Pentigraf Anak Murid Oknum Burung dan Doa Ibunda
Pentigrafis Em. Johan
Anak
Pandangan Vera menerawang. Kosong. Tamu bulanan yang diharapnya tak datang, tetap tepat waktu. Program kehamilan yang dilakukan untuk kesekian kalinya gagal lagi. Segalanya sudah dia miliki, kecuali anak.
Perempuan itu datang tergesa. Membawa anak yang mukanya penuh lebam. Vera menghambur. Memeluk anak itu dengan erat. Air matanya tak terbendung. Hatinya mengutuk. Suami temannya itu benar-benar laknat. Anak semata wayang mereka sering dianiaya. Bahkan, dengan alasan sangat sepele.
Perempuan itu pamit pulang. Beberapa mainan baru ada di genggaman anaknya. Vera memeluknya sambil berbisik, "bilang sama suamimu, berapapun harga anakmu kubayar kontan."
Murid
Laki-laki itu menghempaskan
tubuhnya ke ranjang hotel. Wajahnya kucel. Kurang istirahat. Pelatihan
selama sepuluh hari itu, masih kurang dua hari. Sudah delapan hari dia
berpisah dengan istrinya.
Terdengar tiga kali ketukan. Perempuan
cantik muncul dari balik pintu. Laki-laki itu menyambut dengan
senyuman. Seringai lapar pada belaian muncul kemudian. Bincang-bincang
kecil berlangsung. Sebentar saja lampu kamar itu padam.
Satu jam
berlalu. Lampu kamar nyala lagi. Laki-laki itu bangkit dari ranjang.
Mengambil dompet dari saku celana. Beberapa lembar uang berwarna merah
dia serahkan. Perempuan itu menerima dengan senyuman. Sambil menjulurkan
tangan. Mencium tangan laki-laki itu dengan takzim. "Saya murid
Sampean, Pak."
Oknum
Di atas gazebo tua. Lelaki bersorban itu menghempaskan asap rokoknya. Desis nikmat keluar dari bibirnya yang menghitam. Rasa capek karena mengajar santri, hilang seketika. Di belakangnya, tampak gagah foto calon pemimpin.
Tamu itu datang dengan mobil BMW seri terbaru. Begitu duduk, dia sodorkan cek kosong. "Tulis sesuai keinginan, ganti foto di belakang itu dengan calon kami." Mata lelaki bersorban menghijau. Secepat kilat jemarinya lihai menari. Sederet angka tertulis jelas. Senyum keduanya ranum mengembang.
Di pojok gazebo, tamu itu menyeruput kopi yang baru terhidang. Tangannya mengambil gawai di saku celana. Membuka WA. Lalu mengetik: sekarang aku sudah mengerti, berapa harga seorang kiai.
Burung
Di atas sofa ruang tamu. Dimas khusyuk menatap layar gawai. Dua jarinya lincah menari di atas layar. Sesekali bibirnya tersenyum. Kerapkali ekor matanya melirik ke pintu kamar yang tertutup rapat.
Pintu kamar terbuka. Seorang bidadari cantik keluar dengan pakaian tembus pandang. Senyum mengembang. Dimas dengan terburu menutup gawai. Tangan istrinya terjulur. Menuntun ke atas ranjang. Lampu kamar padam. "Sekarang malam Jum'at, aku siap melayanimu lebih dari selingkuhanmu, Mas."
Dimas membuka mata. Di kamar asing berwarna putih. Beberapa selang infus menancap di tubuhnya. Dimas merasakan perih yang sangat. Di pusat selangkangan. Ketika diraba, "burung"-nya telah tiada.
Doa Ibunda
Malam semakin kelam. Dingin menusuk tulang. Perempuan itu setia berdiri. Di tepi jalan. Menunggu pelanggan datang. Bibirnya tak lelah tersenyum. Di saat ada kendaraan berjalan pelan.
Di kamar sempit yang temaram. Perempuan itu menjadi pelayan. Pelanggan muda yang banyak maunya. Menjadikannya seperti hewan. Beberapa lembar uang berpindah tangan. Disertai tips kecil tanda kepuasan.
Menjelang fajar, perempuan itu berada di gubuk lapuk. Menyuapi perempuan yang terlentang di atas dipan bambu. "Pembantu rumah tangga bukan pekerjaan hina, Nak. Semoga Tuhan memberimu rejeki yang halal senantiasa."