Pentingnya Literasi Emergent Bagi Pembangunan Budaya Literasi
Oleh Januarisdi
Walaupun Indonesia telah dianugrahi penghargaan King Sejong Literacy Prizes pada tahun 2012 oleh UNESCO sebagai penghargaan atas prestasi istimewa dalam hal pendidikan literasi, ternyata indeks pembangunan manusia Indonesia masih jauh berada dibawah negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Pada tahun 2012 HDI Indonesi adalah 0,629, berada pada urutan ke‐121, biwah Filipina (0,654) urutan ke‐114, Thailand (0,690) urutan ke‐103, Malaysia (0,769) urutan ke‐106, dan Singapura (0,895) urutan ke‐18.
Keadaan ini dilaporkan oleh UNDP meningkat pada tahun 2013; namun, kualitas pendidikan Indonesia berada pada urutan terakhir di dunia pada tahun 2013, menurut laporan Firma Pendidikan Pearson (http://internasional.kompas.com/, http://www.bbc.co.uk/). Selain itu, berdasarkan laporan OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pendidikan Indonesia berada pada urutan ke‐57 dari 65 negara anggota; skala skor membaca Indonesia adalah 402, dibawah rata‐rata OECD 493, dibahwa Thailand (421), dan Singapura (526). Ringkasnya, kualitas bangsa Indonesia, khsusnya dalam bidang pendidikan masih jauh tertinggal, walaupun telah memperlihatkan tanda‐tanda perkembangan.
Rendahnya peringkat HDI, dan mutu pendidikan kita sering dikaitkan dengan rendahnya “minat baca” bangsa Indonesia. Berbagai program mulai dari seminar minat baca, pelatihan minat baca, penelitian dan pengkajian minat baca, sampai ke lomba minat baca telah dilakukan. Setiap kali pidato didepan pustakawan, guru, dan kalangan pendidik, pejabat birokrasi tidak lupa menyinggung persoalan rendahnya minat baca dan usaha untuk meningkatkan minat baca.
Seperti tidak mau ketinggalan, organisasi profesi dan organisasi mayarakat yang bergerak dalam bidang membaca, perbukuan dan kepustakawanan ikut meneriakkan program peningkatan minat baca. Namun, sampai sekarang, hasilnya hampir tidak kelihatan; masyarakat kita masih belum melakukan membaca sebagai aktivitas rutin hariannya; siswa dan mahasiswa masih belum kelihatan melakukan kegiatan membaca yang diharapkan; perpustakaan masih menjadi tempat yang bukan favorit untuk dikunjungi. Ringkasnya, budaya baca bangsa Indoensia masih jauh dari harapan dan tuntutan zaman sekarang ini.
Oleh karena itu, kita perlu betanya apakah benar persoalan yang kita hadapi adalah rendahnya “minat baca”?. Bukankah setiap orang berminat melakukan perbutan yang dinilai tbaik, seperti membaca? Bukankah semua orang tahu bahwa membaca dapat meningkatkan kualitas diri dan bangsanya? Bukankan setiap muslim tahu bahwa membaca adalah perintah Allah yang pertama? Bukankah setiap orang tahu bahwa cara yang paling efektif untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang membuat seseorang lebih berkualitas dari yang lainnya adalah membaca? Jawaban pertanyaa‐pertanyaan tersebut akan menggiring kita pada sebuah keraguan bahwa akar persoalan yang sesungguhnya bukan “minat baca”.
Kalau kita selidiki lebih jauh dengan pandangan yang lebih kritis, kita akan menemukan bahwa persoalan yang sesungguhnya bukan “minat baca”, tapi “kemampuan baca”, baik secara akademik maupun secara finansial. Secara akademik, walapun telah dinyatakan bebas buta aksara, bangsa Indonesi masih memiliki kemampuan memhami teks yang sangat rendah, kecepatan membaca yang masih dibawah rata‐rata, dan kemampuan membaca kritis yang lemah.
Dari pengalaman penulis memberikankan berbagai teks yang terdiridari beberapa paragraf kepada mahasiswa, hampir tidak ada mahasiswa yang mempu melakukan pemahaman yang sempurna, apa lagi membaca kritis dengan kecepatan yang tinggi. Secara finansial, tingkat penghasilan bangsa Indonesia secara umum masih terlau rendah untuk membeli buku dan bahan bacaan lainnya secara rutin. Jarang sekali kita menemukan rumah tangga yang memiliki rak buku yang dipenuhi oleh bahan bacaan yang dibeli seacara rutin.
Rendahnya kemampuan membaca sangat terkait dengan rendahnya kegemaran membaca yang tentunya mempengaruhi budaya baca. Seseorang tidak gemar membaca bukan disebabkan oleh tidak adanya minat membaca, tapi karena tidak mampu membaca, dan ketidakmampuan ini meningkatkan ketidakmampuannya. Keadaan ini dikenal dengan(Matiew Effect)—ketidakmampuan membaca pada masa anak‐anak akan melahirkan ketidakmampuan yang lebih parah yang kemudian melahirkan ketidakmampuan yang semakin parah lagi, "The rich get richer, and the poor get poorer."
Diungkapkan oleh beberapa peneliti bahwa intervensi dini terhadap membaca akan menghasilkan dampak efektif terhadap perkembangan membaca anak berikutnya. Anak‐anak yang memilki fondasi ketrampilan membaca lebih baik cendereung akan meningkat lebih cepat cepat dan semakin cepat dari pada anak‐anak yang tidak memiliki foundasi ketrampilan membaca, seperti tegambar pada grafik diatas.
Tulisan ini memuat wacana tentang usaha mebangun budaya literasi yang selama ini tidak mendapatkan perhatian serius. Sebelum lebih jauh membahas wacana pembangunan budaya literasi, perlu diluruskan pemahan kita tentang literasi. Bagian berikutnya membahas tentang hakikat dan proses membaca. Pentingnya literasi emergent bagi pembangunan budaya literasi merupakan topik sentral yang dibahas dalam tulisan ini. Selain itu, tulisan ini juga membahas tentang perenan orang tua, masyarakat dan pemerintah dalam membangun budaya literasi.
(Januarisdi, Pustakwan Madya Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang)
Diunduh dari https://adoc.pub/membangun-budaya-literasi.html
Tulisan bersambung:
- Pentingnya Literasi Emergent Bagi Pembangunan Budaya Literasi
- Membangun Budaya Literasi
- Memahami Hakikat dan Proses Membaca
- Membangun Literasi