Tubuh dan Perjalanan Waktu: Membaca Serpihan Puisi Sampai Ambang Senja
Segera terbit
Hantaran: Hidayat Raharja
Tubuh sebagai kesatuan sistem terbangun atas berbagai organ yang saling berinteraksi, bekerjasama untuk melaksanakan fungsi tertentu. Cukup menarik ketika Lilik Rosida Irmawati menggunakan tubuh sebagai medium untuk mengekspresikan kegelisahan kreatifnya dalam buku kumpulan puisi Sampai Ambang Senja.
Puisi-puisi Lilik Rosida Irmawati menggunakan tubuh sebagai panggung bagi perang internal dan eksternal, pergumulan antara lahir dan batin. Tubuh secara lahir yang terbangun dari rangkaian sistem organ yang melaksanakan fungsi fisik dan biologis namun secara batin memanggung beban yang sarat dengan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menggelayut.
Dalam perjalanan usia yang terbentang tubuh telah menjalani fungsi biologis, dan fisis menandai kehidupan. Tanda sebagai makhluk hidup dengan berbagai sistem menjalani fungsi sebagai tubuh yang hidup. Di sisi yang lain perjalanan tubuh membawa beban kehidupan yang mematangkan diri secara batin yang memperkaya nilai-nilai hidup dan kehidupan.
Di sini puisi-puisi Lilik Rosida Irmawati mengambil peran mengelola persoalan-persoalan keseharian, persoalan kecil yang melingkari tubuh, bisa menjadi cerminan persoalan orang-orang di sekitarnya. Tubuh, bisa tubuh Lilik, atau tubuh lain yang memberikan pemahaman terhadap tubuh-tubuh yang lain.
Tubuh tidak sekadar dipenuhi konsumsi yang mengenyangkan dan menyehatkan, namun juga tubuh yang membutuhkan ketenangan, ketentraman, cinta, dan kasih sayang. Kebutuhan yang dapat dirasakan, dan terwujud dalam ekspresi tubuh dalam menjalani hidup sehari-hari. Ekspresi tubuh untuk menyatakan kesedihan dan gembira, cinta dan kecewa, sehat dan sakit, lapar dan kenyang, dan semacamnya.
Punggung yang secara fisik digunakan untuk menyangga tubuh berdiri tegak dalam fungsi biologis. Secara batin tubuh memiliki makna penting, karena punggung bagi Lilik Rosida Irmawati jadi tempatnya bersandar karena ingin bersama menikmati hati, dan jiwa yang penuh oleh-Nya bersama dengan orang-orang terdekat atau orang yang dicintainya. Kedekatan ini ditandai dengan sapaan Mas, seperti pada kutipan berikut ini:
….
Mas
kemarilah sebentar
aku hanya ingin sejenak bersandar kepunggungmu
memastikan kau masih ada membersamaiku
karena hati dan jiwaku
demikian penuh olehNya
(Aku Hanya Ingin Bersandar)
Sering kali tubuh menjadi bagian dari alam yang tertaut, dan berinteraksi, meresponnya sebagai upaya untuk menjaga homeostasis sehingga bisa beradaptasi, dan bertahan dalam lingkungannya. Relevansi tubuh dengan alam, seringkali tubuh menyerap anasir alam untuk meperkaya batin, isi yang melengkapi bagian fisik tubuh. Posisi semacam ini menjadikan tubuh sebagi mirokosmik dari alam raya sehingga akan selalu menyerap sesuatu yang kasat mata ke dalam dunia yang tak kasat seperti pada larik berikut;
Mas,
Bergegaslah seperti awan-awan berbaris
membentuk saf-saf panjang
meski angin mengepungnya dari segala penjuru
akan memporandakan keteguhannya
bercerai-berai jadi hujan … (Kuketuk Pintu Hati 1)
Namun kodrat tubuh dalam masyarakat agraris yang dibebani gender seringkali terdistorsi, dan diskriminatif. Tubuh perempuan sebagai subordinasi dari tubuh laki-laki yang dominan. Tubuh lelaki menguasai tubuh perempuan. Tubuh lelaki yang kuasa dan tubuh perempuan yang dikuasai. Situasi yang muncul dalam beberapa puisi Lilik cukup menarik. Perempuan selalu dalam posisi menerima, dan membiarkan dalam pasrah. Posisi terluka yang membiarkan hati memucat sebagaimana puisi berikut:
Lelakiku
mencabikku, membiarkan
darah setetes demi setetes
memucatkan hati
menyiram dahaganya
(Lelaki 1)
Posisi biner Lilik Rosida Irmawati melihat lelaki sebagai dominasi dalam kelelakian yang egois, memuaskan, bernafsu, menggigit, angkara dalam kenikmatan tak bertepi. Egosime yang tidak peduli dan mensubordinasikan tubuh perempuan sebagai obyek yang harus dikalahkan. Hanya menerima tanpa bisa melawan, apalagi membangkang.
Kami, lelakiku
menjadi koloni kaum Nuh
bersenggama memuaskan nafsu
mengulum dan menggigiti
menghentakkan angkara
dalam kenikmatan tak bertepi
(Lelakiku 2)
Perempuan yang tersobdinasi, dan menjadi bagian dari tubuh laki-laki sebagai jalan hidup yang harus dijalani. Hubungan timpang, dan banyak ditemukan Lilik Rosida Irmawati dalam lingkungan masyarakatnya kerap kali hanya menerima sebagai jalan hidup bersama. Jalan dipenuhi onak siap melukai di sepanjang perjalanan. Pilihan yang tidak bisa dihindari namun harus dijalani bersama sampai senja tiba. Sikap yang banyak muncul pada tubuh perempuan agraris lebih banyak menerima kodrat alam sampai di ujung batas waktu.
Dede Wiliam de Vries dan Nurul Sutarti (2006) mengatakan bahwa “ subordinasi terhadap perempuan merupakan titik pangkal terjadinya ketidakadilan gender”. Penomorduaan terjadi karena segala sesuatu dipandang dari sudut pandang laki-laki ini yang banyak dirasakan pada beberapa puisi Lilik.
…
Lelakiku / aku telah memilih jalan / penuh onak membersamaimu /
sampai ambang senja // (Lelakiku, 3)
Perubahan itu tidak kunjung datang. Sebuah penantian, berharap alam akan mempengaruhi musim, dan mengubah takdir baik. Posisi biologis yang tumbuh dalam tatanan agraria perlawanan sebagai harmoni dan keseimbangan, ada yang memberi, ada yang menerima. Betapa tubuh tak berdaya menghadapi dominasi jenis kelamin dan dalam posisi masyarakat agraris jantan (Lelaki ) memberi sementara tubuh betina (Perempuan) menerima. Lebih jauh dpat disimak dalam larik berikut;
… Lelakiku // Dua ratus purnama/ aku menungguimu/ dalam hening dalam senyap// (Aku Menunggumu Kekasih.)
Penungguan yang lama dalam waktu dua ratus purnama. Hanya kerjab mata yang lelah, berkaca-kaca dalam gigil. Tubuh perempuan tidak mampu untuk mempengaruhi karena luka lebam, dan berulang sebagai sesuatu yang biasa terjadi.
…
Di setiap senja
kerjab bola matamu
berkaca-kaca
menangis dalam gigil … (Saat Senja)
Namun tubuh perempuan dengan segala penerimaan sebagai bumi yang bisa menumbuhkan apa saja. Luka-luka dihampar jadi ladang subur menyemai putik-putik cinta yang tersisa menjadi hutan-hutan tropis yang heterogen, dengan aneka margasatwa membangun diversitas kehidupan yang dinamis. Pedih yang tumbuh menjadi lanskap yang memantulkan panorama bentangan hutan yang subur dan awan berarak di langit biru.
Tubuh perempuan yang mampu memberikan pesonanya sebagai bumi yang menghidupi segala makhluk ynag ada di atasnya. Cakrawala yang mampu menyerap segala desah menjadi lanskap yang memantulkan cahaya benderang di malam dan siang hari.
Barisan awan seperti barisan saf dalam salat. Awan-awan bergerak dalam hujan, sedangkankan tubuh berbaris dalam saf-saf panjang menurunkan seluruh ketegangan dalam jeda yang mengembalikan energi tubuh untuk memulai hidup yang lain. Jika arakan awan bergerak jadi hujan, tubuh yang berada dalam saf-saf tersebut bergerak menuju ke dalam hati. Walau angin mengepung awan yang tercerai berai akan jadi hujan. Air yang akan menumbuhkan bijian jadi pohon, jadi hutan, jadi kehidupan yang luas.
… lantaran putik-putik/ yang engkau semaikan/ tumbuh menjadi hutan-hutan hujan/ pohonnya kokoh menjulang/ merapatkan barisan/ berbunga berputik lalu menyebar/ se antero semesta ….(Untukmu Kekasih)
Tubuh dan alam adalah hidup yang selalu beriringan karena dari alam tubuh memenuhi kebutuhannya. Secara sirkuler apa yang tubuh lakukan kepada alam sekitar, maka seluruh akibat dari perbuatan terhadap alam akan kembali kepada tubuh. Sesungguhnya dalam hubungan yang sedemikian menjadikan hidup bermakna keitka mampu bercermin alam sebagai bagian dari tubuh yang harus dijaga dan dilestraikan. Jika tidak, sesungguhnya hidup hanya akan menunggu saat kehancuran.
Hidup hanyalah menunggu saat,/ tak tergeser oleh apa pun ketika kun-Nya melibas //
(Kuketuk Pintu Hati 2)
Tubuh yang pasrah, tubuh yang mampu terus berharap dari ibu yang melahirkan dan tuhan yang Maha Pencipta. Dari kasih ibu yang luas tubuh berharap menemukan keniscayaan, keteguhan, dan kesabaran. Karena kasih ibu mampu menembus gulita hati. Dalam larik berikut dapat disesap segar kasih ibu dituliskan Lilik Rosida Irmawati;
Kasih ibu luas/ yang tak mungkin akan menjadi keniscayaan/ Keteguhan serta kesabarannya/ menggegarkan Arsy dan nur-Nya/ menembus gulita,/ hati// (Asap Sepuntung Rokok 4)
Dari seluruh perjalanan tubuh lalu takluk terhadap batas yang mengakhiri seluruh kisah yang telah memberikan pengalaman lahir dan batin untuk kembali kepada muara, tempat segala melebur. Akhir dekapan Sang pemilik semesta.
… Mas / senantiasa aku mendamba/ dihulumu hingga hilir/ meraih asa/ dalam dekapan Sang Pemilik Semesta/ tenggelam di kedalaman lubuk hati/ dua jiwa/ satu raga dan /berhujung di lengkung muara// (Langit 2024)
Buku kumpulan puisi “Sampai Ambang Senja” karya LIlik Rosida Irmawati merupakan Kumpulan puisi perjalananya dalam memaknai tubuh sebagai panggung tempat segala peristiwa menyergap, dan menjadikan pengalaman batin yang sangat berharga. Perjalanan fisik mengurai waktu menuju pada kerinduan yang paling hakiki. Pulang ke muara.
Sampang, 14 Juni 2024
Pilihan
Untaian puisi yang membuat pembaca seolah bercermin dan berefleksi. Keren. Berharap bisa mengoleksinya.
BalasHapus