Gaun Merah Untuk Nayla
https://www.rumahliterasi.org/2024/12/gaun-merah-untuk-nayla.html
Cerpen: Nurul Ainy Fauzan
Siang ini cuaca sangat terik. Sambil mengusap peluh, Surti menjajakan dagangannya berkeliling dari kampung ke kampung. Berharap agar tak sampai matahari terbenam apa yang dia jual habis tak bersisa, sehigga raga yang telah renta termakan usia teristirahatkan.
Harapan itu menguap seiring petang menjelang, dagangannya masih setengah bersisa.
Dia menuju sebuah masjid. Disandarkannya sejenak tubuh yang letih sambal menyelonjorkan kaki pada pagar di luar halaman masjid. Sisa dagangan yang ada Surti potong -potong dan membungkusnya hingga menjadi beberapa.Masuk ke masjid segera dia berwudhu dan berjamaah untuk menunaikan kewajiban sebagai hambaNya. Karena hari ini malam Jum’at, setelah rangkaian sholat dan wirid usai, terdengar imam melanjutkan dengan bacaan tahlil.
Doa tahlil mengakhiri kegiatan di masjid ini. Bergegas Surti mengambil bungkusan-bungkusan yang telah disiapkannya untuk dibagikan pada para jamaah. Sebelum meninggalkan masjid, tak lupa dia masukkan sebagian rizki yang telah dia dapat walau tak seberapa ke dalam kotak amal.
Tiba di rumah, rasa letih yang tadi mendera lenyap, menyaksikan senyum yang terukir di bibir mungil Nayla, cucunya. Nayla adalah penyemangat hidup Surti. Akan dia berikan seluruh kasih dan sayangnya pada gadis sembilan tahun yang tak kan pernah lagi merasakan kasih sayang ibu bapaknya. Kedua orang tua Nayla yang merupakan anak dan menantu Surti telah pergi menghadapNya dalam suatu kecelakaan dua tahun lalu.
"Nenek sudah beli gaunnya?" Sebuah tanya yang selalu Nayla tujukan pada Surti kala pulang dari berjualan.
"Uang Nenek belum cukup untuk membeli gaun itu, Nayla yang sabar ya." Jawab Surti sambil membelai pucuk kepala Nayla.
Seperti biasa, Nayla akan mengangguk dan kembali bermain dengan temannya. Hati Surti pilu setiap melihat anggukan kepala Nayla. Dia tahu Nayla kecewa, tapi di usia belianya Nayla mampu menyembunyikan rasa itu.
"Nayla ingin gaun itu, Nek!" Tunjuknya pada sebuah gaun merah nan cantik berhiaskan renda dan manik-manik mutiara yang berada di sebuah toko yang mereka lewati saat belanja di pasar beberapa waktu yang lalu. Tak lupa Surti bertanya harga gaun itu pada penjaga toko setelah Nayla mencobanya. Dia urungkan niat untuk membeli kala tahu harga yang harus dia bayar.
Membujuk Nayla dengan janji akan membelikannya suatu hari nanti Surti lakukan, agar Nayla mau beranjak dari toko itu. Sejak itu sedikit demi sedikit Surti mulai menyisihkan sebagian hasil penjualanya untuk bisa membeli gaun itu.
Surti tinggal berdua dengan Nayla di rumah yang sudah mulai tampak rapuh. Suami yang seharusnya menjadi tulang punggungnya telah berpulang sepuluh tahun yang lalu. Sehingga saat ini dialah yang menjadi tulang punggung untuk memenuhi segala kebutuhan mereka berdua.
Setelah melaksanakan sujud di sepertiga malamnya, Surti melanjutkan dengan mengolah bahan untuk dagangannya pagi ini. Resep dan cara mengolah bahan- bahan itu dia peroleh turun temurun dari ibunya. Apa yang Surti jual memang telah langka.
Saat ini masyarakat lebih suka makanan yang siap saji, hanya sebagian orang saja yang masih menyukai apa yang dia jual. Surti bertekat untuk tetap mempertahankan apa yang dia jual sekarang, karena dia ingin apa yang telah diwariskan padanya secara turun temurun tetap terjaga.
"Olet....olet…! Surti teriakkan dagangannya ketika lewat di depan sebuah rumah mewah yang terdapat banyak mobil parkir di halamannya yang luas serta banyak orang di sekitarnya.
Sepertinya ada acara di rumah nan megah itu.
"Olet, Mak!" Terdengar teriakan seseorang dari dalam.
Berhenti langkah kaki Surti di depan pintu gerbang yang terbuka lebar. Dia turunkan nyiru sebagai wadah olet yang dia jual dari atas kepalanya. Tampak seorang wanita cantik menghampiri Surti.
Melihat dagangan yang Surti bawa, wanita cantik itu bertanya, "Masih utuh oletnya, Mak?"
"Ya, Nyonya adalah orang pertama yang membeli dagangan saya." Jawab Surti sambil memotong-motong olet.
"Kalau saya beli semuanya, berapa harganya, Mak?" Lanjutnya "Seratus lima puluh ribu, Nyah." Surti menatap wajah wanita itu, semoga tanyanya nyata adanya.
"Tolong dipotong-potong semuanya, pisahkan kelapa dan gula arennya. Ini uangnya, Mak. Sisanya ambil saja untuk keperluan yang lain."
Sambil tersenyum wanita itu menyodorkan uang pada Surti. Dengan tangan gemetar Surti menerima tiga lembar uang berwarna merah. "Terima kasih Nyonya, semoga Allah mengganti dengan banyak keberkahan dalam hidup Nyonya." Tak kuasa air mata Surti menetes.
"Aamiin". Jawab wanita itu. "Saya permisi, Nyonya." Pamit Surti sambil menjabat tangan wanita yang telah membuat dirinya bahagia pagi ini.
Dalam benaknya hanya satu yang ingin Surti tuju, yaitu toko yang menjual gaun merah yang diidamkan Nayla. Semoga gaun itu belum terjual. Tiba di toko, alhamdulillah masih dia lihat gaun itu. Segera dia sodorkan uang, dan membawanya pulang.
Seiring kumandang adzan dhuhur terdengar, Surti telah sampai di rumah. Dia lihat banyak orang berkerumun di depan rumahnya, tiba- tiba saja Bu Rudhik yang menjaga Nayla selama dia berjualan menghampiri.
"Nayla kecelakaan, Mak. Ditabrak mobil saat mencoba sepeda temannya di sekolah. Sekarang dia di rumah sakit. Sambil berurai air mata dia memeluk Surti. Surti segera memasuki rumah, meletakkan wadah jualannya.
Dia bawa bungkusan plastik yang masih belum sempat dia buka. Tak putus bibir Surti beristigfar seraya hati memohon semoga kondisi Nayla tidak parah.
Diantar tetangga, Surti dan Bu Rudhik sampai di rumah sakit tempat Nayla dirawat. UGD menjadi tujuannya mengikuti langkah Bu Rudhik. Tampak di depan Surti seorang dokter dan perawat sedang menangani Nayla.
Jerit dan tangis Nayla menyayat hati Surti. Air mata tak henti keluar dari netra tuanya. Dia hampiri Nayla, yang masih menjerit.
"Nenek...sakit Nek!" Satu jam sudah Nayla ditangani di UGD. Kini Nayla akan dibawa ke ruang rawat. Berkecamuk pikiran Surti memikirkan darimana dia mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit.
Begitu tubuh Nayla keluar dari UGD, tampak seorang pria setengah baya menghampirinya.
"Maaf, saya yang menabrak gadis itu. Saya akan bertanggung jawab dan menaggung seluruh biaya pengobatannya."
Hilang seketika kekhawatiran Surti tentang biaya rumah sakit yang dari tadi menghantuinya.
" Ya, Pak. Semua sudah terjadi. Terima kasih atas tanggung jawab Bapak."
Sampai di kamar rawat, Nayla masih merintih. Surti mengambil bungkusan dari tas yang dia bawa. Dikeluarkannya gaun merah yang baru dia beli dan menunjukkannya pada Nayla. Seketika itu juga Nayla memeluk Surti hingga melupakan rasa sakitnya.
Binar bahagia tampak di wajah Nayla.
" Terima kasih, Nek. Nayla sayang Nenek. Nayla ingin cepat pulang dan memakai gaun ini nanti, boleh ya Nek?"
Nayla mencium pipi Surti yang mulai keriput
Tiga hari sudah Nayla dirawat. Hari ini dia akan pulang. Gaun merah yang dipakai menjadikan dia tampak cantik. Wahyu, pria yang menabrak Nayla menjemput mereka di kamar setelah menyelesaikan urusan administrasi. Dengan menaiki mobil Wahyu, mereka sampai di rumah.
Sebelum pamit, Wahyu menyerahkan sebuah amplop tebal pada Surti. Saat membukanya, membesi tubuh Surti melihat jumlah uang yang ada. Sambil mendekap amplop, dipandanginya Nayla yang tengah tertawa ceria karena dihibur teman- teman yang menjenguknya
"Terima kasih Ya Allah, telah mengembalikan senyum Naylaku, terima kasih atas segala rizki yang Kau limpahkan pada kami hari ini." Lirih Surti berucap.
Sumenep, 25 Oktober 2020
Pilihan