Sastra Dan Media
https://www.rumahliterasi.org/2024/06/sastra-dan-media.html
oleh: Bernd Stiegler
(diterjemahkan oleh Maya Barmazi)
Sastra hadir di atas media. Media-media teknik memungkinkan pencatatan dan penyebaran teks-teks sastra; karenanya sejak permulaannya sastra juga adalah sejarah media. Teks-teks sastra bisa diteliti atas "medialitas"-nya. Teori-teori media dari Walter Benjamin hingga Vilém Flusser menekankan kebisa-dituliskan medial sastra ini. Terdapat empat persoalan di pusat pemikiran-pemikiran tentang ini:
1.
Pengaruh apa yang dimiliki media-media teknik terhadap sastra? Teori-teori media menggeser perspektif-perspektif interpretasi. Bukan hanya media-media dalam sastra yang diteliti, melainkan pengaruh media terhadap sastra, bukan sejarah materi dan motifnya, melainkan perobahan struktur dan fungsi teks-teks sastra melalui media-media teknik.
2.
Posisi apa yang ditempati oleh sastra dalam multi media dan bagaimana dia berobah? Adakah kita, seperti dinyatakan oleh Norbert Bolz, telah tiba di akhir galaksi Gutenberg dan bersama apa yang ia anggap lenyapnya buku kita juga menanti lenyapnya sastra, ataukah bagi sastra justru terbuka kemungkinan-kemungkinan baru? Jadi teori media menempatkan sastra dalam hubungannya dengan transformasi-transformasi kultural komprehensif dan di dalamnya sama sekali tidak menunjukkan baginya sebuah status khusus. Perhatiannya berlaku bagi proses-proses sosial kompleks yang akan bisa dikenali dalam perobahan landskap media. Berdasarkan estimasinya sendiri teori media menjadi sebuah ilmu pengetahuan dasar yang berasumsi membuka kode aturan-aturan komunikasi budaya dalam control desk multi media.
3.
Perobahan-perobahan persepsi manusiawi apa yang muncul melalui penemuan media-media baru? Ketika media-media menyiapkan aturan-aturan dasar bagi interpretasi realitas, sebuah penemuan baru merobah keseluruhan persepsi budaya. Melalui mikroskop dan fotografi benda-benda yang sebelumnya tidak bisa dipersepsi manusia bisa dilihat. Maka gerakan-gerakan cepat bisa diurai dan dianalisa melalui fotografi dalam momen-momen terperinci. Teori media ikut menentukan perobahan bidang-bidang persepsi dan prilaku manusia.
4.
Perobahan-perobahan apa yang muncul, ketika teks-teks sastra diterjemahkan ke dalam media lain (film, roman foto)? Operasi yang kelihatan mudah ini menuntut sebuah organisasi baru material dan mengikuti aturan-aturan tertentu. Terutama dalam tradisi strukturalisme prancis banyak upaya dilakukan untuk menganalisa terjemahan ini melalui teori tanda.
Teoritikus film prancis Christian Metz telah berjasa penting pada dekade 1960 dan 1970-an melalui karya-karyanya tentang analisa semiologis film dan hubungan antara media-media teks dan gambar. Penelitian-penelitiannya yang merupakan kelanjutan srukturalisme mendefinisikan film sebagai sebuah bahasa kompleks yang mematuhi aturan-aturan tertentu. Metz mengamati sebuah orientasi beragam proses teknik film dalam film cerita panjang bioskop dan dengan begitu mendorong bioskop ke dalam sebuah hubungan erat sastra dan cerita. Film dan bioskop baginya sangat dibentuk oleh teknik narasinya, yang juga disubordinasikan oleh kemungkinan-kemungkinan teknik. Baginya film tidak menampilkan sebuah sistem bahasa tertutup (langue), melainkan adalah sebuah bahasa yang kompleks (langage) yang selalu ditentukan oleh sebuah keragaman kode-kode yang bermacam-macam (montage, posisi, musik, suara, dll.).
Hubungan antara film dan sastra di mata Metz berada dalam konteks analisa sistem tanda-tanda. Bagi teori media yang lebih jelas menekankan sejarah media dan teori persepsi, hubungan ini muncul dengan penuh ketegangan dan kontradiktif. Bila hubungan antara sastra dan teknik media pada abad ke 19 M. masih terutama dibentuk oleh sebuah disasosiasi dan resepsi kritis dari sisi sastra, maka penemuan film dalam sastra pada permulaan abad ke 20 M diresepsi secara meluas dan sering empatik. Sementara realisme masih menjaga jarak dengan jelas dari sebuah cerminan fotografis terhadap realitas, pemikiran-pemikiran Musil dalam tulisan-tulisannya tentang teoritikus film Béla Balázs menemukan lanjutannya dalam teks-teks sastra Musil. Juga pada Alfred Döblin dan dalam ekspresionisme, resepsi film mendapatkan sebuah gema dalam teks-teks sastra.
Karangan Benjamin „das Kunstwerk im Zeitalter seiner technischen Reproduzierbarkeit" (Karya Seni Pada Jaman Reprodusibilitas Tekniknya) 1938, dimana Benjamin mengarahkan perhatiannya kepada makna media bagi sastra, memformulasikan secara eksemplaris tesa-tesa pertama tentang perobahan fungsi dan posisi seni melalui media-media teknik dan teknik reproduksi. Bagi Benjamin, media-media teknik baru, khususnya film, membuka kemungkinan kemungkinan sebuah perobahan revolusioner masyarakat. Sudah pada Benjamin terdapat sebuah dasar teori media: ia adalah sebuah sejarah budaya yang diletakkan secara luas dan memahami sastra antara lain sebagai sebuah fenomena sosial.
Karya-karya seni senantiasa bisa direproduksi. Ia bisa disalin secara manual atau secara teknis; cetakan-cetakan cor, stensilan dan lapisan relief memungkinkan produksi banyak eksemplar. Reproduksibilitas teknis tulisan melalui penemuan cetakan buku menimbulkan sebuah
perobahan fundamental sastra itu sendiri. Benjamin melakukan diagnosa terhadap abad ke 19 M. dimana dia menemukan sebuah perobahan radikal hubungan antara seni dan media-media reproduksi. Teknik reproduksi bukan hanya mempengaruhi struktur karya seni, melainkan menjadi sebuah modus operandi seni sendiri. Fotografi dan film merobah, demikian Benjamin, fungsi dan posisi seni dalam masyarakat. Pada jaman reproduksi, bentuk-bentuk dan resepsi baru menjadi penting.
Pendeknya, teknik-teknik reproduksi dan penemuan media-media baru fotografi dan film mengorganisasikan kembali keseluruhan bidang seni dan persepsi. Bagi Benjamin karakteristik karya seni hingga abad ke 19 M. antara lain adalah keaslian dan „aura"-nya. Karya-karya seni menuntut jarak pengamat dan tak ingin dikonsumsi dan ditelan, melainkan, demikian Benjamin, dipandang dalam sikap kontemplatif. Melalui reproduksi, karya seni kehilangan pertampakan kekhasannya dan otonominya. Dengan fotografi untuk pertama kalinya nilai pameran karya seni dan aktualitasnya menggeser nilai kultusnya; dengan film bentuk-bentuk persepsi baru dibuka.
Karangan Benjamin melihat dalam munculnya film sebuah perobahan kultural penting dan sebuah kemungkinan probahan seluruh masyarkat. Resepsi empatik film ini adalah sangat problematis dan di samping itu melalui perkembangan historis kemudian terbukti keliru. Bagi Benjamin, film, bertentangan dengan pengambilan jarak yang perlu dari papan gambar, menerobos ke dalam jaringan faktual, merobek detail-detail dari relasinya dan dengan begitu memungkinkan sebuah kebisa-dianalisaan yang lebih tinggi dari apa yang ditampilkan.
Netralitas alatnya juga memungkinkan sebuah pandangan baru terhadap apa yang diduga telah lama dikenal. Film menuntut sebuah prilaku baru terhadap karya-karya seni dan memproduksi sebuah bentuk-bentuk resepsi baru yang sejak mula ditujukan kepada massa dan bukan hanya kepada individu.
Pandangan empatik terhadap media-media baru ini, yang juga dipaparkan oleh Siegfried Kracauer dalam „Teori Film"-nya (1960), dimana dia memuji fotografi dan film sebagai pencatatan langsung dan dengan begitu penyelamatan realitas luar, melalui Adorno menemukan seorang kritikus penting yang juga efektif secara historis.
Dalam „Dialektik der Aufklärung" (Dialektika Pencerahan) (1947) yang dikarang oleh Adorno dan Horkheimer, media-media yang bagi Benjamin merupakan jaminan-jaminan pencerahan, berobah menjadi sebuah mesin penaklukan yang menyebarkan sebuah anti-pencerahan. Teori media menjadi sebuah teori media massa dan industri budaya. Pada posisi demokratisasi dan penetrasi persepsi pada bidang-bidang yang belum dikenal, muncul penipuan massa dan standardisasi pandangan.
Teori media pada Adorno dan Horkheimer hanya memperoleh konturnya dalam konteks filsafat sejarah dan teori sosial. Seni dan sastra bagi Adorno adalah sisa terakhir sebuah rancangan alternatif bagi relasi pembutaan penaklukan alam dalam masyarakat kapitalistik.
Sebuah jalan keluar dari kondisi ini dilihat oleh Hans Magnus Enzensberger, Alexander Kluge dan Umberto Eco dalam bentuk semacam gerilya media yang mestinya akan menempati posisi tertentu yang penting secara strategis untuk merobah dengan demikian media massa dari dalam.
Bagi Vilém Flusser dan Friedrich A. Kittler sastra telah kehilangan status khususnya dalam kaitannya dengan semua media. Dia kini direduksi kepada sebuah posisi fungsi dalam multi media secara umum. Kini teori media menjadi sebuah ilmu pengetahuan dasar baru yang mencakup sejarah budaya, sosiologi, neurobiologi, kybernetik dan perkembangan teknik dan kembali kepada perobahan-perobahan teknik media.
Vilém Flusser menganalisa keseluruhan sejarah budaya dari perspektif peobahan-perobahan tatanan tulisan dan gambar. Analisa terhadap media menunjukkan prilaku-prilaku dan bentuk-bentuk persepsi dasar manusia yang dibutuhkan bagi tumbuhnya semua kategori pemikiran dan
pengetahuan. Bagi Flusser, yang mengenali kunci-kunci budaya manusia dalam perobahan-perobahan media, juga muncul konsepsi sejarah pertama-tama melalui perobahan-perobahan hubungan antara teks dan gambar.
Dari sudut pandang perobahan kopernikan dalam teori media ini, perkembangan kemanusiaan bagi Flusser adalah sebuah sejarah abstraksi, alienasi lanjutan manusia yang kongkrit. Media membuka dunia dan pada saat bersamaan juga mengubahnya. Ia menampilkan obyek-obyek yang ia mesti tampilkan. Akhir sejarah yang dikenali Flusser dalam penemuan fotografi adalah pada saat bersamaan akhir tulisan. Gambar kembali mengungguli tatanan tulisan yang membentuk seluruh budaya hingga saat ini, yang akan lenyap di monitor pada jaman komputer.
Budaya tulisan menyerah dan menganugerahkan posisinya kepada pemikiran "komputerisasi" dan kalkulasi. „Cuma tinggal para sejarawan dan para spesialis yang masih akan belajar menulis dan membaca di masa depan". Mereka yang buta komputer akan menjadi para tuna aksara masa depan. Teori Flusser, seperi kebanyakan teori-teori media kontemporer, terjangkit sebuah kegilaan besar diagnotis yang mengembalikan semua fenomena dan seluruh sejarah manusia kepada perobahan-perobahan teknik media. Teori media, dalam klaimnya atas status sebuah ilmu pengetahuan dasar baru, menggagas sebuah teori umum baru dan mencakup semua hal.
Sementara pemikiran-pemikiran Flusser mengamati sebuah persoalan antropologis, Friedrich A. Kittler menekankan perobahan-perobahan kongkrit teknik media dalam relasi-relasi sosial. Dalam
bukunya „Sistem Pencatatan 1800. 1900" (1982) yang makin ditajamkan teori medianya dalam „Gramophon, Film, Typewriter" (1986), dia menjembatani antara analisa wacana, teori media dan ilmu sastra.
Sistem-sistem pencatatan dipahami sebagai sebuah „jaringan teknik-teknik dan institusi-institusi yang memungkinkan bagi sebuah kultur yang ada pengambilan, penyimpanan dan pemprosesan data-data yang relevan". Sastra hanyalah sebuah sistem pencatatan di samping yang lain dan hanya karena integrasinya ia kehilangan posisi pentingnya dan menjadi sebuah posisi fungsi dalam relasi sosial-diskursif ini, yang terutama adalah sebuah relasi medial. Melawan tradisi hermenetik yang menurut Kittler berhenti pada jaman supremasi kode alfa numerik dan tak mampu menyesuaikan diri dengan situasi media yang telah berobah - tapi saat bersamaan jua dipaparkan dengan sangat skematis oleh Kittler -, dia menempatkan sebuah materialisme teori informasi yang menginterpretasikan sastra sebagai pemprosesan, penyimpanan dan transfer data. Pada posisi sebuah konsep utopis yang mungkin bagi sastra muncul fungsi-fungsi dalam multi media yang hanya mengalokasikan semua posisi strategis bagi sastra.
Media memungkinkan pemahaman dan menampilkan bagi Kittler apriori teknik setiap pemahaman. Tapi ketika media adalah persyaratan pemahaman dan makna, maka, demikian Kittler, pada gilirannya media tidak bisa dipahami, melainkan hanya bisa dianalisa. Tak ada satupun lagi sesuatu di seberang media. Media adalah apriori pemahaman kita, persepsi kita dan pemikiran kita. Maka dengan konsekuen Kittler memformulasikan: „Hanya apa yang bisa distel adalah yang ada semata".
Dan lanjutnya: „Memahami media adalah sebuah ketidakmungkinan, karena justru sebaliknya, masing-masing teknik-teknik informasi yang ada mengemudikan dari jarak jauh semua pemahaman dan meinimbulkan ilusi-ilusinya." Sebuah teori media yang dipertajam semacam itu membuat hubungan-hubungan media-media satu sama lain menjadi obyeknya, namun pada saat bersamaan menjadikan analisa terhadapnya tidak mungkin. Begitulah dia terombang-ambing antara sebuah persetujuan empatik terhadap perkembangan teknik media dan sebuah nada apokaliptik yang melihat keruntuhan budaya dalam sejarah media.
Studi teks-teks dan analisa struktur dan organisasi bahasawinya dipindahkan melalui rekonstruksi apa yang diduga sebagai sebuah control desk, yang – meski ia hanya selalu dipersyaratkan, namun tidak didefinisikan – menghubungkan masing-masing media satu sama lain dan di mana juga sastra mengalami definisinya.
Dari: https://cybersastra.net/
Pilihan