Parameter Kualitas Karya Sastra atau Politik Sastra?
https://www.rumahliterasi.org/2024/05/parameter-kualitas-karya-sastra-atau.html
Esai Kuswinarto
Dalam kesusastraan Yunani kuno, antara lain dikenal dunia adanya dua nama: Aeschylus dan Euripides. Keduanya sama-sama penyair, sama-sama penyair tragedi, sama-sama dramawan, sama-sama terkenal. Hanya saja keduanya tidak hidup sezaman. Aeschylus hidup pada 525-456 SM, sementara Euripides pada 485-406 SM. Aeschylus pendahulu Euripides, sama dengan, misalnya, Sutan Takdir Alisjahbana adalah pendahulu Sutan Iwan Soekri Munaf.
Baik karya Aeschylus maupun karya Euripides banyak yang menilai sebagai karya berkualitas, karya baguslah. Meskipun sama-sama termasuk karya-karya berkualitas, terdapat perbedaan antara karya Aeschylus dan karya Euripides. Bahkan perbedaan itu seperti bumi dan langit. Dalam karya-karyanya, Aeschylus menjunjung tinggi nilai-nilai sosial, sedangkan Euripides dalam karya-karyanya justru mengesampingkan nilai-nilai sosial. Euripides menjunjung terlampau tinggi nilai kesenian.
Tampak di sana bahwa Aeschylus berpegang pada pandangan “seni untuk masyarakat”, sedangkan Euripides berpegang pada pandangan “seni untuk seni”. Mana yang dikatakan karya bermutu antara karya Aeschylus dan karya Euripides? Salah satu yang bermutu, ataukah kedua-duanya bermutu? Kalau salah satu saja yang bermutu, yang mana yang bermutu dan yang mana yang tidak bermutu? Kalau kedua-duanya bermutu, lantas apa ukuran untuk mengatakan karya bermutu dan tidak bermutu? Adakah parameter atau kriteria tunggal dan baku untuk menentukan karya sastra bermutu atau tidak bermutu?
Hal tersebut saya ajukan setelah saya membaca esai Sihar Ramses Simatupang “Mengukuhkan Kembali Teks di Antara Hiruk-pikuk Media Massa” (Sinar Harapan, 14 Desember 2002). Opini Sihar antara lain, intinya, di Indonesia saat ini, karya sastra tak lagi dihadirkan dengan pertanggungjawaban atas kualitas sastranya. Sihar mendasarkan opininya pada mekanisme pemuatan karya sastra di media massa (koran dan internet).
Dikemukakan Sihar, koran dan internet tak membuat kriteria yang jelas tentang alasan sebuah karya dimuat di medianya. Dengan itu, Sihar seperti hendak mengatakan bahwa lolos atau tidaknya karya dalam proses seleksi karya untuk dimuat di sebuah media, lebih didasarkan pada otoritas (dan bisa arogansi) editornya ketimbang kualitas (teks) karya sastra. Di situlah, bagi Sihar, terlihat betapa kurang bertanggungjawabnya proses seleksi karya sastra di media massa.
Kriteria (kriterion) merupakan dasar penghakiman. Bagi redaktur atau editor sastra di media massa, kriteria memang penting dalam proses seleksi. Itulah alat utama untuk memvonis sebuah karya sastra layak muat atau tidak. Di sini, redaktur atau editor sastra pada dasarnya adalah juga kritikus sastra (hakim karya sastra). Ia menetapkan sebuah karya sastra bagus atau tidak, lalu memvonisnya sebagai layak muat atau tidak.
Untuk itu memang diperlukan dasar penghakiman (kriteria) yang jelas. Dengan kriteria itu, redaktur atau editor sastra tak hanya bisa menjatuhkan penilaian sebuah karya sastra bagus atau sebaliknya, tetapi lebih dari itu, ia juga bisa menjelaskan mengapa (apa alasannya) karya itu dinilai bagus atau sebaliknya. Karya dinilai tidak bagus, tentu saja, karena karya itu banyak ketidaksesuaiannya dengan kriteria yang dijadikan dasar penghakiman.
Kriteria yang diperlukan redaktur atau editor sastra untuk itu, tentu saja, adalah kriteria berupa “gambaran” tentang karya sastra yang bagus. Rasanya, redaktur atau editor sastra yang bertugas menyeleksi karya sastra memang mestilah punya kriteria sebagai dasar penghakiman karya sastra itu. Persoalannya, adakah kriteria tunggal dan baku untuk itu? Dan kalau kriteria tunggal dan baku itu ada, pertanyaannya: apakah diperlukan kriteria tunggal dan baku itu?
Hingga saat ini, tidak ada kriteria tunggal dan baku di dunia sastra yang dapat diterapkan secara bersama-sama untuk menilai sebuah karya sastra termasuk berkualitas bagus atau tidak. Kriteria semacam itu memang sulit dibuat, bahkan mungkin tak bisa dibuat. Kalaupun kriteria demikian bisa dibuat, jika diberlakukan, itu justru dapat membatasi, mengekang, dan membelenggu kreativitas sastrawan.
Saya yakin, para redaktur atau editor sastra di media massa selama ini sebetulnya punya kriteria tertentu untuk kualitas karya sastra. Dan kalaupun kriteria “milik” para redaktur atau editor sastra itu ada perbedaan, itu saya kira wajar saja karena memang sulit (dan tidak perlu) diciptakan kriteria tunggal dan baku tentang kualitas karya sastra.
Dan kriteria kualitas karya sastra yang berbeda-beda “milik” para redaktur atau editor sastra itu juga tidak harus diterapkan dalam proses seleksi karya sastra. Apakah tak boleh jika redaktur atau editor sastra di media massa menyerahkan penilaian karya sastra kepada para pembaca? Karena, kita tahu, bagus sebuah karya sastra menurut seorang editor sastra belum tentu bagus pula menurut editor yang lain. Dan, bagus menurut editor belum tentu bagus pula menurut pembaca.
Dengan demikian, dalam kadar tertentu, penerapan suatu kriteria oleh redaktur atau editor sastra untuk menyeleksi karya sastra sebetulnya dapat dikatakan merupakan sebuah “pemaksaan” kepada pembaca. Pembaca media massa hanya disuguhi karya-karya yang telah dinyatakan “bagus” oleh redaktur atau editor, padahal belum tentu bagus pula menurut pembaca. Dan, karya yang dinyatakan “tidak bagus” oleh redaktur atau editor sehingga tidak pernah muncul di media massa, bukan tak mungkin justru bagus menurut pembaca. Kalau demikian, akan lebih adil jika penilaian kualitas karya sastra diserahkan saja kepada pembaca.
Tetapi, menyerahkan penilaian kualitas karya sastra kepada pembaca juga repot. Dalam menilai karya sastra, belum tentu pembaca melakukannya secara adil, mendalam, dan objektif. Lihat saja di www.cybersastra.net, misalnya. Karya-karya yang paling banyak dibaca, diberi skor, dan dikomentari umumnya adalah karya-karya mereka yang sudah dikenal saja. Tampak dalam menilai karya sastra, pembaca pertama-tama melihat orangnya. Bahkan juga dalam memutuskan mau membaca atau tidak.
Orang akan membaca karya sastra hanya kalau dia tahu siapa penulis karya itu. Dalam pemberian skor juga demikian. Karena orangnya, karya jelek skornya bisa tinggi, sementara karya bagus skornya bisa rendah. Subjektivitas, itu wajar. Tetapi kalau menilai karya sastra bukan dari karya sastranya, melainkan dari siapa penulisnya, subjektivitas ini saya kira sudah amat sangat tidak wajar, karena juga penilaian itu bisa menyesatkan pembaca lain.
Buat kita, menyerahkan penilaian kualitas karya sastra kepada pembaca memang “belum waktunya”. Karena itu, apa boleh buat, redaktur atau editor sastra media massa perlu menetapkan dan menerapkan kriteria tentang kualitas karya sastra. Ini membatasi pembaca, memang, karena dengan itu seolah-olah redaktur/editor sastra telah menyorongkan kepada pembaca “ini lo karya sastra bermutu itu”. Pembatasan memang sulit dihindarkan, tetapi media massa bisa meminimalisasi pembatasan itu.
Adanya kecenderungan beberapa media massa untuk punya ciri tersendiri dalam hal karya sastra yang dimuatnya, ini saya kira bukan langkah untuk meminimalisasi, melainkan malah menambah pembatasan itu. Kebebasan pembaca untuk menikmati rupa-rupa ragam corak karya sastra dibatasi. Ia harus membaca media lain jika ingin membaca karya yang berbeda.
Di samping itu, “politik sastra” yang diterapkan itu juga membatasi sastrawan. Sastrawan hanya bisa mengirim karya dengan ciri tertentu yang sesuai dengan yang disyaratkan oleh pihak media jika karya si sastrawan ingin dimuat media itu. Jadinya, sastrawan melayani media, bukan media mengakomodasi hasil kreativitas sastrawan.
Ciri karya sastra semestinya ada pada sastrawan penciptanya, bukan ada pada media massa. Media massa hendaknya berusaha memuat karya sastra yang “berkualitas”—karena itu perlu punya kriteria—, tanpa perlu media massa memberlakukan “politik sastra” yang berpretensi untuk tampil beda. Dalam konteks ini, saya setuju dengan pernyataan Sihar Ramses, “Bagi karya sastra, media apa pun berperan teknis, sekadar alat untuk 'merekam', bukan sesuatu yang bisa mempertinggi mutu.” Pilihan