Tumbal
Cerpen: Lilik Soebari
Winda tersenyum puas sembari tetap mematut diri di cermin dan melihat bayangannya yang semakin glowing dan cantik. Senyum puas tersungging dibibirnya, dan berbisik memuji diri, " Hmmm, cantiknya aku."
Winda menyentuh bunga kacapiring yang tersemat di daun telinga. Bunga pengasih dan mesti diberi jatah setetes darah di setiap purnama. Ajimat berbentuk bunga warna putih itu akan marah apabila Winda terlupa, dan tangkainya seperti bernyawa. Secara tiba-tiba akan meliuk lalu menancap di tengkuk dan menimbulkan rasa sakit luar biasa. Berbeda kalau sedikit menusukkan jarum di tangan, lalu meneteskannya. Winda berjanji pada diri, cukup dua kali saja mengalami hal itu dan tak ingin terulang lagi.
Pikiran Winda melayang, mengingat saat ritual mendapatkan Bunga Pengasih yang demikian bertuah. Perjuangannya selama tiga purnama tak sia-sia. Di bulan pertama selama sepekan harus berendam di aliran sungai deras. Bertelanjang, menahan gigil dan lapar.
Penyiksaan raga bukan hanya tekanan dari sekeliling, tapi juga rasa lapar yang meledak akibat mutih yang dijalani Winda di hari ke delapan. Belum lagi ketika harus mengulang mantra yang diucapkan nyaring ditimpa gemuruh derasnya air sungai. Dan si mbah Broto, lelaki yang bisa berwujud babun akan menyeringai memperlihatkan taring ketika Winda salah ucap.
Ritual di purnama kedua secara fisik lebih mudah karena hanya memfokuskan pikiran selama sepekan. Pas di sasi purnama, mbak Broto mensusuk tubuh Winda dengan mantra,
(sun amatek ajiku si setan kober, kang kayempuh guo garbo si menungso lanang, wolak-wsluk ning jantung atine, yen ketemu turu tangekno, yen ketemu tangi jagakno,:yen ora jogo rudapkso
(Sun amatek ajiku jolo sutro, raiku rai purnomo, rit ... rut ... rut ... teko kadep, teko welas, teko asih ragane wong jogo wetan, podo asih menyang aku kabeh wong lanang, sun makulon wong lanang, nyaeane lerpulungiati welas menyang aku kabeh)
Ada energi gaib yang masuk ketubuhnya takkala memasuki bulan purnama ketiga. Setelah mandi kembang tujuh rupa, mbah Broto memasukksn Winda di tong besar yang berisi air dan kembang kacapiring. Perendaman tubuh Winda dilakukan bersamsaan kala bulan purnama terbit.
Dengan posisi bersila dan lurus menatap pergerakan bulan, Winda merasakan sekujur tubuhnya bergetar. Entah binatang apa yang merayapi tubuhnya memberikan sensani hangat dan membangkitkan gairah kewanitaannya.
Rayapan kaki-kaki kecil seperti tangan kekar nan lembut laki-laki. perlahan bersamaan mengelus, mengecup dan mengulum area-area sensitif. Rintihan, desahan dan lenguhan mulai terdengar disertai gelinjang. Air dalam tong bergejolak dan bunga kacapiring menari-nari mengikuti irama tubuh Winda. Ketika aroma bunga kacapiring semakin menguar, ribuan binatang yang menggerayangi tubuh Winda semakin ganas mengulum dan menggigit. Puncak dari ritual ketika Winda melenguh panjang merasakan kenikmatan tiada tara. Entah apa yang telah memasuki lorong kelentitnya.
Dari tempat duduknya dalam posisi bersila, mbah Broto menyeringai puas.
Sebulan kemudian, Winda duduk bersama dengan seorang laki-laki rupawan di sebuah kafe. Mata Fendy tak berkedip menatap perempuan didepannya. Dari jarak cukup dekat, laki-laki itu mengendus aroma segar bunga yang menguar dari tubuh Winda.
"Ayolah sayang, kita mulai dari awal lagi, tolong maafkan kesalahanku yang lalu." Winda hanya tersenyum dan menatap manik mata didepannya.
"Janji ngak ninggalin aku?" Tanya Winda memastikan
"Janji," Fendy mencuri ciuman tanpa malu meski banyak mata yang melihatnya.
Pertemuan itupun dilanjutkan dengan kencan di hotel. Kali ini Fendy benar-benar mabuk kepayang. Penuh kerakusan dan, menjilati, melumat serta .menggigiti inci demi inci dan menghidu arona bunga di sekujur tubuh Winda.
Winda tertawa puas karena Fendy telah terjatuh dalam genggamannya. Laki-laki itu menjadi target dendam pertamanya. Mantan majikan yang telah mengoyak keperawanannya secara paksa.
"Tapi Win ngak mau di hotel kayak gini lagi," rajuk Winda manja, menghembuskan nafas di wajah Fendy seraya membaca mantra.
"Mau rumah?" Tanya Fendy
"Hmm ...,"
Fendy gemas melihat Winda yang mengerucutkan bibir, lalu menghujani ciuman panas di sekujur tubuh mulus Winda. Kini keduanya kembali bercumbu.
Seminggu kemudian, Winda menempati rumah type 72 lengkap dengan tunggangan Baleno warna silver. Tanpa meminta dua kali, Fendy telah mewujudkan impiannya.
"Terimakasih, sayang," Winda melumat bibir Fendy dengan rakus dan tak lupa mengikatkan buhul mantra.
Fendy semakin terkungkung dan tidak bisa melepaskan diri dari jerat Winda.
Bahkan ketika dengan terang-terangan Winda memasukkan laki-laki lain ke rumah mereka, Fendy hanya terpaku.
"Maaf sayang, kau belum bisa memuaskan dahagaku," ujar Winda.
"Tidak apa-apa,"
Tanpa beban Winda melenggang memasuki kamar, dan sejurus kemudian desahan, lenguhan, dan teriakan terdengar jelas di telinga Fendy.
Karena tak tahan, Fendy bergegas memasuki kamar sembari melucuti pakaiannya.
Fendy menerkam Winda takkala melihat laki-laki itu terkapar kelelahan, sedangkan Winda masih blingsatan menggeliat-geliat bak cacing kepanasan. Pergumulan panas dimulai kembali, dan akhirnya Fendy mampu membuat Winda menjerit pada puncak orgasmenya.
Kedua laki-laki itu, Fendy dan Bahrul mirip para budak yang tak mampu memahami keinginannya sendiri. Lebih tepat seperti kerbau dicocok hidungnya. Ritual double sex pun menjadi ajang rutinitas tiap hari hingga berakibat Fendy terkapar dan dilarikan ke rumah sakit.
Winda sangat puas karena telah berhasil membalaskan dendamnya. Selain menguras harta, perempusn molek itu juga berhasil merusak rumah tangga Fendy.
"Besok malam Win akan ke luar kota, tiga hari," pamit Winda pada Aji, korban yang entah ke berapa.
"Boleh kuantar?" Tawar Aji merengkuh kepala Winda dan menyesap aroma kacapiring.
"Tidak!"
Setiap purnama Winda mesti mendatangi mbah Broto untuk melayaninya. Ini purnama yang ke sepuluh. Meski usianya telah menjrlang 57 tahun energi mbah Broto semakin kuat dan jantan. Berimbang dengan kekuatan Winda yang didapatkannya dari ritual.
"He ... he ... he ..., kau semakin cantik," puji mbah Broto. Meski ada tamu, Winda menghambur memeluk leher dan kemudian menciuminya sampai terengah-engah.
Tanpa mempedulikan sang tamu, mbah Broto menggendong Winda menuju kamar. Seperti seekor ulat berbulu hitam, merayap dari ujung ke ujung daun dan melahapnya sampai tuntas tak tersisa. Dengusan, erangan, gigitan dan cakaran kuku membeset, tetes darah membentuk ornamen abstrak di permukaan kulit Winda menggelorakan puncak mbah Broto. Rasa sakit yang mendera sepadan dengan regukan kenikmatan sesaat, dan ritual itu berakhir takkala lidah mbah Broto menyapu bersih sisa-sisa tetesan darah.
Ketika pulang Winda merasakan kekuatan hasratnya berlipat ganda. Namun begitu hatinya diliputi ketakutan yang sangat, mengingat bisikan mbah Broto saat berpamitan pulang.
"Tiga purnama ke depan, lelaki yang kau cintai harus kau antarkan kemari. Kalau tidak semua yang kau miliki akan kembali ke asal," Winda bergidik ngeri menatap manik mata mbah Broto semerah darah dan wajah babunnya menyeringai menampakkan dua taringnya.
"Tak adakah cara lain?" Winda berusaha bernegoisasi,
Mbah Broto tak menjawab dan dalam sekejab telah hilang dari pandangan.
Sepulang dari kunjungannya ke sang guru, kegelisshan mulai merayapi hatinya. Aji, lelaki yang telah mencuri hati dan membuatnya jatuh cinta. Lelaki perkasa berprofesi tentara, lelaki idaman hatinya.
Winda hanya heran mengapa mbah Broto bisa mengendus kisah cintanya? Winda sendiri sudah berusaha tidak jatuh cinta kepada para mangsanya. Namun apa hendak dikata, Winda tak mampu mengendalikan perasaannya.
Bersama Aji, Winda telah membangun istana megah dengan segala kemewahannya. Seperti halnya Fendy, lelaki gagah itu kini membeo saja dan takluk di bawah ketiak Winda.
Ketika waktu tinggal separuh purnama, Winda mengajak Aji melarikan diri sejauh mungkin setelah menjual seluruh asetnya. Dan atas saran orang pintar keduanya akan menggunakan jalur laut karena dianggap bisa membentengi diri dan tidak terlacak.
"Kita ke Papua saja," ajak Aji. Winda hanya mengiyakan saja.
Seraya menatap laut lepas perasaan lega memenuhi rongga dada Winda. Hampir sepekan di dalam dirinya tidak lagi merasakan gairah yang meledak, Aktifitas bersenggama dengan Aji, yang kini memilih untuk meninggaljan kesatuannya juga normal. Bahkan, rasa yang sangat lelah dirasakannya setelah bercinta.
Namun itu tak berlangsung lama, di hari kedua dalam perjalanan pelayaran rasa meledak mulai menggelitik lagi. Libidonya memuncak dan mesti dipenuhi. Dan hasrat menggila itu memabukkan para awak kapal selama tiga hari tiga malam.
Nasib malang menimpa Aji ketika berusaha menghalangi pesta seks yang dilakukan oleh Winda dan para awak kapal. Tubuhnya terkubur di kedalaman lautan.
Di hari kelima senyum mengembang di bibir Winda melihat kerlip di kejauhan, daratan. Namun senyumnya terhenti seketika, seringai mbah Broto memenuhi ruangan, mata merah membeliak penuh amarah, lidah menjulur memanjang.
Teriakan Winda tercekat di tenggorokan ketika cakar-cakar tajam mulai menggurat seluruh permukaan kulit, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Guratannya memanjang, bergerigi dan erangan kesakitan membinarkan sorot mata mbah Broto. Perlahan darah mulai menetes dari seluruh permukaan kulit Winda dan dijilati penuh dengus kerakusan.
Keesokan hari terjadi kegemparan ketika kapal bersandar di pelabuhan, di atas tiang dek tergantung perempuan telanjang seluruh tubuhnya dipenuhi guratan, pucat membeku.
Medio, April 2022
Pilihan