Di Tengah Deras Hujan
https://www.rumahliterasi.org/2024/07/di-tengah-deras-hujan.html
Cerpen: Lilik Soebari
Ada rasa was-was di benak Widi melihat hitam pekat mendung bergelantung demikian rapat. Sejauh mata memandang mendung memenuhi penjuru langit.
Sepertinya hujan sebentar lagi turun.
Widi kembali melongok lewat kaca, dan matanya menyapu koridor kelas yang sudah sepi. Begitu pula tempat parkir di depan kelas 6 hanya tersisa sebuah sepeda pancal milik penjaga sekolah, Parto.
Laki-laki itu baru bekerja selama 2 bulan di sekolah Widi. Pria bertubuh pendek dan gempal serta berkulit hitam itu di rekomendasi oleh ketua Komite Sekolah bekerja di satuan pendidikannya.
Kesiur angin berhembus kencang dan udata dingin mulai menusuk kulit.
Sementara burung-burung walet berseliweran terbang rendah penuh kecepatan tinggi menngepakkan ssyap di antara reranting cemara.
Widi menghembuskan nafas saat dilihatnya jarum panjang jam dinding di tembok menunjukkan hampir angka 2. Hendak pulang rasanya nanggung karena sedikit lagi menunggu limit laporan on line.
Widi mesti berjibaku sendiri menyelesaikan semua tugas pelapiran on line karena operator sekolah mengajukan resign dan memilih job baru sebagai operator propinsi.
Ketika Parto masuk ruangannya tanpa permisi, Widi terkesiap. Penjaga sekolah itu tersenyum, namun di mata Widi itu bukan senyuman tapi sebuah seringai serta sorot mata pancarannya menakutkan.
Widi menekan rasa takut, mematikan komputer dan dengan sopan mengajak Parto berbincang di ruang tamu.
"Silahkan Pak," Widi mempersilahkan Parto keluar dari ruangannya yang kecil.
Parto sepertinya enggan beranjak dan hanya menggeser tubuhnya ke pintu kemudian berdiri ditengah.
"Silahkan keluar!" Bentak Widi gusar.
Bentakan Widi menyadarkan Parto, akhirnya laki-laki berkaos oblong dekil itu surut lalu melangkah ke arah kursi dekat pintu.
Pria itu menghempaskan bokongnya sampai menimbulkan bunyi berdebum.
Dalam hitungan detik Widi mengirim pesan ke beberapa rekan kerja dan group WAG kemudian meletakkan gawai di atas meja dalam posisi menyala kemudian beranjak ke luar ruangan.
"Apakah semua pintu kelas sudah dikunci?" Tanya Widi memastikan karena seringkali Parto abai, entah lupa atau disengaja.
Sebenarnya saat Pak Ramdan menyodorkan Parto menggantikan Sindawi, penjaga aekolah yang telah purna tugas Widi merasa keberatan. Hal itu juga didukung oleh rekan-rekan kerja di sekolah. Jejak rekam Parto, mantan napi kasus curanmor menumbulkan kekhawatiran.
Akan tetapi, Pak Ramdan bersikukuh menolong Parto dan menyediakan diri sebagai penjamin.
Widi mencermati tingkah
dan bergidik ngeri saat Parto yang demikian berani menatap dirinya, dan seakan menguliti inci demi inci dengan pandangan lapar.
"Jangan khawatir Ibu kepala yang cantik, semua pintu sudah terkunci rapat. Juga pagar," cetus Parto.menatap Widi penuh senyum.
Widi tetap menatap dengan pandangan tajam. Lelaki itu menundukkan wajah, namun hanya sesaat. Tak lama kemudian matanya kembali melahap seluruh tubuhnya dengan pandangan penuh birahi. Mata laki-laki itu memerah, jakun naik turun dan mengulum bibirnya sendiri.
Widi merasakan jijik melihat polah Parto namun di tengah kekalutannya tetap berusaha tenang.
"Anakkmu sudah sembuh?" Tanya Widi mengalihkan perhatian.
"Iya bu," Parto menundukkan wajah. Hasrat yang menggelegak dalam dadanya tiba-tiba surut ketika bayangan Mila melintas.
Gadis kecilnya, belahan jiwanya jatuh sakit, dan berkat pertolongan Ibu Kepala Sekolah, bu Widi dan segenap guru-guru nyawa gadis kecilnya terselamatkan. Semua biaya Rumsh Sakit ditanggung oleh mereka.
Tiba-tiba hembusan angin bertiup sangat kencang disertai hujan deras. Gemeretak air hujan di atap menulikan pendengaran ditingkapi suara petir dan guntur membelah angkasa.
Suasana di luar sangat gelap.
Widi menutup mata berdzikir dengan khusuk memohon pertolongan dan perlindunganNya.
"Dingin, bu." Parto menyeringai seraya mengelus-elus tubuhnya sendiri.
"Ibu tidak dingin?" Tanyanya semakun berani menatap Widi penuh gairah.
Perempuan berkacamata itu tetap bergeming dan fokus melafadzkan dzikir, "Bismillahi tawakkaltu alallahi, laa haula wa laa quwwata illaa billaah"
lalu melafazkan dikir nabi Yunus,
"Laa ilaaha illaa anta, subhaanaka, innii kuntu minadz dzaalimiin"
"Ayolah Ibu, tidak usah malu." Parto semakin berani merayu dan mengintimidasi dengan tatapannya yang semakin tajam.
"Apa maumu?"
"Aku dan Ibu bersenang-senang sebentar. Udara
dingin seperti ini akan sangat menyenangkan karena tubuh bisa berpeluh," kalimat yang dilontarkan Parto semakin kurang ajar,
"Berani sekali kau Parto" ketus Widi sembari mencari celah bagaimana bisa mrlarikan diri.
Parto menyeringai menampakkan gigi kuningnya. Sesaat kemudian lelaki itu mengangkat kaos oblongnya. Tampak otot-otot menonjol di area dada dan perutnya.
Widi melengos.
"Saya akan memaksa Ibu kalau tidak mau dan tak ada seoran pun bisa menolong Ibu," Parto kembali mengitimidasi.
Widi tergugu menangis dalam hati karena sudah bisa membaca gelagat serta niat jahat Parto.
Parto rupanya telah
memperhitungkan secara matang aksinya. Walaupun Widi berteriak tidak seorang pun akan mendengarnya. Jarak ruang kantor ke pintu gerbang sekitar 200 meter. Batas samping selatan sekolah ada jalan setapak, tanah kosong baru jalan raya. Sedangkan sebelah utara area pesawahan.
Area kantor berdempetan rumah penduduk di sebelah timur. Namun saat ada teriakan sekencang apapun tidak akan terdengar karena bunyi gemeretak air hujan demikian keras menghujani atap seng kantor.
Lima menit telah berlalu dan perasaan Widi mulai dilanda kegelisahan. Widi masih berharap orang-orang yang dikirimi pesan via WA datang menolongnya.
Rabb! Lindungilah hamba yang lemah ini, rintih Widi.
Petir dan guntur kembali menggelegar. Hujan semakin deras.
Secara perlahan Parto menggeser duduknya mendekati Widi. Parto semakin berani saat melihat perempuan cantik didepannya wajahnya mulai memucat.
.Partopun secara perlahan menggeser duduk semakin dekat dan tanpa sungkan menggamit tangan Widi, lalu mengelusnya.
"Tangan ibu sangat lembut dan halus, beda sekali dengan tangan istri saya yang seperti parut," puji Parto.
Dipenuhi rasa jijik saat Parto hendak mencium tangannya, secara reflek Widi meludahi wajah Parto dan berlari ke arah pintu, namun gerakan laki-laki itu lebih gesit mengait kaki dan membuat tubuh Widi terjengkang.
Widi menjerit kesakitan lalu bangkit untuk berlari. Namun secepat kilat Parto menutup pintu kantor dan menguncinya. Seringainya semakin lebar melihat Widi jatuh terlentang karena Parto menendangnya kembali..
Widi menahan rasa sakit di area pinggulnya, meski begitu ia tidak mengaduh. Hanya sorot mata jijik dan marah memancar diwajahnya.. Parto tertawa penuh kemenangan.
"Jangan keras kepala, kalau kau tak melawan aku akan memperlakukanmu dengan lembut. Dan kita sama-sama berlabuh dalam kenikmatan,"
"Najis," teriak Widi lalu berusaha bangkit. Meski sudah merasa tidak ada harapan Widi berteriak dan membenturkan diri ke pintu.
Teriakan minta tolong Widi dan debum pintu tertelan gemuruh derasnya hujan dan gemeretak deras airnya yang jatuh di atap.
Parto melucuti pakaiannya sendiri hingga tinggal celana dalam kumal.
Alat vital Parto menggantung bergerak-gerak.
Wajah Widi semakin pucat dan itu semakin membuat Parto tertawa penuh kemenangan.
"Ayolah, bersikaplah manis dan layani aku," bujuk Parto.
Widi melihat satu kesempatan lalu menendang ke arah selangkangan laki-laki yang berdiri dihadapannya.
Parto menjerit kesakitan, sorot matanya merah menatap Widi.
"Kau tidak bisa rupanya ya diajak baik-baik. Oke kalau itu maumu,," teriak laki-laki itu murka.
Sejurus kemudian, sembari mengangkang satu kakinya menginjak paha Widi kuat-kuat.
"Jangan lakukan ini Parto, jangan berbuat gila. Ingat kau punya anak perempuan," Widi berteriak di tengah kesakitannya.
Parto tertawa terbahak-bahak.
"Aku akan membunuhmu Parto," teriak Widi ditengah keputusasaannya.
Lolongan dan jerit kesakitan kembali melengking dari mulut Widi. Namun jeritan itu kembali tertelan gemuruh dan guntur. Wajah pucat dan rintihan kesakitan yang keluar dari mulut Widi semakin membuat Parto senang.
Parto kemudian bermain-main dengan kakinya. Posisi satu kaki menginjak paha Widi dan satunya lagi menggerayangi tubuh perempuan malang itu.
Dengan jari-jari kakinya ia berusaha membuka jilbab Widi.
"wow, ternyata kau lebih cantik tanpa kerudung," pungkasnya.
Widi tak mampu berbuat apa-apa lagi untuk melawan, hsnya air msta bening meleleh dipipi.
"Jangan menangis sayang, kita mau bersenang-senang."
Setelah jilbab Widi terbuka, jari jari kakinya mengelus-elus pipi, kening, mata, bibir, leher dan belahan dada yang sedikit terbuka.
Widi merasakan tubuhnya sangat lemas karena kehabisan tenaga dan paha kirinya yang masih tetap terinjak kuat kaki Parto.
Parto melepaskan injakannya lalu mengangkangi tubuh Widi. Kedua tangannya menekan bahu, melucuti kancing baju Widi menggunakan mulutnya.
Widi memalingkan wajah mengghindar aroma bau mulut Parto yang busuk. Perempuan itu pun tidak bisa menghindar saat hidung Parto menghendus dan lidahnya menjilati lehernya.
Widi kembali meludahi wajah Parto saat lali-kaki itu akan mengulum bibirnya.
Widi meronta dan melakukan perlawanan dengan tenaga yang nasih tersisa, namyn dibalas dengan tamparan berulang.
Mulut dan hidung Widi berdarah.
Widi tak bisa berkutik lagi dan hanya bisa memasrahkan diri padaNya sembari melafadzksn dikir.
Laa ilaaha illaa anta, subhaanaka innii kuntu minadz dzaalimiin
Wajah Widi semakin pucat karena menahan rasa sakit yang kini menyebar ke sekujur tubuh.
Melihat Widi yang takberdaya, Parto tertawa puas dan mulai melancarkan aksinya. Deru nafasnya yang menburu menyapu wajah Widi dan mulutnya mulai menciumi area leher Widi lalu menggigitinya.
Widi kembali meludahi, namun Parto hanya tertawa dan kembali menikmati area leher dan dada Widi yang terbuka.
Parto menghentikan aktivitasnya dan terlonjak kaget takkala ada suara pukulan dan kaca pecah serta dobrakan di pintu.
Saat pintu terbuka ada sekitar 7 orang merangsek masuk membawa celurit dan pentungan.
Widi berteriak histeris memeluk Jodi, guru olahraga yang telah membaca pesannya, lalu mengajak warga sekitar untuk datang menolongnya.
Perempuan itu menangis histeris dalam pelukan Jodi.
"Maafkan, saya terlambat datang," kata Jodi seraya memasangkan jaket ke tubuh kepala sekolahnya.
Sementara itu Parto duduk meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Tak bisa melarikan diri. Laki-laki bercawat itu tidak berani menatap tujuh pasang mata yang menatapnya garangApalagi, seseorang mengacungkan celuritnya tinggi-tinggi.
"Kita apakan dia, bakar atau potong burungnya," teriak Fauzan warga di belakang sekolah.
"Ampuni saya ... ampuni saya," Parto merangkak dan bersujud di depan kaki Jodi yang berpostur tinggi besar.
Bugh ....
Bugh ...
Bugh ....
Penuh amarah Jodi menendang lalu menginjak tubuh Parto, laki-laki itu hanya bisa merintih.
"Dasar binatang," teriaknya meluapkan emosi.
"Berdiri!" Perintahnya lalu menyuruh seseorang mengambil foto Parto.
"Kita bawa ke belakang dan bakar," bisik seseorang berkaos hitam pada Jodi.
Jodi menggelengkan kepala, "Bawa ke belakang saja, pastikan tidak ada anak-anak yang menyaksìkan. Bikin lumpuh baru serahkan pada polisi,'
Tiga laki-laki yang ikut Jodi lalu menyeret Parto ke area belakang sekolah seraya menggebuki dengan sepotong kayu.
Saat akan membuka pintu pagar belaksng, dari arah pintu gerbang bermunculan warga sekitar sekolah yang mendengar bahwa Parto berbuat kejahatan.
Tubuh Parto diseret kembali je tengah halaman.
Luapan kemarahan akhirnya dilampiaskan. Tubuh Parto sudah tidak berbentuk lagi dibungkus simbah darah. Entah siapa yang memulai, satu persatu mereka menampar, memukul, nenginjak, menendang bahkan menimpuk Parto dengan batu-bata.
Tubuh Parto ambruk tak berdaya.
"Bakar," teriak seseorang memprovokasi.
"Jangan," Widi berteriak dari arah pintu takkala melihat seseorang mengambil bensin di tangki sepeda yang di parkir di bawah cemara.
"Tolong cegah Jodi," teriak Widi kembali.
Langkah Jodi terlambat, sesaat api mengepul di tubuh Parto. Jodi berusaha mematikan api dengan memukul-mukul tubuh Psrto menggunakan keset.
Saat api padam, aroma sangit menguar dan berhembus terbang terbawa angin.
Sumenrp, 6 Juli 2023.
Pilihan