Ajip Rosidi dan Honor Pengarang

Ajip Rosidi (alm) dengan latar rumah kediamannya

Oleh: Anindita S Thayf *)


Ajip Rosidi, lewat buku Hidup Tanpa Ijazah (2008), memaparkan secara kronologis proses panjang kepengarangannya. Ajip lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Sebagai salah satu sastrawan terkemuka di Indonesia pasca kemerdekaan, karya Ajip merentang dalam berbagai bentuk kepenulisan, mulai dari puisi, cerita pendek, esai hingga buku biografi.

Ajip mulai mengarang sejak usia belia. Buku pertamanya merupakan kumpulan cerita pendek berjudul Tahun-tahun Kematian (1955) diterbitkan saat usianya masih 17 tahun. Sampai akhir hayatnya, Ajip telah menulis sekitar 110 judul buku. Jumlah ini memperlihatkan betapa produktif Ajip sebagai pengarang. Tidak mengherankan kalau Ajip memiliki jejak sejarah yang panjang dalam kesusastraan Indonesia.

Hingga hari ini, perbincangan tentang karya-karya Ajip tidak kunjung surut. Sebagai pengarang besar, tentu saja banyak pengkaji dan pembaca sastra, hingga siswa-siswa sekolah menengah, yang membedah, menelaah dan meresensi karya-karya Ajip. Dari kajian, makalah dan tulisan tersebut, sejauh pengetahuan saya, belum ada yang membedah upaya Ajip dalam memperjuangkan honor penulis. Tulisan ini akan mencoba mengisi kekosongan tersebut.

Honor Bagi Pengarang

Pada suatu sore hari, Ajip tiba-tiba didatangi oleh Pramoedya Ananta Toer di rumahnya. Setelah pintu dibuka, Pramoedya berkata, “Kau ada nasi, tidak? Aku sudah beberapa hari tidak makan.” Kisah Ajip dalam buku Hidup Tanpa Ijazah (2008:182) itu memperlihatkan sebuah ironi yang masih ada hingga hari ini. Kehidupan pengarang yang sudah mapan seperti Pramoedya ternyata masih sangat memprihatikan.

Kehidupan seorang pengarang sangat bergantung dari honor sebagaimana seorang buruh bergantung dari upah. Dengan apik, Ajip memberikan contoh kondisi Pramoedya. Dalam pertemuan tersebut, Pramoedya menceritakan kepada Ajip bahwa dirinya sudah lama tidak mendapatkan pemasukan dari menulis. Cerita Pramoedya, majalah Star Weekly tidak mau lagi memuat tulisannya karena dia dianggap condong ke kiri. Adapun novelnya, Keluarga Gerilya dan Subuh, tidak lagi dicetak ulang oleh penerbit Pembangunan. Dalam kondisi keuangan yang payah ini, Pramoedya terpaksa mengungsikan istrinya, Maemunah, ke tempat mertuanya.

Kondisi Ajip sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Pramoedya. Dia juga menggantungkan hidupnya dari honor menulis. Sebagai lulusan SMP, hidup Ajip sangat tergantung pada tulisannya yang dimuat di majalah, koran atau buku yang diterbitkan. Ajip (2008:186) pun mengakui, “Aku sering mengalami kesulitan keuangan sebab hidup sepenuhnya tergantung dari imbalan tulisan, tanpa penghasilan tetap sama sekali….” Kata-kata Ajip tersebut menyiratkan bahwa seorang pengarang hanya hidup dari tulisan yang dibayar.

Tanpa honor tulisan, dia mesti bakal kesulitan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari sebab tidak memiliki penghasilan tetap sebagaimana seorang pegawai. Dalam kondisi seperti itu, ketika Boejoeng Saleh menawari Ajip pekerjaan sebagai redaktur pelaksana majalah Sadar, Ajip langsung menerimanya dengan senang hati. Dari pekerjaan itulah Ajip mendapatkan pemasukan rutin setiap bulan dalam bentuk gaji.

Apa yang disampaikan Ajip merupakan kenyataan hidup seorang pengarang yang terjadi sampai sekarang. Ketika berhasil menyelesaikan sebuah karya, seorang pengarang masih harus berjuang mati-matian agar karya tersebut bisa diterbitkan dan memberikan pemasukan. Proses ini lebih rumit daripada berdagang kue di tepi jalan di mana setiap kue yang terjual mesti akan langsung dibayar oleh pembeli.

Sebaliknya, sebuah karya yang diterbitkan atau dimuat di media mesti harus menunggu lama untuk mendapatkan honornya. Masalah honor pun bisa dikatakan merupakan persoalan hidup mati seorang pengarang. Oleh karena itu, seorang pengarang harus memperjuangkan honorariumnya.

Surat Ajip Kepada Jakob Oetama

Pada tanggal 1 Desember 1981, Ajip Rosidi menulis surat kepada Jakob Oetama. Surat yang terangkum dalam buku Yang Datang Telanjang (2008) itu berisi gugatan Ajip tentang kecilnya honor yang diterima pengarang Indonesia yang karyanya dimuat di majalah dan surat kabar di negeri ini bila dibandingkan di media Jepang. Terlepas dari besaran jumlah honor yang dikritisi Ajip, lewat surat itu pula, kita bisa mengetahui bahwa majalah Intisari adalah salah satu majalah yang memberikan honor cukup besar di Indonesia kala itu.

Dikisahkan Ajip bahwa ketika majalah Intisari baru terbit, dia mendapatkan honor sebesar Rp. 5.000. Ajip bahkan mengakui pernah diberikan honor Rp. 10.000 oleh Jakob Oetama. Jumlah ini terbilang besar pada pertengahan tahun 1960-an. Secara tersirat, hal tersebut menunjukkan bahwa majalah Intisari sudah bisa dianggap sebagai media yang mau mengapresiasi kerja kreatif para pengarang yang mengirimkan tulisan mereka melalui imbalan yang tidak cukup pelit. Selanjutnya, barangkali muncul pertanyaan. Mengapa masalah honor penting untuk terus dikemukakan? Semata duitan itukah seorang pengarang sehingga selalu mempermasalahkan bayaran tinggi bagi setiap karyanya? Argumentasi Ajip dalam suratnya menarik untuk disimak.

Menurut Ajip, besarnya honor penting untuk mempertahankan mutu tulisan yang dimuat sebuah majalah atau surat kabar. Dia menyoroti bahwa kecilnya honor membuat seorang pengarang menjadi sebatas kejar setoran dalam menulis agar bisa menghasilkan karya sebanyak-banyaknya untuk dimuat. Dalam kondisi seperti itu, kuantitas menjadi lebih diutamakan ketimbang kualitas, “...dengan honor Rp. 25.000 [tahun 1981] untuk setiap tulisan, sulit bagi seorang untuk menjadi penulis profesional yang bermutu.” Dengan honor sekecil itu, seorang pengarang harus menghasilkan 10 sampai 20 tulisan agar bisa hidup. Akibatnya, menurut Ajip, terjadilah “kemerosotan mutu.”

Hal lain yang perlu pula digarisbawahi dari kalimat Ajip di atas adalah “penulis profesional”. Ajip sangat menyadari bahwa penulis adalah sebuah profesi, bukan sebatas hobi yang tidak perlu bayaran. Sebagai pekerjaan yang membutuhkan penguasaan keterampilan, seorang penulis jelas adalah pekerja yang wajib diberi upah atas hasil kerjanya. Sebagaimana halnya artis dan penyanyi profesional, penulis profesional pun wajar jika menggugat hak atas honor yang diterimanya.

Sebagai wartawan senior, Jakob Oetama bisa saja membenarkan pendapat Ajip Rosidi. Jakob Oetama pastilah mengetahui tidak mudah menghasilkan sebuah karangan yang bagus, apalagi bermutu. Bahwa tulisan yang baik bukan sekadar deretan kalimat, melainkan suara batin sebuah peradaban. Ia tidak bisa ditulis serampangan, sebaliknya selalu menuntut perhatian penuh dari pengarangnya. Dan, kondisi ini hanya bisa tercapai, salah satunya, bila persoalan perut pengarangnya terpenuhi.

Sayangnya, kita tidak mengetahui jawaban Jakob Oetama atas surat Ajip Rosidi. Namun, melihat upaya Jakob Oetama dalam mempertahankan mutu media massa yang dikelolanya selama ini, yang memberikan honor lebih besar kepada pengarang dibandingkan media massa lain dan membayarnya tepat waktu, sepertinya dia menyetujui pendapat Ajip Rosidi.
Saat ini, ketika zaman sudah jauh lebih baik dibandingkan masa Ajip dahulu, sungguh ironis jika masih ada media, baik koran atau majalah cetak maupun online, dan tentu saja penerbit, yang tidak memberikan honor sepantasnya kepada pengarang. Hal itu sama saja dengan menjadikan pengarang sebagai budak dalam industri media dan penerbitan. ***

*) Novelis dan esais

Tulisan ini teah dimuat di Majalah Pakubahasa, Balai Bahasa Jawa Barat, dan diangkat dari akun FB Anindita S Thayf


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 6386844995199131188

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close