Senyum Di Ujung Maut


Cerpen: Lilik Soebari

Kutatap sosok tubuh yang tergeletak di atas dipan kayu berselimutkan sehelai kain  biru bermotif bunga-bunga. Kulit wajahnya yang putih memucat tidak memudarkan aura kecantikannya.

Perempuan berumur setengah abad lebih itu tertidur sangat pulas. Nafasnya naik turun, dan saat kudekatkan telinga di bagian dada,  detak jantungnya masih berirama..

Entah apa yang telah terjadi dengannya.

Sudah tiga bulan seluruh keluarga dan kerabat mencarinya dengan berbagai cara. Pihak kepolisian pun bergerak tapi tidak menghasilkan apapun. Halimah menghilang bak di telan bumi.

Sementara itu, Duran duduk sembari menatap penuh dengan pandangan muram ke arah  Halimah. Laki laki tua yang seluruh permukaan kulitnya berkeriput namun masih menyisakan tubuh tegap, sorot mata tajam berkali-kali menghembuskan nafas berst.

Serasa memikul beban sangat berat.

Kulihat tangannya bergetar mengapit sebatang rokok, menghisapnya kuat-kuat dan penuh nikmat lalu menghembuskan asap putih dari hidung dsn mulut.

Kesenyapan mengambang.

"Ini bulan ketiga, dia berbaring seperti ini," tuturnya getir dan terbata-bata. "Saya hanya menjalankan amanah. Saya tidak berani mengabarkan kondisi Ibu pada siapapun "

"Lalu, aku?" Tanyaku memastikan.

"Itu permintaan Ibu, sebulan yang lalu, tapi baru kemarin disampaikan ketika beliau tersadar." Paparnya.

Kutatap mata terpejam itu penuh linangan airmata. Serasa ribuan jarum menusuk sampai ke tulang sumsum melihatnya dalam kondisi tak berdaya.

"Kita bawa ke rumah sakit ya?" Usulku.

"Tidak! Jawab laki-laki berkulit legam itu dengan tegas. "Ini amanah Ibu."

"Kalau ada spa-apa, kau akan disalahkan Duran" ujarku mendesak.

"Tidak akan ada yang tahu keberadaan ibu disini. Andaikan bocor, kau yang bertanggungjawab."

Kulihat wajah Duran mengeras dengan sorot mata tajam mengintimidasi. Aku membuang muka, menatap segerombolan burung-burung yang melintas menyisakan kicauan.

Setelah asap rokok terakhirnya meruap, Duran bangun dari duduknya.

"Kau ingin melihatnya?

Aku bergeming dan kuamati gerak-gerik Duran yang duduk di bibir ranjang lalu menyingkap selimut di bagian lengan.

Aku terbeliak tak percaya takkala melihat goresan luka melintang antara telapak tangan dan lengan bawah. Terdapat tiga goresan luka yang masih menganga, tapi sudah mengering.

"Dia punya nyawa rangkap." Ucapnya getir, lalu menyingkap pergelangan tangan yang tertutup selimut di sebelah kanan..

"Siapa yang melakukannya?" Teriakku histeris dan refleks menyambar leher Duran lalu mencengkeramnya  kuat-kuat. Nafas laki-laki itu ngos-ngossan dan memburu. Tangannya menggapai kesana kemari.

Aku tersadar lalu melepaskan cekikan.

Duran terbatuk-batuk kemudian  terduduk. Entah mengapa laki-laki itu tiba-tiba menangis tersedu-sedu.  Tangisannya menyayat.

Aku mengacuhkannya dan kembali fokus pada Halimah. Saat kembali akan menyingkap selimut, aku mengurungkannya. Perasaan ngeri merambat saat membayangkan bagaimana telapak tangannya terlepas dan hanya menyisakan lengan tumpul.

Kulirik Duran yang masih tersedu, lalu kurogoh gawai di saku dan akan menghubungi teman yang ada di kepolisian.

"Jangan menghubungi siapapun," hardik Duran. Nyaliku menciut melihat matanya yang merah dan melotot.

" Duduklah!"  Perintahnya seraya menyodorkan kursi plastik yang telah memudar warnanya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanyaku lirih.

"Berkali- kali Ibu akan bunuh diri, namun gagal. Kau lihat luka di nadi tangan kiri, itu percobaan yang pertama.  Meski telah kehilangan banyak darah, Tuhan masih memberi dia kehidupan."

"Dan tangan buntungnya?" Tanyaku penassran.

"Saya yang salah," tangisnya kembali pecah.

Tiba-tiba saja gemuruh amarah meledak dalam dada. Ini tidak bisa dibiarkan, pikirku. Pelan kurogoh gawai, namun kalah cepat dengan sambaran tangan Duran. Benda pipih itu melayang dan terlempar cukup jauh.

"Dengarkan saya," teriaknya. Aku menjadi ketakutan melihat roman muka garang dan matanya yang semerah darah. Kulihat tangannya juga terkepal, dan buku-buku tangannya mengeras.

"Dudukkah," perintahnya sesaat setelah emosinya reda.

"Dengarkan semuanya secaŕa tuntas, setelah itu kau boleh ambil keputusan untuk bertindak,"

Duran bangkit dari duduknya lalu menggeser dipan yang ditempati Halimah sehingga ada celah untuk dilewati.

Laki-laki itu menyuruhku menggunakan gerakan tangan supaya berdiri mendekat dab sejajar berada di tubuh Halimah bagian atas. Lalu Duran membuka selimut dan menunjukkan bekas luka sayatan di bagian leher. Dadaku terasa sangat sesak.

"Ini percobaan kedua kalinya setelah gagal menyayat nadi."

Kututup mata dan mencoba membayangkan apa yang dilakukan terhadap tubuhnya, dan mengapa sampai berbuat keji pada diri sendiri.

"Apakah engkau siap? Saya buka lagi?

Duran menatap tajam, menelisik kekuatan hati. Kuanggukkan kepala meski batok kepala disergap kengerian karena bayangan yang melintas saat Halimah melakukannya.

"Stop!" Pintaku.

Rasanya aku tak sanggup melihat sesuatu yang lebih menegangkan lagi.

"Kau lupa bertanya mengapa aku mesti menjadikan tangannya buntung?" Duran mengusik keheningan.

Aku terdiam dan menatap langit-langit rumah yang bolong-bolong dan terdapat rajutan halus berbentuk lingkaran. Bukan hanya satu tapi cukup banyak bertebaran seantero ruangan.

Aku kembali tenggelam dalam lamunan, hati dan pikiran kembali ke lorong waktu saat keluarga besar kelimpungan. Halimah menghilang tanpa jejak. Di minggu pertama mereka masih beranggapan Halimah mengurus bisnis kulinernya di salah satu kota.

Minggu berganti bulan, keberadaa Halimah tetap tak terendus. Ada dugaan kematian suami keduanya mengguncangkan jiwanya. Dan sepertinya Halimah telah merencanakan dengan matang kepergiannya. Bisnis kuliner dan jamu telah diamanahkan untuk dikelola saudara sepupunya yang selama ini mengurus bagian manajemen.

Halimah memang kurang beruntung, meski mampu menghasilkan.pundi-pundi emas dari bisnisnya, ia tidak dikaruniai momongan. Bahkan ketika menikah untuk kedua kalinya dan berstatus sebagai istri kedua, Tuhan belum  menganugerahi putra.

Duran datang mengagetkan lamunanku, ditangannya membawa nampan berisi mangkuk-mangkuk kecil lalu dia menatanya di meja. Aku menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Ketika Duran mengeluarkan toples-toples kecil dari lemari, aku baru tahu itu adalah ramuan. Aromanya menguar saat Duran memasukkan sendok demi sendok bubuk jamu ke mangkuk-mangkuk.

"Ramuan ini tak kalah mujarab dengan obat kimia," jelasnya tanpa kutanya, "bahkañ saat kupotong tangannya, beliau tidsk merasakan sakit."

Aku mencoba menciumi aroma dari setiap botol. Ada kunyit, temulawak, cabe puyang, laos, dan jahe. Namun aroma di toples besar berwarna hijau pekat gagal kuketahui.

"Itu campuran binahong, cocor bebek dan batang daun talas," jelas Duran, "ramuan itu yang mempercepat proses penyembuhan luka."

Duran berdiri mendekati Halimah di pembaringan lalu mengangkat kepala  Halimah dan memangkunya. Duran membuka mulut Halimah, memasukkan bubur encer.  Hanya beberapa suap sebelum meminumkan jamu, sekitar empat mangkuk kecil.

Rasa haru menyergap dalam hati, dan aku teringat gawai ingin menngabadikan moment yang mengharu-biru. Saat hendak beranjak mengambil HP yang terlempar, mataku terbeliak  dan kaki menjadi kaku.

Bagian dada Halimah terbuka menampakkan penandangan yang sangat mengerikan. Kedua dadanya gepeng, rata tidak ada gundukan. Yang tersisa hanya permukaan memerah dan masih basah.

"Apa yang terjadi?" Tangisku pecah.

Duran tak mempedulikan tangisku yang kian kencang. Tangannya sibuk membalurkan ramuan pekat seraya bersholawat. Dendang sholawatnya menggema memenuhi udara dan memasuki relung hati.

Aku tersadar, lalu ikut mendendangkan sholawat Jibrii, "Sholallahu'Ala Muhammad,  Shallallahu Alaihi  Waa Sallam, Sholallahu'Ala Muhammad  Shallallahu Alaihi Waa Sallam, Anta syamsun  Anta badrun  Anta nurun fauqonuri, Anta  syamsun Anta badrun,  Anta  nurun fauqonuri Anta iksiru  waghori Anta misbahu shururi."

Pandanganku mengabur karena kedua kelopak mata dibanjiri derasnya air mata. Dalam gemuruh lantuman sholawat kusaksikan tangan Duran berpindah menyingkap selimut di tubuh bagian tengah. Terpampang jelas luka-luka sayatan yang memerah di bagian perut bawah menembus paha. Warnanya kontras dengan warna kulit memucat di permukaan tubuhnya.

"Rabb! Apa yang telah dilakukannya?"  Tanyaku tergugu.

"Aku buntungi tangannya supaya tidak lagi merajam tubuhnya. Ibu melakukannya kala saya berada di puncak kelelahan dan tidak bisa menahan kantuk." Jelasnya dengan suara bergetar.

"Tetapi mengapa Duran? Mengapa dia melakukan hal seperti ini? Dia perempuan tegar dan perkasa. Halimah orang baik dan sholehah. Mengapa dia berbuat dholim pada diri sendiri?" Cecarku seraya mengguncang-guncang tubuh Duran.

"Ibu berkata pada saya telah melakukan zinah di sepanjang perkawinannya dengan Hanan. Dua belas tahun, itu penjelasan Ibu."

"Bukankah perkawinannya sah secara agama?" Tanyaku mengejar.

 

Duran membisu, dan kulihat air mata kembali menetes di kulit keriputnya.

"Menurut ibu tidak. Karena saat ijab kabul saksi yang beliau bawa dua perempuan."

Shock. Detak jantungku berdentang keras dan cepat hingga tubuhku limbung. Setelah tersadar kurengkuh tubuh ringkih Halimah dan kuciumi wajah pucatnya penuh tangis.

Saat tubuh Halimah dalam dekapan, tiba-tiba terdengar gumaman sholawat terdengar mengambang yang datangnya entah dari mana. Aku menajamkan pendengaran saat gumaman itu terdengar semakin terasa meruak dan mengepung, seakan-akan semesta mendendangkan sholawat.

Kulepaskan dekapan tubuh Halimah dan menikmati senyum indah yang menghias bibirnya. Kurasakan tbuhnya kini mulai mendingin. Membeku.

Tangisku dan tangis Duran pecah.

                                         Sumenep,  9-12-2022.

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 7673170275402364311

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close