Saya Pertamakali Ke Madura Pada Tahun 1989.
Hasan Basri (nomer 2 dari kiri bagian
depan) bersama teman seperjuangannya (foto koleksi Hasan Basti) |
(Redaksi mendapatkan sebuah posting tulisan di Facebook yang merupakan catatan sejarah perjalanan seorang muda dari Lombok kemudian mendamparkan diri di Madura. Ia sukses mengenyam ilmu dan pengalaman. Ia adalah Hasan Basri)
*****
Mendiang ayah begitu gembira pada suatu pagi ketika saya mengusulkan diri mondok ke Madura. Ayah bolos ngantor hari itu, langsung mengajak ibu belanja tas dan perlengkapan mondok saya di kota Mataram.
Saya sebenarnya tidak terlalu yakin mau mondok.
Hari itu juga, sore harinya, saya diruwat. Ayah mengundang semua keluarga, terutama tetua dari keluarga. Selamatan untuk saya yang mau berangkat mondok.
Saya dibawa ke berapa mbah yang sudah jadi Tuan Guru untuk didoakan karena projek saya mondok ini projek nekat saja dan berdasarkan keyakinan.
Lha, waktu itu saya blank ilmu dasar agama. Baca al_Qur’an saja tidak bisa. Apalagi mau menulis atau bercakap bahasa Arab.
Saya mengenal al-Qur’an, hadis arbain, mata goyah dan lainnya berdasarkan hafalan walaupun tidak melek baca teks arabnya.
(tapi hanya kurang dari sebulan di pondok Al-Amien, Saya bisa baca al-Qur’an berserta tajwiddnya).
Besok harinya kami berangkat menumpangi bis Wisata Komodo menuju Surabaya. Ada delapan orang yang ikut mengantarkan saya.
Ayah begitu yakin kalau saya akan kerasan mondok sampai selesai. Dan ini pertaruhan karena kakak-kakak saya banyak yang gagal mondok.
Sampailah kami di kantor ayah di sekiatar kawasan Ampel. Salah seorang sopir kantor ayah mengajak saya keliling melihat kota Surabaya. Diajak ke mall dan belanja. Tentu saja saya merasa beruntung dan senang.
Saya mengira Madura tidak jauh dari kota Surabaya. Saya tidak mengira harus menyebrang lagi dari Surabaya, maklum tak ada google map zaman segitu.
Begitu mobil yang kami tumpangi mendarat, saya melihat tanah memerah di sepanjang jalan. Terik matahari menyentuh kulit sehingga agak gatal. Saya mulai keder. Saya bisiki ibu agar saya dibawa kembali ke kantor ayah saja dan pulang ke Lombok.
Ibu tampaknya tidak berani kepada ayah. Persoalan mondok ini salah satu doa ayahmu, kata ibu.
Singkatnya, saya di Madura hampir delapan tahun.
Apa yang saya dapatkan: saya bisa baca kitab gundul, saya belajar seni, bisa bahasa Inggris dan banyak wawasan lainnya.
Madura membentuk saya secara intelektual dan estetis.
Betapa berhutangya saya kepada pulau Madura.
Saya juga tidak percaya kalau bisa menyelesaikan pendidikan saya di Pesantren Al-Amien, Prenduan, Sumenep, Madura.
Saya memiliki guru-guru yang luar biasa. Sampai hari ini, paling tidak setiap selesai solat, wajah beliau-beliau membayangi saya. Yai Idris, Yai Ahmad, Yai Jamal, Yai Maktum, dan banyak Yai lainnya.
Kalau tidak berkah, tidak mungkin tanah Madura melahirkan orang mulai seperti guru-guru saya.
Dan tentu saja juga para guru mulia, para Yai lain, di pesantren-pesantren tua di Madura lainnya. Ada pesantren Bata-Bata dan An-Nuqayah yang sering saya datangi. Belum lagi pesantren di Pamekasan dan bagian pelosok lainnya di Sumenep, Bangkalan dan Sampang.
Saya ingat sosok kiai Kholil, cucu Mbah Khalil Bangkalan, yang sering ke pondok saya menemui Yai Ahmad. Keduanya adalah petinggi BASRA (Badan Silaturrahmi Ulama Madura) masa itu.
Kadang saya melihat KH Wahid Zaini dari Paiton, begitu juga dengan iparnya KH Hasan Abdul Wafi dan banyak lainnya.
Ketika Yai Ahmad mengajar saya kitab Muhtasor Ihya karya Imam Ghazali, biasanya saya diceritakan tentang kiai-kiai Madura dari masa lalu. Atau kiai dari Madura masa itu.
Kadang sore, saat ngaji kitab Minhajul Abidin kepada Yai Idris, tiba-tiba ada seorang Yai datang mengucap salam keras. Dan memanggil Yai Idris dengan “lek” (paman). Ia tidak membuka sepatunya, langsung masuk ke dhᾱlem memakai sepatunya.
Saya tahu itu adalah Yai Sa’di dari An-Nuqayah, ponakan Yai Idris. Khelaf, kata Yai Idris singkat melihat ponakannya datang.
Tapi tidak sekalipun Kiai Ahmad atau Kiai Idris bercerita tentang Kiai Idris Patapan yang merupakan kakek buyut mereka.
Ia para mulia Madura tidak sekarlatan otak orang seperti Rumail Abbas. Macak intelektual tapi dijangkiti rasisme akut.
Saya mengenal Madura bukan saja dari kultur pesantrennya.
Saya tahu perempuan-perempuan Madura itu cantik-cantik. Di berapa desa tertentu para perempuannya umumnya cantik: putih atau agak coklat, mata tajam, alis tebal, rambut lurus dan badan yang aduhai.
Saya dak mungkin menyebut dadanya.
Para lakinya juga sama. Banyak yang cenderung mancung hidungnya dan memiliki badan yang kekar dan tangguh.
Selama di Madura saya juga menemukan energi orang Madura berkesenian. Baik modern atau seni tradisi.
Yai Zawawi seperti orang tua saya sendiri.
Ada juga pekerja snei dan budayawan yang sudah mulai berumur, Mas Syaf (Syaf Anton Wr) dan Mas Dayat (Hidayat Raharja); (keduanya aktif di FB (Forum Bias)). keduanya saya akrab luar dalam.
Madura saya yakin adalah sebuah rendezvous kultural. Di dalamnya saya tidak melihat ada yang asli. Madura telah mencampurnya menjadi campuran yang memiliki karakter.
Madura mengajari saya tentang harkat seorang manusia karena ia manusia.
Saya tahu identitas seperti kelas, etnis dan ras itu cair, tidak esensial dari Madura daripada dari Stuart Hall atau Paul Gilroy.
Begitu ke Jogja, saya tambah paham rasisme kepada orang Madura.
Saya berhenti ngefans pada seorang budayawan kawakan Jogja yang saat ini sedang sakit karena terlalu sering materi orasi atau tulisannya tentang keudikan orang Madura.
Pasti orang ini ndak mutu, batin saya.
Umumnya teman-teman saya yang merasa dari Jawa agak sebelah mata melihat orang Madura.
Stereotipikalisme etnis atau persangkaan etnis itu sama saja muasalnya dengan persangkaan kelas sosial. Ia merambati otak siapapun. Terutama mereka yang sekolahan. Sedikit sekali orang terpelajar yang mampu melampui cerita rasisme atau persangkaan etnik yang mereka pelajari.
Antara persangkaan kelas,etnis dan rasa sama jahatnya. Semuanya penyakit bani adam yang belum lagi ada obat mujarabnya sampai sekarang.
Teknologi digital yang dibanggakan seorang saudara saya justeru menyuburkan persangkaan kelas,etnis, dan ras. bukan malah menguranginya.
Saya kira pendidikan rasa, feeling, kepekaan, atau seni yang paling cepat memangkas penyakit rasisme daripada peningkatan kemampuan digital, atau sekedar olah intelektual ala kampus.
Jadi menurut saya, orang seperti Rumail Abbas itu kebanyakan baca buku nasab dan kegedean hasrat ingin mau populer. Tidak mengenal seni dan kurang baca sastra.
Setiap mengenang madura saya selalu ingat kata-kata dari James Baldwin, kawan keren dari Amerika, penulis novel keren itu : “Saya bangga dengan orang-orang ini bukan karena warna kulit mereka, tetapi karena kecerdasan, kekuatan spiritual, dan kecantikan mereka."
Wallahu'alam...
Sumber tulisan: akun FB Hasan Basri