Melihat Aini Dalam Film Guru Tugas

Tangkapan layar salah satu adegan film pendek "Guru Tugas"

Fayat Muhammad


Sejak ditemukannya teknologi gambar yang berawal dari kamera foto, lalu beranjak menjadi teknologi sinematik. Pada saat itu, gambar-gambar yang asalnya statis, diam dalam imaji, tiba-tiba seperti punya napas. Ia nampak hidup, bangun dan bergerak mengisi kebutuhan manusia di segala bidang.

Dalam bentuknya yang praktis, melalui handphone, laptop, tablet, romansa film telah masuk menemani kita setiap hari, dengan serentak, ia mampu membentuk, membimbing, menggiring, bahkan bisa mengaburkan persepsi kita tentang realitas, sebab film melibatkan peran imajinasi, memori, perasaan dan pengetahuan.

Potongan-potongan peristiwa yang tersembunyi dibalik realitas, bisa diangkut ke dalam layar, konsep abstrak bisa divisualisasikan dengan megah, masa lalu bisa dilihat ulang, masa depan bisa dibayangkan, alur kisah dimainkan secara mendebarkan. Ini semua, dimungkinkan oleh realitas. Artinya, realitas telah mengilhami penciptaan kreatif manusia melalui film.

Dihadapan kita, film hadir tidak hanya sebagai tontonan atau hiburan, tapi juga menjadi bahasa komunikasi sosial, agama, politik, kegiatan seni, pendidikan dan seterusnya. Dalam pengertian yang sederhana, film bekerja dengan cara memindah atau membingkai realitas ke dalam layar melalui bantuan teknologi.

Film pop yang diproduksi oleh Akeloy Production berjudul Guru Tugas juga merupakan kisah atau peristiwa yang diangkut (diinspirasi) dari realitas. Kehadiran film tersebut telah menuai silang pendapat (kontroversi) dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum, alumni pesantren, bahkan tokoh agama, dan juga mampu memainkan persepsi yang memungkinkan masyarakat secara lincah menurunkan pendapatnya ke wajah publik lewat media sosial.

Menyaksikan bentuk respon terhadap film Guru Tugas, kita masih bisa melihat bahwa religiusitas di Madura memang kental dan kokoh, tetapi pada saat yang sama, juga muncul sikap yang menyuburkan doktrin anti kritik.

Imajinasi (sebagian) masyarakat Madura terhadap film tersebut dianggap melecehkan Guru Tugas yang notabene adalah utusan dari pesantren tertentu yang dikirim untuk mengajar pendidikan keagamaan, selain itu, juga dituding telah melukai moral masyarakat Madura, sebab menghadirkan adegan cabul yang diperankan oleh tokoh Supri sebagai guru tugas yang berbuat mesum terhadap santri yang bernama Aini.

Singkatnya, adegan itu digambarkan pada saat Aini menunaikan permintaan Supri untuk datang ke tempatnya dan akan diberi pelajaran tambahan kepada Aini. Setelah pelajaran dilangsungkan, Supri melancarkan niat bejatnya kepada Aini, dengan modus minta dikerokin, kemudian terjadilah perbuatan mesum. Peristiwa yang digambarkan dalam adegan ini, sebetulnya telah berceceran di dunia nyata, termasuk juga di lembaga pendidikan.

Menandai visual peran atau adegan yang dimaksud, sebagian dari kita seperti banyak lupa, bahwa film diproduksi berdasarkan hasil serapan inspirasi dari realitas atau dunia nyata. Persepsi kita tentang realitas pun akhirnya kerap berhamburan setiap kali selesai menonton film, dan menganggap bahwa, seolah film itu sendiri adalah realitas yang nyata, sedangkan kesadaran kita terus dibolak-balik untuk mewadahi setiap kemungkinan yang datang, sehingga orang yang tidak bisa berpikir jernih, akan mudah memberi peluang bagi terciptanya kegaduhan persepsi yang dapat mengundang panik, takut, cemas, lalu dengan perasaan emosional, film tersebut langsung di personifikasi sebagai karya yang mencederai moralitas masyarakat Madura.

Mata sosial menuduhnya sebagai film yang meresahkan masyarakat, sebab mereka khawatir terhadap anak-anaknya tidak lagi memperoleh keramahan saat belajar di lembaga pendidikan. Mata agama mengklaim sebagai film yang merusak nilai-nilai pesantren utamanya yang menyangkut agama. Mata kekuasaan menilainya sebagai film yang melanggar undang-undang informasi teknologi elektronik.

Setelah melihat film Guru Tugas, yang paling mengerikan dan tampak dangkal sebenarnya bukan (hanya) pada bagian adegan vulgar yang dianggap merusak moral, tapi saat mengamati aneka komentar, yang justru tidak menampakkan moral santun, mereka saling menyerang satu sama lain, berbagai ungkapan tumpul dilempar secara paksa, semua itu diterbangkan melalui bahasa yang toxic, angkuh, merasa paling suci dan benar sendiri.

Sebagian dari mereka juga ada yang tampil sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas kesucian agama dan kemurnian budaya Madura, namun yang terjadi adalah kebalikannya, sebab etos tanggungjawab yang berlebihan justru melahirkan tendensi ke arah kekerasan (Verbal). Pada titik ini, gambaran yang mengemuka justru bukanlah suara-suara yang mewakili agama atau budaya Madura.

Diposting dari akun FB Fayat Muhammad



Pilihan

Tulisan terkait

Utama 5787217757154519082

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close