Catatan Merah Agraria dan Rusaknya Mindset Masyarakat Madura

 Oleh: M. Wildan*

Sebuah tanah lapang di Madura (sekedar ilustrasi)

Berlatar pada tahun 2009, proyek pembangunan jembatan penghubung antara kota besar Surabaya dan Pulau Madura, yang dikenal dengan nama Jembatan Suramadu, selesai dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Proyek ini bertujuan untuk memutus kesenjangan antara dua kawasan yang sangat berbeda: Surabaya sebagai kota metropolis dan Madura sebagai kawasan agraris.

Meski pada awalnya proyek ini mendapat penolakan keras dari sebagian golongan masyarakat Madura yang khawatir akan dampak sosial dan budaya yang ditimbulkan, akhirnya mereka terpaksa menerima dan pasrah pada hegemoni penguasa dan pengusaha. Proyek ini, di satu sisi, dianggap sebagai langkah peningkatan ekonomi, namun di sisi lain dianggap sebagai ancaman terhadap tatanan sosial dan budaya masyarakat Madura.

Setelah jembatan Suramadu diresmikan, jembatan ini menjadi sarana transportasi yang efisien, dan investor mulai berdatangan, tertarik dengan potensi kekayaan alam Madura. Salah satu kawasan yang paling banyak dilirik adalah pesisir utara Sumenep (Pasongsongan-Dungkek), yang menjadi incaran utama investor untuk membeli tanah.

Proses ini awalnya tidak terlihat, karena para investor menggunakan strategi dengan menggandeng tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh, untuk merayu masyarakat agar mau menjual tanah mereka. Jika transaksi tersebut berhasil, tokoh tersebut akan menerima imbalan yang besar. Banyak tokoh masyarakat yang tergoda dan akhirnya meyakinkan warga untuk menjual tanah mereka, dengan harga yang melambung tinggi.

Tanah yang sebelumnya hanya bernilai sekitar Rp. 10.000 per meter persegi, tiba-tiba menjadi Rp. 100.000 per meter persegi, sebuah tawaran yang sulit ditolak. Banyak masyarakat Madura yang memilih untuk menjual tanah mereka karena tergiur harga tersebut, meskipun beberapa di antaranya merupakan tanah sangkol—tanah yang memiliki nilai sakral bagi masyarakat Madura.

Menurut A. Dardiri Zubairi, tanah sangkol adalah tanah yang diberikan orang tua kepada anaknya sebelum meninggal dengan syarat agar tanah tersebut tidak dijual tanpa alasan yang dibenarkan. Jika tanah tersebut harus dijual karena terdesak, maka tanah itu seharusnya dijual kepada kerabat dekat dan dibeli kembali ketika mampu.

Tanah ini secara tidak langsung menjadi ikatan spiritual antara orang tua dan anak, dengan harapan anak mengelolanya dengan baik untuk memperoleh berkah. Namun, kedatangan para investor telah mengubah pandangan masyarakat terhadap tanah sangkol. Banyak masyarakat yang kini dengan mudah melepas tanah mereka, menganggap bahwa mitos yang mengaitkan penjualan tanah dengan datangnya bala’ hanyalah cerita belaka.

Kini, di pesisir utara Sumenep, kita dapat melihat lahan-lahan yang telah dipagari dengan pagar bambu dan beton, dengan banyak industri tambak udang yang berdiri di atas tanah yang telah dibeli oleh investor. Industri tambak udang ini banyak yang tidak memenuhi standar dan menyebabkan kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah yang tidak dikelola dengan baik.

Pencemaran udara akibat bau busuk dari tambak udang mengganggu kenyamanan warga, sementara pencemaran laut berimbas pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Di sisi lain, para investor meraup keuntungan besar dari aktivitas industri tersebut, tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan sekitar.

Bahkan, praktik perburuan lahan untuk tambak udang seakan luput dari perhatian pemerintah. Meski kerusakan lingkungan sudah terasa, pemerintah tampaknya membiarkan hal tersebut tanpa tindakan yang jelas. Banyak tambak udang yang beroperasi tanpa izin resmi, namun seolah dibiarkan begitu saja.

Namun, sejumlah pemuda dari Nahdlatul Ulama (NU) yang tergabung dalam Kompolan Tera’ Bulan, mengambil sikap untuk memperhatikan masalah ini. Mereka mendirikan Barisan Ajhaga Tanah, Ajhaga Na’ Potoh (BATAN), yang berfokus pada advokasi, edukasi, dan pendampingan masyarakat mengenai pentingnya menjaga tanah.

Usaha mereka akhirnya membuahkan hasil dengan adanya kesepakatan pada 5 April 2016 antara mereka dengan Bupati Sumenep, KH. Abuya Busyro Karim M.Si., yang mencakup pemasangan papan larangan aktivitas tanpa izin resmi, kajian hukum untuk moratorium tambak udang dan investasi yang merugikan, serta partisipasi pemerintah daerah untuk melindungi lahan produktif dan kawasan lindung.

Namun, sampai saat ini, keputusan-keputusan tersebut belum membawa dampak yang signifikan, dan industri tambak udang ilegal masih terus beroperasi.

Masalah ini harus segera mendapat perhatian serius, karena pengaruh investor yang mengancam nilai-nilai kearifan lokal Madura semakin besar. Tanah dan lingkungan harus dijaga agar generasi mendatang dapat merasakan manfaatnya, bukan malah menghadapi kerusakan lingkungan yang parah akibat industrialisasi yang tidak terkendali.

Oleh karena itu, partisipasi kaum muda Madura sangat penting, karena mereka memiliki kekuatan untuk menentukan arah masa depan Madura. Mereka harus berkomitmen untuk menjaga kearifan lokal dan warisan budaya Madura agar tetap lestari, sekaligus proaktif dalam mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kapitalisme yang tak terbatas.

Di balik masalah agraria yang terus berlarut-larut, ada faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu mindset atau pola pikir masyarakat Madura itu sendiri. Sebagian besar masyarakat Madura masih mempertahankan cara berpikir tradisional yang lebih mengutamakan keberlanjutan cara hidup lama, tanpa mempertimbangkan kebutuhan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Mindset ini berakar pada budaya agraris yang telah berlangsung lama, di mana pertanian menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Mindset yang demikian seringkali menjadi penghalang bagi perubahan. Masyarakat Madura banyak yang enggan mengadopsi teknologi baru dalam bertani, atau enggan beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan.

Hal ini disebabkan oleh adanya ketergantungan yang tinggi pada sektor pertanian dan ketersediaan lahan yang terbatas. Selain itu, kurangnya pendidikan yang memadai mengenai pengelolaan sumber daya alam dan pemanfaatan teknologi membuat banyak masyarakat Madura kesulitan untuk berinovasi.

Pola pikir yang menganggap bahwa tanah adalah satu-satunya sumber daya yang bisa memberikan jaminan kehidupan juga menjadi penghambat kemajuan. Seringkali, konflik agraria terjadi bukan hanya karena masalah hak milik, tetapi juga karena kurangnya pemahaman tentang pentingnya pengelolaan tanah yang efisien dan berkelanjutan, sehingga mereka berfikir bahwa jalan satu-satunya yaitu menjual tanpa mempertimbangkan status tanah tersebut yang kebanyakan masih berstatus Tanah Sangkol, yang mana di Madura tanah tersebut sangat disakralkan.

Masyarakat Madura, dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, kadang terlena oleh tradisi yang tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman dan hanya bergantung pada investor yang jelas mempunyai niat tidak baik dibalik semua itu.

Maka dari itu pendidikan memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk cara berpikir masyarakat Madura agar dapat membuat keputusan yang bijak dan cerdas dalam menghadapi permasalahan agraria dan investasi.

Untuk itu, pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal Madura harus diperkuat, agar masyarakat tidak hanya tergiur dengan tawaran harga tinggi yang merugikan jangka panjang, tetapi juga dapat memahami konsekuensi dari penjualan tanah dan dampaknya terhadap warisan budaya serta kelestarian lingkungan.

Melalui pendidikan yang menyeluruh, masyarakat Madura dapat diajarkan mengenai pentingnya menjaga tanah sebagai harta yang diwariskan turun-temurun. Pendidikan ini juga dapat memperkenalkan mereka pada konsep keberlanjutan, yang mencakup pengelolaan tanah yang ramah lingkungan dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat.

Hal ini tidak hanya akan memberi pemahaman yang lebih jelas tentang hak-hak mereka sebagai pemilik tanah, tetapi juga meningkatkan kesadaran akan dampak dari kegiatan industri yang tidak ramah lingkungan, seperti tambak udang ilegal yang merusak ekosistem.

Pendidikan berbasis pemberdayaan masyarakat juga akan memberi keterampilan kepada generasi muda Madura untuk berperan aktif dalam menyelesaikan konflik agraria dan memanfaatkan sumber daya alam dengan cara yang berkelanjutan dan sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal. Dengan memiliki pengetahuan yang cukup, mereka tidak akan mudah dipengaruhi oleh tawaran yang merugikan, tetapi justru bisa menjadi agen perubahan (Agen Of  Change) yang mampu mengarahkan Madura ke masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan.

 Lubtara, 2024

_____

 *) Penulis merupakan Ketua Perpustakaan PPA. Lubangsa Utara periode 2024-2025, sedang berkelana mencari jati dirinya di Laskar Pena Lubtara, aktif sebagai aktivis di MSA (Masyarakat Seni Annuqayah) dan berkutat dengan dunia pers di Jurnal Pentas MA 1 Annuqayah, tercatat sebagai santri aktif PPA Lubangsa Utara.

 

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 4984159052020661933

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close