai. Sebenarnya kau malas membahas bor keparat itu. Andai kemarin bapakmu tak menyodorkan banyak pertanyaan setelah kekasihmu pulang, kau pasti tak akan mengajak kekasihmu bertemu.
“Assalamu alaikum. Selamat pagi, Tuan putri,” sapa kekasihmu mengawali percakapan pagi itu. Ia terlambat dari waktu yang disepakati. Kau paham, sapaan seperti itu adalah upayanya agar kau tak marah karena menunggu lama.
Kau tak menjawab salamnya. Beberapa detik berikutnya, kau menggeser tubuhmu ke kanan. Memberi isyarat agar laki-laki itu duduk di sebelah kirimu.
“Bapak mengajakmu makan malam. Kuharap kau mau,” katamu ketus. Pura-pura mendongkol.
“Kapan?”
“Nanti malam di rumah.”
“Siap. Ada lagi?”
Kau menarik napas dalam-dalam. “Bapak menanyakan kepastianmu.”
“Aku akan membantunya.”
Kau menoleh pada kekasihmu. Seutas senyum kau berikan padanya. “Sungguh?”
“Sungguh.”
“Kau tahu bapak minta bantuanmu dalam hal apa?”
Kekasihmu menggelengkan kepalanya dua kali.
“Bapak ingin kau perintahkan teman-temanmu berhenti menghalangi proses pengeboran air tanah,” katamu. Kekasihmu terkejut. Matanya membesar. Mata itu menatapmu tajam. Kau memilih menghindar.
“Tanah yang dibor itu milik Bapak, Mas. Apanya yang salah bila dilakukan pengeboran di sana?” Kau menurunkankan tempo suaramu dan menatap ke depan.
“Lokasi pengeboran sangat dekat dengan mata air yang digunakan warga. Bila pengeboran tetap dilakukan, kemungkin akan mematikan mata air itu.”
“Tapi itu hanya kemungkinan.”
“Kau bisa menghitungnya sendiri sudah berapa banyak sumber air di desa ini yang mati karena di sekililingnya dilakukan pengeboran,” jawabnya tegas.
Diam-diam dalam hati kau mengikuti perintah kekasihmu; menghitung jumlah mata air yang kini tak berair. Menurut hitunganmu ada empat sumber mata air; Sumber Kokap, Sumber Sandian, Sumber Benteng, dan Sumber Kemmasan. Satu-satunya yang masih tersisa hanya Sumber Raje. Sumber yang berjarak sekitar 17 meter dari lokasi pengeboran bapakmu.
“Jika kau tak bisa membujuk teman-temanmu, minimal jangan kau tampakkan pada Bapak bahwa kau ada di kelompok mereka!”
“Aku kasihan pada warga, lebih-lebih warga miskin.”
“Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau pasti melakukan sesuatu yang sekiranya tak membuat kita berpisah,” katamu. Lalu kau pergi meninggalkannya di pos ronda. Kekasihmu berusaha mencegahmu. Tapi kau tetap berlalu.
Sorenya, sebuah pesan masuk ke handponemu. Aku sangat mencintaimu, Yuli. Aku akan perjuangkan hubungan kita. Tanpa kausadari air mata bahagia meluncur deras dari sudut matamu.
*****
Malam itu, kekasihmu datang memenuhi undangan makan malam. Sebelum ia bertemu orang tuamu, kau menghampirinya. “Terima kasih telah datang ke rumah kami,” katamu. Kekasihmu tersenyum dan mencoba meraih tanganmu. Namun secepat kilat kau menaruhnya di belakang. Sesungguhnya kau ingin menyambut tangan itu dan berjalan bergandengan tangan menuju meja makan, tempat bapakmu menunggu.
“Calon menantuku datang,” kata bapakmu. Ibumu yang awalnya ada di dapur bergabung juga ke ruang tamu. Kekasihmu menyalami mereka. Kau hanya tersenyum melihatnya.
“Mau minum apa, Nak?” tanya ibumu.
“Aku tahu minuman kesukaannya, Bu,” katamu.
Semenit berikutnya kau datang membawa segelas air putih. “Jangan bercanda, Nak!” kata ibumu pelan. Lalu ia pergi ke dapur dan datang lima menit berikutnya dengan tiga gelas teh hangat.
“Kok hanya tiga gelas, Bu? Untukku mana?” tanyamu.
“Kamu minum air putih saja,” jawabnya sambil tersenyum. Kau pura-pura cemberut. Cemberutmu kau sudahi saat bapakmu membahas pengeboran.
“Setelah pengeboran selesai, aku yakin Sumber Raje akan berhenti mengalir. Aku akan menjual air borku pada warga sekitar. Tentu hal ini akan menambah pemasukan keluarga kami.”
Kekasihmu tak menjawab. Hatimu deg-degaan. Kau berharap jawaban kekasihmu selaras dengan keinginan bapakmu. “Mereka tak punya jalan lain selain membeli air padaku. Mau melakukan pengeboran, mereka tak punya lahan. Sebab semua tanah yang diramal mengalir air di dalamnya, hanya di tanah milikku.”
“Bapak, dalam undang-undang sudah jelas, dalam radius 200 meter dari mata air tidak boleh dilakukan pengeboran. Teman-teman berencana akan membawa kasus ini ke jalur hukum bila Bapak bersikukuh melanjutkan pengeboran,” kekasihmu berujar pelan.
Tiba-tiba bapakmu memukul meja keras-keras. Teh hangat tumpah membasahi taplak meja. Kau dan ibumu gemetaran. Di dahimu keluar keringat dingin.
“Kau harus menghentikan mereka!” teriaknya.
“Saya yang menyuruh mereka melakukan demikian.”
Bapakmu berdiri lalu melayangkan tangan kanannya ke pipi kekasihmu. Ia tak menghindar apalagi melawan. Tamparan ayahmu dibiarkan memerahkan pipi kanannya. Ia lalu pergi. Kau berusaha mengejar kekasihnya. Namun langkahmu berhenti manakala mendengar teriakan Bapakmu. “Selangkah saja kakimu keluar dari pekarangan ini, haram kau kembali ke sini,” katanya.
Esoknya, ayahmu kembali marah-marah padamu. Lantaran alat-alat bor dijarah warga.
Pilihan