Penyair Tanpa Puisi
·
Ilustrasi: akun FB Bagus Putuparto |
Bagus Putuparto
Dulu setiap melihat ketimpangan sosial membuat saya gelisah berhari hari, peristiwa itu mengeram dibatok kepala, dan baru reda setelah puisi dituliskan.
Juga ada beban moral untuk mengabadikan moment-moment peringatan nasional, agama, untuk disikapi secara kritis dalam puisi lalu disosialisasikan di kolom koran. ( barangkali kalau sekarang seperti orang kecanduan nulis status di medsos).
Juga undangan menulis antologi puisi bersama dan diundang baca puisi, membuat saya memperkosa diri untuk melahirkan puisi, entah prematur atau sekedar absen sebagai solidaritas kesetiakawanan.
Bahkan dulu cukup punya energi untuk menulis novel, ataupun cerita pendek. Sekarang saya kehabisan energi dan tak lagi cukup ruang berimajinasi, apalagi aeng aeng berfikir tentang kesenian. Lemah syahwat dan ejakulasi dini, maka lahirlah puisi puisi yang mengolok-olok diri, mentertawakan diri. Dan tersosialisasi di beranda facebook sebagai media komunikasi.
Kini bila di ruang tunggu ada kearifan hidup melintas, segera ditangkap lalu dituliskan, selesai. Demikian juga saat kesepian, terpuruk dalam ketakberdayaan lahirlah puusi yang justru mentertawakan diri, sebagai media refleksi.
Jangan dibayangkan lahirnya puisi "Tak Lagi Kau Kupanggil Sarip" saya sedang mengkritik tokoh yang oportunis. Puisi itu lahir justru karena saya tak lagi punya kepedulian dan nyali meneriakkan ketimpangan, dan lebih mengambil sikap sembunyi dalam kenyamanan.
Semakin tua usia manusia, hanya ada air mata, sambil mengenang kepedihan dan kejayaan dimasa lalu. Tragedi pandemi melahirkan kumpulan puisi pertama "KM 0", yang mengingatkan kita untuk tak berambisi duniawi yang berlebihan karena diujungnya bisa terbentur dalam kesia-siaan.
Kumpulan puisi kedua "Muara Terakhir" ini, justru saya terbitkan ketika saya mulai tak bergairah menulis puisi. Ketika puisi tak lagi panen pada setiap musim. Kata-kata mulai enggan untuk dituliskan, karna lebih indah berdiam diri dan melangit dalam do'a. Banyak puisi yang tak tertuliskan. Kalau saya boleh mentertawakan diri sendiri, "Sayalah Penyair Tanpa Puisi"
: Ah, hanya seniman yang berani bertelanjang diri dan mentertawakan dirinya.
Diangkat dari akun FB Bagus Putuparto