Sajak-Sajak Untuk Lomba Baca
Sebuah penampilan lomba baca sajak
Oleh: Abdul Hadi WM
Meningkatkan apresiasi merupakan salah satu tujuan utama lomba baca ini. Karena itu sajak-sajak yang harus dibaca nanti oleh peserta harus benar-benar dipilih, skeadaan iniebab meningkatkan apresiasi termasuk juga meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengerti setapak demi setapak mana sajak yang baik dan tidak baik, mana sajak yang bernilai dan tidak bernilai, mana sajak yang berbobot dan mana sajak yang dangkal.
Lomba baca sajak telah banyak diselenggarakan, namun jarang diperhatikan pemilihan sajak yang dibacakan, sehingg menimbulkan kesan bahwa tujuannya bukan meningkatkan apresiasi pada sajak. Hal ini sering diperhatikan para penyair dan kritikus kita. Kalau kepopuleran baca-baca sajak di Indonesia sangat menggembirakan dewasa ini. Karena di negeri lain tidak meluas dan memasyarakat seperti di Indonesia, sudah sepatutnya keadaan yang telah menggembirakan itu diberi perspektif ke depan sehingga perkembangannya tidak datar-datar saja, atau horizontal, melainkan vertikal.
Meluasnya kebiasaan baca sajak memang ikut merangsang penulisan. Namun harus diingat bahwa tanpa sajak-sajak ditulis tak mungkin ada pembacaan sajak. Tanpa sajak-sajak dicipta tak mungkin ada pembacaan sajak. Sebaliknya sajak-sajak akan terus ditulis atau dicipta orang tanpa pembacaan sekalipun.
Kalau kita ingin lebih mematangkan tradisi baca sajak itu, jadinya, harus ditumbuhkan pula rangsangan agar semakin banyak ditulis orang sajak-sajak yang baik. Dengan pemilihan yang ketat dan sebaik-vaiknya atas sajak yang harus dibaca peserta-pesertanya, sebuah lomba baca sajak di sisi lain memberikan pengaruh pada penulis-penulis sajak untuk berusaha menghasilkan sajak-sajak yang baik. Dengan dipilihkan sajak-sajak yang baik dan bernilai, sebuah lomba baca sajak, yang umumnya diikuti oleh kaum remaja dan kaum muda yang baru mulai belajar mengapresiasi sajak, maka berarti pula kepada mereka kita memberikan apresiasi yang baik.
Karena salah satu tujuan utamanya meningkatkan apresiasi itulah pada lomba baca sajak yang pertama kali diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini kami usahakan memilih sajak-sajak yang menurut penilaian kami memenuhi persyaratan sebagai sajak yang baik, yang bernilai dan pantas diapresiasi. Sajak-sajak itu meliputi karya para penyair Indonesia sejak sebelum perang hingga sekarang, dan dipilih dengan pertmbangan setetik pertama-kali, yang menurut hemat kami merupakan sebagian dari karya-karya terbagus para penyair itu.
Tentu saja mengadakan pemilihan semacam itu tidak mudah. Pun tentu saja tidak semua sajak yang bagus bisa ikut terpilih dalam buku yang jumlah halamannya sangat terbatas ini. Lagi pula ada sejumlah sajak panjang dari penyair kita, yang sebenarnya merupakan karya-karya puncak mereka, tidak ikut dipilih mengingat terlalu panjangnya sajak itu buat dibaca dalam sebuah lomba yang diharapkan pesertanya cukup banyak. Misalnya sajak “Khotbah” WS Rendra dan “Amuk” Sutardji Calzoum Bachri.
II
Sajak adlah ekspresi personal, ungkapan diri penyair. Media bagi ekspresi dirinya itu adalah kata-kata. Dalam membaca sajak hal ini sangat perlu diperhatikan. Kata-kata dalam sajak bukanlah sekedar alat komunikasi sebagaimana kata-kata dalam penggunaannya sehari-hari. Ia sering tak menunjuk hanya pada suatu pengertian, misalnya barang atau benda. Sebagai contoh dalam sajak Chairil Anwar “Senja Di Pelabuhan Kecil” kita jumpai kata-kata “gerimis” dalam bait II baris pertama. “Gerimis membercepat kelam. Ada juga kelepak elang”. Di sini penyair tidak sekedar menyatakan “gerimis” di situ penyair hendak menampilkan keadaan dirinya pada waktu menulis sajak itu, dengan mewakilkannya pada kata-kata “gerimis” yang dianggapnya tepat untuk melukiskan kesedihan atau kemurungan harinya.
Demikianlah seluruh baris itu, seluruh sajak itu, merupakan lukisan situasi jiwa penyair yang diungkapkan lewat imaji-imaji (citra-citra), lambing-lambang yang menyaran (asosiatif) dan sebagainya. “Gerimis” dalam baris itu sudah berupa imaji yang menyaran, seperti juga baris-baris berikutnya: “Aga juga kelepak elang/ menyinggung muram …”.
Demikian pula dalam sajak-sajak penyair lain dalam anthology ini kita jumpai hal-hal yang demikian, di mana kata-kata tidak sekedar berperan sebagai alat komunikasi, melainkan sebagai media ekspresi, baik dalam bentuknya sebagai imaji, simbol atau lambing, kiasan, perbandingan dan sebagainya. Fungsinya di sini ialah agar kita bisa memasuki struktur atau bagian dalam yang dilapisi sajak itu, bagian apritualnya. Dengan kemampuan yang maksimal untuk menyimak dan menyingkap daya saran atau asosiasi, makna yang dikandung dalam kata-kata dari sajak yang dibaca, serta mencernakan irama dan sugesti musical dari sajak-sajak itu kita berusaha menangkap isi sebuah sajak, memahami dan menghayatinya.
“Batu” dalam sajak Sutardji misalnya jangan dipandang sebagai semata-mata “batu” dalam pengertian sehari-hari. Ia harus dipandang sebagai gambaran eksistensi diri penyair yang diungkapkan lewat lambing atau imaji “batu”. “”Batu” dalam sajak Sutardji ini mengundang kita merenungi eksistensi diri si penyair yang gelisah tapi tak bisa bergerak menghadapi teka-teki kehidupan, keterbatasan manusia dan sebagainya.
Begitu pula jika kita membaca “Do’a” Amir Hamzah, yang penting mengerti inti, atau bagian terdalam dari sajak itu, yakni kerinduan kepada Tuhannya.
Apabila kita sudah mengerti sebuah sajak, meresapkannya ke dalam hati, barulah kita dapat mengerahkan kemampuan kita untuk memulai membacakannya, mengekspresikannya kembali.
Kemudian yang penting pula bagi seorang pembaca sajak adalah mengerti pokok soal yang dikemukakan penyair dalam sajaknya. Dalam sajak Sanusi Pane “Dibawah Gelombang” pokok soalnya ialah pandangan hidup penyair Sanusi yang menginginkan ketenangan hidup sebagai tujuan hidupnya. Pada Amir Hamzah pokok soal itu ialah kerinduan dan konfliknya dengan Tuhan.
Ini hanya sekedar beberapa contoh yang selanjutnya bisa direnungi lebih jauh oleh peserta sendiri sesuai dengan sajak yang dipilihnya. Ada baiknya sebelum sajak yang dipilih dibacakan, ia yang memilihnya mencoba mencari bahan yang memungkinkan ia mengerti lebih dalam tentang sajak itu, sehingga bisa menafsirkannya lebih baik. Atau, kalau mungkin, bertanya kepada penyair yang bersangkutan atau orang yang bisa memberikan apresiasi tentang sajak itu sebaik-baiknya/
III
Sajak-sajak yang tersaji di sini mewakili berbagai periode dan zaman dari kesusastraan kita, artinya, ia mewakili pula berbagai semangat, sifat gerakan sastra dan pokok soal yang dominan yang dihadapi penyair-penyair itu di dalam diri dan dunia sekitarnya. Sajak-sajak itu hadir dengan kekuatannya sendiri-sendiri, dengan aturan-aturannya sendiri yang tak mungkin dipertentangkan dengan yang lainnya.
Kalau kita memilih satu di antara sajak-sajak itu mampu mengenali kekuatan sajak yang kita pilih, kita akan lebih mudah untuk bisa mengekspresikannya secara baik dan tepat. Karena itu diharapkan pula pembaca memahami latar-belakang semangat dan sifat gerakan yang mendukung kehadiran sebuah sajak. Misalnya romantisme Pujangga Baru, vitalisme Chairil Anwar, nihilism Sutardji Calzoum Bachri dan sebagainya, sebab memahami hal ini bisa membantu kita untuk memahami lebih jauh apa yang dikandung oleh sajak-sajak tersebut, menangkap intinya dan memahami hakekat yang dikandung di dalamnya.
Demikianlah membaca atau membacakan sebuah sajak bukan sekedar soal membaca atau membacakannya. Dalam membaca sajak kita harus berusaha merebut sesuatu, atau makna, dari sajak itu, berusaha terus menggali dan menemukannya. Dan dalam membacakannya kita harus mampu menampilkan makna-makna yang berhasil kita rebut dari sebuah sajak.
Di sini kita mengerahkan segala kemampuan yang ada pada kita semaksimal mungkin seperti vokal, tempo dan irama, gerak, mimik, penghayatan, perasaan dan sebagainya.
Jakarta, 16 Agustus 1980