Seni Baca Puisi (Bagian 2)
Jose Rizal Manua saat membacakan puisi
Oleh: Jose Rizal Manua
Sebuah puisi adalah suatu peristiwa atau suatu rangkaian peristiwa yang dipadatkan, yang mengkristal dan terkonsentrasi. Dengan pilihan-pilihan kata dan kalimat yang disesuaikan dengan semangat puisi tersebut. Memahami sebuah puisi haruslah bertolak dari satu kesatuan yang utuh, yang disebut “semangat” dari puisi tersebut.
Artinya dengan membacanya berulang-ulang, kita bisa merasakan “semangat” dari puisi yang akan kita baca. Semangat inilah yang kita sampaikan kepada penonton. Misalnya untuk puisi di bawah ini:
Taufiq Ismail
Sajak Anak Muda Serba Sebelah
Si Toni dicabut kupingnya satu yang kanan
Maka suara masuk kuping kiri tembus ke otak
Di kirim balik dan jatuh ke kuping kiri lagi
Si Toni di potong tangannya satu yang kanan
Maka dia belajar menulis dengan tangan kiri
Si Toni diambil matanya satu yang kanan
Maka air matanya tetes ke sebelah kiri
Si Toni dipetik jantungnya lewat rongga kanan
Tapi gagal karena jantung itu mengelak ke kiri
Si Toni dipotong ginjalnya satu yang kanan
Tak gagal karena sesuai secara faali
Si Toni diambil kakinya satu yang kanan
Maka dia main bola cuma dengan kaki kiri
Lama-lama si Toni jadi kidal
Kupingnya yang bisa mendengar kuping kiri
Tangannya yang main gitar tangan kiri
Air matanya menetes di mata kiri
Ginjalnya menyaring di sebelah kiri
Dia tendang bola dengan kaki kiri
Lama-lama si Toni Ingin kerja
Cita-citanya lumayan sederhana
Dia mau jadi sopir saja
Tapi tak ada lowongan baginya
Karena kendaraan stir kanan semua
Hai tunggu dulu, Toni ini anak sayakah
Atau anak saudarakah?
Atau barangkali kemenakan kita?
Keadaan ini memang aneh
Sore ini jam empat tepat
Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya
Dengan cara-cara anak muda bergaya kidal
Dan itu bukan suara gerimis, bukan
Itu air matanya
Memukul-mukul lantai beranda
(1977)
Umumnya, “judul” sebuah puisi akan menyiratkan “isi”. Maka “isi” puisi Taufiq Ismail yang berjudul Anak Muda Serba Sebelah ini, akan menyiratkan tentang anak muda yang “jiwa raganya” tidak utuh. Sehingga segala tindak-tanduknya serba nanggung.
Puisi Anak Muda Serba Sebelah ini terdiri dari empat bait. Bait pertama, melukiskan tentang anak muda yang serba sebelah. Yang kupingnya, tangannya, matanya, jantungnya, ginjalnya dan kakinya tinggal sebelah. Ini adalah perlambang dari kegagapan.
Bait kedua melukiskan tentang akibat dari “yang serba sebelah” itu. Yang mengakibatkan, si Toni (anak muda yang serba sebelah) itu, mendengar hanya dengan kuping kiri, tangannya yang main gitar tangan kiri, air matanya menetes di mata kiri, kinjalnya menyaring hanya yang sebelah kiri dan menendang bola hanya dengan kaki kiri.
Bait ketiga, melukiskan si Toni yang berkeinginan menjadi sopir, namun semua kendaraan setir kanan.
Pada bait keempat, sang penyair mempertanyakan, tentang si Toni; “si Toni ini anak sayakah, atau anak saudarakah? Atau barangkali kemenakan kita?
Bait keempat dari puisi Anak Muda Serba Sebelah ini, ditutup dengan kalimat: “Sore ini jam empat tepat/ Dengarlah dia sedang mengocok gitarnya/ Dengan cara-cara anak muda bergaya kidal/ Dan itu bukan suara gerimis, bukan/ Itu air matanya/ memukul-mukul lantai beranda”. Di bait keempat ini, yang merupakan klimaks, terasa ada keharuan, dengan maksud, agar menjadi renungan bagi kita semua. Bahwa Anak Muda yang Serba Sebelah itu, bisa saja adalah dari kerabat kita sendiri.
Untuk memahami puisi di atas, ada baiknya kita mengetahui juga konsep Taufiq Ismail dalam menulis puisi, yaitu untuk “mengingatkan”. Juga ada baiknya kita mengetahui tahun penciptaannya, karena semua puisi berkaitan dengan situasi (sosial, politik, ekonomi, dan budaya) zamannya.
Puisi Anak Muda Serba Sebelah ini dibangun dengan bahasa yang sederhana dan tersirat. Sehingga mudah dipahami. Kekuatannya terletak pada surprise di bait ke empat.
Ada ironi (kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir) dan suasana humor (sesuatu yang lucu dan/ atau keadaan (dalam cerita dan sebagainya) yang menggelikan hati), yang ingin dihadirkan oleh Taufiq Ismail melalui puisi tersebut.
Seorang deklamator harus bisa menghadirkan suasana yang ironis itu secara imajinatif, ketika membacakannya. Misalnya, ketika membaca bait pertama (baris 1, 2 dan 3), seorang deklamator membacanya dengan tempo dan irama seperti seorang komentator sepak bola. Kemudian secara berurutan menegaskan baris-baris (baris 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13) berikutnya. Senyap sejenak… dilanjutkan dengan bait kedua dengan tempo dan irama yang sedang, tapi dengan variasi. Senyap sejenak… bait ketiga (baris 1, 2 dan 3) tempo dan iramanya bisa ditingkatkan, dan diberi “dadakan” pada baris 4 dan 5, tapi dengan variasi.
Untuk membangun suasana humor. Senyap sejenak… kemudian “disergap” dengan kalimat “Hei, tunggu dulu” (bait keempat). Toni ini anak sayakah/Atau anak saudarakah?/ Atau barangkali kemenakan kita?... Keadaan ini memang aneh… dilanjutkan (baris 5, 6, 7, 8, 9, 10) dengan tempo agak lambat untuk membangun rasa haru atau keharuan, sebagai klimaks atau penutup.