Seribu Tasbih
https://www.rumahliterasi.org/2024/11/seribu-tasbih.html
Cerpen: Sirtu Fillaili
Senja menemani hariku, rona merah yang memanjakan mata nampak cantik dan pada saat yang sama, kumandang adzan menyaru dari diberbagai penjuru. Hatiku terhenyak dan menggiringku sampai tempatku berwudhu’.
Entah dari mana perasaan sedih menghampiriku. Bacaan wirid teriring zikir kutumpahkan pada allah sang pencipta, aku mulai mengadahkan tanganku dan melantunkan do’a. Karena hanya Dialah satu satunya Maha mengabulkan do’a, dan hajat utamaku adalah melanjutkan kuliah dan mondok di Al-Amien.
Tapi, semua itu dihalangi oleh restu orang tua, mereka tidak ingin melihatku jauh darinya karena mereka khawatir dengan keadaanku, kurus, sayu dan yaa…. terlihat lemah. Aku pun mulai bingung karena tak ada satupun anak maupun cucu dikeluargaku memilih melanjutkan sekolahnya ke pondok.
Semua saudaraku disekolahkan ditempat favorit. Tetapi, hal itu tidak menghalangiku untuk tetap mewujudkan keinginanku.
Matahari mulai terbit dan menghidupkan pagiku dengan cerah. Aku melangkah untuk pergi kesekolah lalu berpamitan kepada Mutiara hatiku “orang tuaku”. Di perjalanan, wirid selalu menemani langkahku, aku selalu berdo’a dan berharap sepulangku dari sekolah, aku masih bisa bertutur sapa dengan mutiara hatiku.
Langkah demi langkah aku nikmati dengan pelan sampai akhirnya tak sadar, aku sudah sampai di sekolah,dan aku segera ke kelas untuk menaruh tas.
Suara bunyi nyaring bel menandakan masuk kelas, menandakan panggilan kepada seluruh siswa dan siswi untuk ngaji dan muhadaroh bersama. Di sekolah ini, aku menjabat sebagai wakil ketua OSIS dan wajib bagiku menjalankan visi dan misi yang telah kujanjikan.
“Selamat pagi kak Fia,” suara dari sampingku menyapa.
Bagi mereka, namaku tak asing lagi terdengar di sekolah, baik yang Junior dan senior kerap kali menyapa ketika bertemu denganku. Bergaul dengan mereka tentu baik untukku, dan karena hal itulah aku dapat terbuka untuk mengetahui perbedaan pengalaman pada masing- masing insan.
Waktu pembelajaran mulai, teman-temanku mulai berkumpul dan berdoa bersama di kelas. Detik jarum jam terus berjalan, guruku tak kunjung datang.
“Jamkos,” suara terdengar dari luar kelas.
“Yang benerr?” dengan suara lantang bertanya .
Ternyata itu adalah suara ketua kelas. Dan benar semua guru sedang melakukan rapat untuk menentukan tanggal ujian madrasah. Mendengar hal itu sanubariku mulai bertanya
“Akankah aku bisa melanjutkan kuliah dan mondok di al-Amien?” dengan keraguan bertanya.
Tetapi keyakinan tetap menyelimutiku. Aku akan terus bertekad mewujudkan mimpi, walaupun banyak hal yang menantang nanti.
Bel panjang telah berbunyi.
Terlihat semua anak siswa mulai berhamburan untuk pulang ke pondok dan ke rumah masing-masing.
Huuuff. Aku si paling sibuk pastinya pulang terakhir, mengerjakan semua tugas dan kewajibanku sebagai wakil ketos. Setelah semua pekerjaan telah kulakukan, aku bergegas untuk pulang.
Rohimah, adalah salah satu temanku pulang pergi ke sekolah, kami jalan tanpa menggunakan kendaraan. Hal itu terjadi sejak kami dipertemukan di MOS dan hingga kami kelas tiga Aliyah .
Sampai di rumah, aku disambut oleh ibuku, dengan penuh senyuman dia bertanya
“Kamu sudah makan nak?” tanyanya.
Dengan senyuman dan tutur katanya begitu lembut membuatku menjawab tenang “sudah bu” aku menjawab pertanyaannya dengan berbohong, karena aku sudah mengetahui di dapur pasti tidak ada lauk pauk untuk dimakan. Walaupun begitu, rasa lelahku terobati dan aku memilih istirahat untuk menutupi rasa lapar.
Seruan muadzin terdengar sehingga membuatku terbangun. Aku duduk sejenak lalu bersiap untuk sholat dan berdoa kepada-Nya. Ketenangan membuatku merasa nyaman untuk mencurahkan semua doa baikku, tasbih selalu ada dalam jari jemariku. Selepas dari itu, aku pergi mengaji kitab tafsir pada guruku.
Beliau merupakan anak dari pendiri pondok pesantren tempatku menimba ilmu. Beliau dikenal sebagai orang yang bengis, tapi bagiku dia adalah orang baik dan sangat dermawan. Keilmuannya sudah tidak diragukan lagi, beliau banyak menguasai ilmu umum maupun agama.
Aku adalah salah satu orang paling beruntung karena dipilih olehnya untuk ikut mengaji kitab bersama dengan santri-santri lainnya. Setelah selesai mengaji, aku mengajar TPQ di kampung halamanku, banyak dari mereka adalah kalangan balita sampai anak anak bahkan remaja.
Mereka adalah penyemangatku ketika aku rapuh, canda tawa mereka membuatku terhibur, walaupun banyak dari mereka terkadang selalu bandal dengan aturan, tetapi hal itu membuatku terus bermunasabah diri.
Hari berlalu begitu cepat, sampai aku tak sadar banyak kegiatan membuatku lelah. Tubuhku mulai melemah, badanku terasa panas dan akupun demam tinggi, dibarangi dengan flu dan batuk. Orang tuaku mengetahui tentang ini tanpa berpikir panjang untuk membawaku ke klinik terdekat.
Untungnya waktu sudah malam, tanpa mengantri aku langsung diperiksa oleh dokter ternyata tensi darahku 80 dan itu sangat kurang, mataku mulai buram untuk melihat orang di sekelilingku, dokter lalu menyuntikkan sesuatu di pergelangan tangan kananku, dan pada malam itulah aku di rawat inap.
Selama aku berbaring di tempat yang cukup membuatku tidak nyaman, orang tuaku selalu menemani setiap detik dalam baringku kala itu, sampai dalam keadaan tak sadar pun beliau selalu ada disampingku.
Perjuangannya merawatku penuh dengan kelembutan, matanya terlihat layu, lelah nampak dari wajahnya, walau begitu beliau tidak pernah lemah didepanku, beliau tunjukkan raut wajah sumringah, membuat hati terasa aman, dan hal itulah membuatku terkagum.
Tiga hari berlalu, dokter datang menemuiku dan mengecek keadaanku, dan hari itu aku diperbolehkan untuk pulang. Selama masa pemulihan di rumah, tidak sedikit orang datang untuk mengunjungiku, keluarga, tetangga, warga sekitar, bahkan anak anak pun menjengukku. Karena meraka, aku mulai bersemangat untuk memulai hari-hari bahagiaku.
Seminggu kemudian, aku kembali sekolah dengan keadaan sehat. Sampailah aku pada ujian akhir madrasah, dimana aku juga harus memikirkan lebih dalam untuk melanjutkan studiku. Namun hati sembari berbisik, dengan pilihan yang tidak berubah sedikit pun, dan keinginanku tetap jatuh pada pondok idaman “al- Amien”.
Sepuangku dari sekolah, aku mulai bicara pelan dengan ibuku mengenai jenjang kuliah. Kuungkapkan semua keinginanku padanya, aku beritahukan padanya tentang al-Amien. Ia lalu mengelus kepalaku dengan pelan lalu berkata
“Kamu harus daftar di Universitas Unram nak ”ungkapnya.
Universitas itu adalah salah satu universitas terbaik nomor 1 di NTB, seketika aku menunduk dan melangkah ke kamar. Merenung dan berusaha berpikir panjang. Air mata mengalir deras sampai akhirnya aku tak sadar tertidur pulas.
Malam menghampiri dengan tenang, aku terbangun dan mengambil air wudhu’ lalu sholat, sejak malam itu aku mulai memutuskan untuk istikhoroh. Aku berdoa dengan penuh harapan,air mataku mengalir di pipiku. Hatiku rapuh kian meniti dengan pelan tiap masalah yang datang berlabuh. Tasbih kecil selalu memdampingiku setiap malam.
Dua minggu telah berlalu, aku menemukan mimpi indah seolah menjadi petunjuk kepadaku., tetapi aku tidak puas dengan itu, aku melanjutkan istikhorohku dengan bersungguh-sungguh.
Seribu wirid menemaniku. Akhirnya sebulan sudah terlewati dan aku mulai mendapat banyak petunjuk dalam hatiku yakin bahwa pilihan terbaik adalah “Al-Amien”.
Aku kembali memberitahukan ibuku melalui perbincangan luas, ibuku mulai terbuka dan entah bagaimana ini terjadi ibuku mulai bertanya dengan penasaran tentang Al-Amien kepadaku. Aku mulai mengkaji Al-Amien lebih dalam dan memberitahukan kepada kedua orangtuaku. Aku mulai bicara tidak hanya dengan ibu tapi dengan bapakku.
Tapi Bapakku mempunyai respon berbeda dengan dugaanku, dia juga tidak bisa membiarkanku untuk jauh dan meninggalkannya, mengingat penyakit pada diriku. Aku tetap bertekad dan yakin akan sekolah di Al-Amien.
Percobaan masuk kuliah pun dimulai, sekolahku sudah memilih siswa untuk masuk dalam daftar nama kuliah di universitas no 1 terfavorit di NTB. Dan benar saja namaku ada disana. Lantas aku memberitahukan hal itu kepada orang tuaku. Respon mereka sangat baik mereka bahagia mendengarnya, tetapi beberapa hari kemudian aku mulai merayu kembali orangtuaku dengan penuh harapan.
Aku sampaikan keinginanku untuk tetap melanjutkan kuliah ke Al-Amien,melihat pergaulan bebas banyak terjadi pada banyak Universitas, dan membuatku tidak berminat untuk lolos pada Universitas itu. Respon berbeda terjadi orang tuaku terdiam tanpa ada satupun kata dari mereka.
Kesunyian malam membuatku terbangun dan berniat untuk bangkit dari mimpi mimpiku, aku duduk sejenak, mengucapkan kesyukuranku terhadap sang pemberi nikmat, dengan spontan aku berkata
“Aku akan mewujudkan mimpi yang telah banyak datang menghampiri” bisik dalam hati.
Seribu wirid hadir dalam sholatku, aku mulai berpasrah dan melepas semua masalah dalam hatiku. Sampai akhirnya waktu subuh tiba, aku melihat orang tuaku di ruang sholat, ibu memanggilku dan menyuruh duduk didekatnya, dengan suara iba beliau berkata
“Nak,,, melihat situasi remaja saat ini, kami sudah berpikir dan memutuskan untuk membiarkanmu mondok dan meninggalkan kami disini” sambil menatap wajahku.
Mendengar hal itu, mataku rasanya ingin meringis, perasaan berkecamuk antara bahagia dan haru muncul begitu saja, tidak hanya itu, orang tuaku melanjutkan perkataannya kembali,
“Kamu tidak pernah mondok selama ini, tapi jika memang takdirmu berada di al-Amien, maka kamu tidak akan lolos dari universitas itu, akan tetapi jika kamu lolos dalam percobaan masuk universitas itu, maka taqdirmu berada disana.” tegasnya.
Tekad kuat selalu menyertaiku, wirid dan doa tak lupa juga kuhaturkan.
Aku mengikuti semua persyaratan untuk ikut dalam percobaan itu, semua syarat telah kuselesaikan dan pemberitahuan lolos akan diumumkan dua minggu lagi, aku menanti pengumuman itu, hari-hariku jalani dengan penuh keyakinan dan doa suci tak lupa kupanjatkan.
Perasaan cemas menghampiri dan aku melawannya dengan seribu wirid dalam benakku. Sampai pada akhirnya, hari yang kutunggu sudah tiba, tepat pada tanggal 28 April 2023 jam 16:00 pengumuman dibuka. Ibuku sudah mengetahui hal itu lalu bertanya
“Bagaimana nak? ” dengan pelan bertanya.
Aku mulai membuka link dan memasukkan semua persyaratan yang diminta, bersamaan dengan itu, ibuku sedang memasak untuk berbuka sambil bertanya kembali di dapur,
“Sudah keluar pengumumannya nak?” dengan rasa cemas dan penasaran bertanya.
Perasaan yakin tetap ada pada diriku, entahlah itu darimana.
Persyaratan sudah selesai aku isi, dan tiba-tiba…
“Taarrrr.”suara pecahan kaca berbunyi nyaring dan keras terdengar dari arah dapur.
Tanpa berpikir panjang, aku bergegas untuk lari ke arah dapur, dan benar saja pecahan kaca terlihat di atas lantai. Aku langsung membersihkan serpihan kaca itu. Lalu,
Ibuku dengan spontan berkata “mungkin kamu tidak lolos nak”
Perkataanya membuatku terdiam dan kembali ke kamar untuk melihat hasil pengumuman tadi, aku menghembuskan nafas sejenak “ alhamdilillah” ternyata perkataan ibuku adalah sebuah doa, tentu saja di handpone itu tertulis “Mohon maaf anda dinyatakan tidak lulus”.
Rasa bahagia dan haru menyelimutiku kala itu, sujud syukur adalah caraku untuk berterimakasih kepada Tuhanku. Perihal ini, aku beritahukan kepada orang tuaku. Dengan perasaan tegang, aku mulai membuka pembicaraan di depan mereka.
Setelah berbincang dengan penuh rasa haru mendalam, orang tuaku berkata singkat
“Itulah taqdirmu nak, kamu harus bisa menjadi orang bermanfaat kelak, ingatlah pada kami, kelak ketika kamu sudah tidak bisa melihat kami lagi, hanya bacaan surah al-Fatihahmu yang kami inginkan”
Mendengar hal itu, aku bertekad kuat dalam diri untuk selalu belajar menjadi pribadi lebih baik lagi. Sampai pada akhirnya, aku dan ibu mulai mempersiapkan barang-barangku untuk berangkat ke sekolah idamanku al-Amien.
Jadwal pemberangkatan tiba, tepat pada tanggal 2 Mei 2023 aku berangkat, diantar oleh keluarga, banyak sekali keluargaku datang memberikanku bekal untuk ke tanah Jawa.
Sampai pada Pelabuhan, aku pamit memendam rasa haru dan tangis, wajah mereka selalu kutatap, membuatku tidak tahan, air mataku mengalir, tapi aku sadar, aku tidak boleh nangis di depan mereka “Mutiara hatiku”.
Mereka membimbingku sampai tempat duduk di kapal yang kutumpangi. Mereka memelukku dan meletakkan tangannya di atas kepalaku sembari berdoa, aku pun ikut mendoakan diriku agar mendapatkan keberkahan dari kedua orang tuaku. Dan itu adalah momen terakhirku sebelum melangkahkan kaki ketanah Djauhari.
Pilihan