Perempuan Gila di Belantara Sunyi
Ilustrasi
Cerpen: Lilik Soebari
Marina mengenal laki-laki itu di suatu siang yang sangat terik dan berdebu. Matahari waktu itu hampir tepat diubun-ubun.
Laki-laki berkaos hitam dan berambut lurus mirip ijuk tanpa mengenakan helm menuntun sepeda motornya dengan langkah terseok-seok.
Wajahnya makin menghitam terbakar terik dan bulir-bulir keringat membasahi wajahnya dan nafasnya tersengal-sengal saat duduk di amben depan warung kecil Marina. Bukan warung, tapi semacam dangau di persimpangan.
Marina sangat menyukai tempat ini karena sejauh mata memandang hanya hamparan terbuka yang menyuguhkan latar petakan-petakan air yang dibatasi pematang beratapkan langit.
Tempat yang nyaman dan nenghangatkan hati.
Dalam kesunyian dan keheningan yang membentang, telinga Marina acapkali menangkap deru angin berkesiur ditimpali kecipak air dan kilau keperakan sisik-sisik bandeng yang berlompatan. Selebihnya adalah bias warna senada hampatan air dan langit.serta lengang jalan makadam yang bergemeretak saat dilintasi.
Belantara sunyi itu membangkitkan kehidupan baru bagi jiwa Marina. Meski semua orang menjulukinya, gila. Anjing menggonggong kafilah berlalu. Peribahasa itu dijalaninya dalam realita kehidupannya. Cap gila diterimanya tanpa protes bahkan Marina melengkapinya penuh kesadaran.
Kamuflase Marina bak metamorfosis sempurna. Mereka yang menjulukinya gila tidak tahu dan memahami bahwa area terpencil, lengang nan sunyi bagi Marina adalah tempat menggembalakan hati.
Lamunan Marina terputus saat mendengar bunyi glek ... glek ..., lalu matanya menatap lelaki yang sedang mengguyur kerongkongannya dengan sebotol air mineral.
Sekejab hati Marina bergejolak, dan tiba-tiba saja ada ribuan pipit riuh mematuk-matuk hamparan padi menguning. Cericitnya bertaburan di celah dedaunan.
"Adakah sesuatu yang membuatmu terpaku?" Tanya lelaki itu bersemangat karena rasa hausnya terobati.
Marina tergeragap, lalu menatapnya, riuh cericit burung pipit kembali bernyanyi dihatinya..
"Dari manakah, Anda?" Tanya perempuan berwajah cemong itu gugup.
"Saya dari kampung sana! Kampungmu," tunjuknya.
Marina mengulum senyum.
Tampak di kejauhan atap-atap rumah mengerucut mengecil di sela-sela gundukan-gundukan putih berkilau, garam.
Selebihnya hamparan air yang diselingi pematang-pematang, dan sunyi.
"Saya tak pernah melewati rute ini, biasanya lewat Karanganyar tembus ke desa Marengan. Entah mengapa hati saya mengajak ke arah ini. Eh, salah aku sering lewat sini tapi ngk mampir," laki-laki itu meralat ucapannya.
Diam-diam Marina mencuri pandang, menelisik ketegasan suaranya yang menghipnotis. Sepertinya lelaki ini tidak asing, entah bertemu dimana.
"Dan sepeda Anda, mogok?"
"Tebakan Nyai sangat tepat.Tapi ini hanya sebatas trik saja agar ada yang bersimpati." ungkapnya jujur.
Marina terkikik mendengar sapaan nyai sekaligus kalimat akhir dari laki-laki itu. Marina sadar lelaki itu sedang ngegommbal.
"Nyai dari Hongkong," pungkas.Marina sembari tertawa.
Laki-laki itu ikut terbahak.
"Saya tidak percaya dan ingin membuktikan gosip mereka, bahwa ada perempuan ngk waras menggelar dagangan di belantara sunyi,"
"Begitukah?"
"Namun saya berpikiran tidak sama," tukasnya, "Hanya sangat aneh saja, mengapa menggelar dagangan yang jarang sekali orang melintas."
Marina menatap penuh selidik, lelaki itu balik menatap Marina. Sekian detik tatapan keduanya terkunci, namun sesaat kemudian laki-laki itu menundukkan pandangan.
"Berarti Anda sependapat dengan mereka? Para kaum pemuja keinginan," pungkas Marina. menambahkan.
"Kau tidak takut sendirian?" Lelaki itu tidak menjawab pertanyaan Marina, malah mengalihkan pada topik lain.
"Hahaha ...," tawa Marina kembali pecah, "Mereka takut sama orang gila."
Suasana yang lengang dan sunyi terisi tawa dari laki-laki itu.
Sesaat kemudian kelengangan kembali menyergap.
"Namaku, Amza," lelaki itu menyebutkan nama tanpa mengulurkan tangan.
"Aku, si wanita gila," cetus Marina.
"Mata batinku mengatakan, itu hanyalah sebuah siasat. Entah dorongan apa yang membuatmu mengambil keputusan berat berperan gila." Urainya langsung menguliti.
Marina menjawabnya dengan tawa.
"Amza, berbisniskah?" Tanya Marina mengalihkan perbincangan.
Laki-laki itu mengangguk, sesaat kemudian matanya menjelajah ke rak plastik yang berisi mie instan, makanan ringan dan selebihnya sampah.
Sampah-sampah plastik yang tersusun dengan cara di sate, lalu disusun acak, menumpuk ringgi dan hampir menyentuh para-para. Marina melakukannya di kala senggang membunuh waktu.
"Bisakah, Nyai memasakkan mie untuk saya?"
Dengan cekatan Marina memasak 2 mangkuk mie kuah dan menyeduh kopi jahe. Aroma wangi menguar, dan itu menumbuhkan rasa lapar.
Sesaat kemudian hanya terdengar decak mulut yang lahap mengunyah mie memecah keheningan.
Selagi asyik mengunyah mie, telinga Marina mendengar suara kerikil yang terinjak dari arah timur, dan secara reflek perempuan berhijab hitam itu menyiramkan sisa kuah mie ke kepala Amza. Laki-laki itu terlonjak kaget dan melongo saat kikikan tawa Marina memecah keheningan..
Dua laki-laki yang baru datang menatap Amza penuh sorot mata kasihan.
Marina memperhatikan Amza yang masih sibuk mengibas-ngibaskan tangan dirambutnya dari remah-remah mie dan ujung lidahnya menjilati rembesan kuah.
Dua laki-laki yang baru datang nyengir melihat tingkah Amza yang konyol.
"Kalau marah, bukankah ikutan gila?" Tanya Amza terkekeh.
Kedua laki-laki itu pun tertawa.
Setelah mengambil 2 botol air mineral kedua laki-laki itu pun berlalu melanjutkan perjalanan.
"Maaf."
Amza hanya tertawa dan tatapannya demikian lekat. Marina tersipu malu.
"Apa yang membuatmu berperilaku seperti ini?" Tanya Amza hati-hati.
Marina meraup udara sebanyak mungkin lalu menatap Amza, "Apa gunanya sepenggal kisah miris untukmu?"
"Aku tahu semua tentangmu, penggalan-penggalan kisah yang penuh kesedihan," penjelasan Amza membuat Marina ternganga. "Aku adalah bayanganmu.'
Marina tertegun mendengar akhir perkataan Amza.
"Shiit, kalau engkau bayanganku mengapa masih ingin menggali ceruk terdalam?"
"Namanya bayangan, hanya ada di permukaan dan sebatas mengikuti," jawab Amza berfilosofi.
"Kabar apakah yang kau dengar?" Cecar Marina.
"Seorang gadis cantik dan cerdas, dambaan kaum lelaki, alumni pondok pesantren yang dipaksa pulang untuk dikawinkan," urai Amza.
"Lalu?"
"Entah karena apa lalu jadi gila. Kabarnya sih ulah dari suami dan mertuanya."
"Tepatnya memutuskan menjadi gila," Marina mempertegas lalu tawanya kembali pecah, sampai-sampai air matanya menitik. Dan entah mengapa ia mengambil keputusan berkisah tentang luka pada lelaki yang baru dikenalnya itu.
"Laki-laki itu, lelaki yang telah meniduriku karena sudah halal, dia, dia ...," suara Marina tercekat menggambarkan rasa luka dan sakit yang sangat, “dia bukan manusia. Tepatnya dia iblis."
Marina kemudian tergugu dalam tangis.
"Apa yang dia lakukan padamu?" Tanya Amza setelah Marina mampu mengendalikan emoosinya.
"Dia, dia menyiksaku, setelah sekarat dia memperkosaku. Di depan semua orang dia memperlakukanku sebagai ratu, namun malam-malam panjang penuh penyiksaan." Aku merasakan diriku sudah mati." Cerita Marina penuh linangan air mata.
Marina menggulung lengan baju, dan tanpa malu memperlihatkan bekas luka menghitam. Amza terlonjak kaget saat Marina berbalik dan menyingkap kaos yang dikenakannya. Terpampang bekas luka memanjang yang tumpang tindih dan kulit mengelupas akibat sundutan rokok.
"Mengapa tidak melaporkannya?" Geran Amza.dengan pandangan entah.
Marina kembali terkekeh.
"Aku takut, sejak ibu ditabrak dan lumpuh. Dura si iblis itu sudah membeli semua orang. Termasuk Bapakku yang sudah mendapatkan 3 petak tambak, kedua kakakku sudah dijadikan polisi dan tentara. Sementara ibu tak bisa berbuat apa-apa untuk membelaku."
Amza menatap penuh kesedihan sosok perempuan didepannya. Dia tidak menyangka bahwa cerita riil yang membuat perempuan itu memilih menjadi gila karena perlakuan tidak manusiawi.. Berbalik dengan cerita yang dihembuskan bahwa Marina menjadi gila karena diguna-gunai istri tua sang suami.
"Apakah kau masih ingin tetap bertahan disini?" Amza bertanya ragu-ragu
"Yang kupikirkan hanya ibu, dengan masih tetap disini aku bisa berhikmat padanya. Ibu juga memahamiku, tidak mencapku gila."
"Sampai kapan kau akan bertahan seperti ini? Selamanya?" Kejar Amxa.
Marina tercenung lalu pandangannya menatap Amza penuh linangan air mata.
"Semoga Rabb, kekasihku tidak menjadikanku gila beneran. Aku senantiasa menjaga hatiku untuk tetap waras dengan bersholawat dan berdzikir."
Hati Amza tersentuh mendengar penuturan Marina, dan tanpa terasa kedua bola matanya berkaca-kaca.
"Apakah kau bersedia kalau aku memperjuangkanmu dari ketidakadilan ini?"
"Sang Rabbku tidak pernah tidur, ini keyakinanku," imbuh Marina sembari mendendangkan sholawat. Alunan suaranya memasuki pori-poru udara dan diterbangkan angin, syahdu ditengah terik.
Amza pun terbawa suasana ikut bersholawat. Suara keduanya menyatu, saling menimpali dan berkelindan membentuk harmoni lagu yang indah. Nada suara meliuk-liuk, menari-nari mengisi ruang hampa udara dan menentramkan hati saat mendengarnya.
Sesaat hening tercipta ketika keduanya mengahiri lantuman sholawat.
"Bukankah perempuan yang diusir oleh suami dari rumahnya dan dilabell gila.otomatis talaknya jatuh?" Tiba-tiba Marina melontarkan pertanyaan tak terduga.
'Maksudnya, kau merasa sudah ditalak?" Amza balik bertanya, memastikan.
"Begitulah."
"Menurutku ya, tapi aku akan memastikan dengan bertanya lebih dahulu pada Kyai," pungkas Amza.
"Lalu, bagaimana dengan tawaranku? Apakah aku bisa memperjuangkanmu? Atau kita pergi jauh dari sini. Kita dan ibumu."
"Kau sedang merayuku dan mau bertindak jadi pahlawan kesiangan?" Ketus Marina.
Amza hanya bisa nyengir mendapat pertanyaan yang logis dari mulut Marina.
"Bisa dikatakan begitu, jikalau engkau berprasangka seperti itu." Pungkas Amza, lalu melanjutka ucapannys "atas nama Tuhan, Rabb pemegang jiwa aku bersungguh-sungguh berniat membawamu. Maukah, engkau Marina?"
Marina tidak menjawabnya, perempuan itu menyibukkan diri mencuci piring bekas makam mie lalu tangannya dengan cekatan melipat bungkus mie menjadi kotak-kotak kecil, setelah itu menusuk dan meroncenya.
"Apakah harapan itu masih ada?" Kejar Amza.
"Aku lebih suka begini mengembarakan jiwaku yang liar. Aku menyukai tempat penuh keheningan dan sunyi. Karena ketika berada di tempat seperti ini, aku merasakan tangan lembut Sang Rabb memelukku dari belakang, dan sekujur tubuh, raga dan jiwaku berada dalam dekapannya. Aku tidak butuh siapa-siapa untuk membuatku bahagia."
Amza menikmati untaian kata demi kata yang keluar dari mulut Marina yang penuh makna. Sungguh laki- laki berkulit legam itu tidak menyangka, seorang perempuan muda mempunyai ketegaran yang kokoh dan mampu menyempurnakan hati. Ini menunjukkan keluasan ilmu dan kedalaman hati menyikapi kehidupan.
"Aku akan tetap menunggumu sampai suatu saat Sang Rabb membuka keluasan hatimu dan menempatkanku di kedalaman hatimu." Kejar Amza kukuh, mengikuti irama kata Marina.
"Begitukah?" Senyum Marina mengembang memberi harapan.
Amza menatap senyum dan kilau kerjab cahaya yang berpendar di bola mata Marina.
"Kau bisa menungguku di kaki langit di suatu masa, saat takdirku dan takdirmu berjodoh."
Amza merasakan hati dan tubuhnya bergetar hebat saat mendengar jawaban Marina karena jawaban itu adalah isyarat dari doa-doa panjang yang dipanjatkan di sepertiga malam.
Tanpa sepengetahuan Marina, Amza membayangi jejak Marina sejak kisah pilu itu tertangkap indranya. Lima bulan terakhir Amza merangkai puzzle kehidupan Marina dengan mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi.
Dan secara diam-diam Amza menjaga perempuan malang itu dari cengkeraman Dura mantan suami yang disebut iblis oleh Marina.
"Terima kasih. Aku akan.menunggumu sampai saat itu tiba." Amza berdiri untuk berpamitan.
Marina ikut berdiri, menatap manik mata Amza. Keduanya bersitatap lekat dalam kebisuan nan lengang.
Sumenep, Juli 2023.