Jalan Panjang Chairil Alwan: Jalan Berliku ke Kampung Halaman
Chairil Alwan saat presentasi
Oleh: Hidayat Raharja*
Di warung yang berbentuk huruf L disamping galleri Mbah Kung dipajang beberapa lukisan yang khas dan terasa unik, namun semua dapat merasakan bahwa lukisan-lukisan itu karya Chairil Alwan. Mulai malam itu Chairil Alwan memajang karyanya dengan judul; ”Jalan Panjang” mulai dari tanggal 10 sampai dengan 17 November 2023 di Jalan Salak N0.77 Sampang.
Di malam pembukaan beberapa undangan hadir memenuhi warung yang terbuat dari Batangan bambu. Selain para perupa Sampang juga hadir Kumintas Alas samper dari Pangarengan menyaksikan lukisan dan mengikuti diskusi yang dipandu oleh Mas Nanang.
Lukisan-lukisan Chairil Alwan terasa sangat khas karena bentuk yang unik dan warna yang simpel dan khas. Warna yang menyejukkan bagi penikmat, sehingga sangat wajar jika lukisan-lukisannya membawa para penonton untuk memasuki dalam suasana yang sejuk yang tenang. Lukisan yang mengajak para penikmat untuk merenungi makna lukisan dan kehidupan ini.
Chairil Alwan telah memilih dalam karya-karyanya untuk merenungkan ketidak berdayaannya sebagai manusia. Makhuk yang ringkih dan penuh nafsu angkara. Dalam batas kesadarannya Chairil Alwan mengakui ketidak berdyaan dan mengakuki keperkasaan Tuhan. Maka kanvas baginya bukan sekedar menaruh gambar tetapi menjadi sajadah untuk bersujud dengan warna-warna pilihan yang sederhanadan menyejukkan.
Pada malam pembukaan berlangsung dialog yang cukup ganyeng hingga tak terasa malam mulai larut. Dalam dialog Chairil Alwan menyampaikan proses kreatifnya sejak dari tahun 1990-an setelah menyelesaikan studi Pendidikan Seni Rupa di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya). Setelah lulus Chairil Alwan bersama beberapa temannya berpameran. Bahkan sering berpameran bersama di bebarapa kota. Namun saat ini ia memilih untuk berpameran di Sampang saja.
Awalnya pak Alwan (begitu saya memanggil) menggambar realis dan menerima pesanan gambar dari masyarakat umum. Namun semakin lama ia merasakan tidak nyaman dengan apa yang dilakukan. Ia merasakan tidak ada makna atau isi pada luksian yang dihasilkannya. Ia rasakan lukisan-lukisannya hanya mengisi ruang kosong di atas kanvas. Penacarian berlangsung di sepanjang waktu sampai menemukan identitas kemaduraan.
Jika selama ini identitas budaya Madura selalu terjebak kepada ikon budaya kerapan sapi, warna, perahu dan semacamnya. Secara substil Alwan memasuki wilayah budaya religius dengan nilai-nilai agamis dan filosofis. Dalam lukisan-lukisannya kita tidak akan menemukan unsur budaya Madura yang ada dalam pikiran. Kita tidak akan menemukan sapi, orang Madura, atau warna-warna norak yang identik dengan kemaduraan. Tidak akan ditemukan. Karena Alwan memasuki wilayah yang paling intim dan paling personal dari masyarakat Madura.
Pertama, ke-Madura-an tidak selalu dengan identitas fisik yang selama ini diejawantah. Ada bagian substansial yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat Madura yaitu religiusitas. Masyarakat Madura yang religius, dan percaya kepada yang Maha segalanya. Apa pun kehidupannya tetap berniat menunaikan haji dan mati sebagai islam sejati.
Maka cukup unik dalam lukisan-lukisan Alwan akan banyak ditemukan bulatan-bulatan laksana butiran tasbih. Bulatan yang menyimbolkan kebulatan niat dan tekad untuk berserah kepada tuhan. Butiran yang melambangkan wirid atau zikir di sepanjang putaran waktu. Bulatan-bulatan itu bisa berubah menjadi bulan, matahari dan gumpalan cahaya, atau menjadi kepala yang tengah bersujud mencium permukaan tanah.
Lukisan-lukisan pak Alwan berwarna coklat dengan berbagai gradasinya, seperti warna kayu kering yang tua dan kokoh. Serat-seratnya sangat rapat sehingga terlihat halus dan garis lingkar tahun yang estetik. Kayu sebagai pokok, tiang yang kokoh untuk menyangga. Di dalamnya ia menemukan sebuah keajegan, konsistensi dengan unsur kayu dan hampir semua lukisan-lukisannya berwarna coklat dominan.
Karena keteguhannya Alwan tidak peduli dan ia bisa dengan enteng menaruh warna kontras saling berdampingan beberapa di antaranya meletakkan warna hijau dengan coklat pada selembar daun atau, menaruh warna merah diantara bentangan warna coklat. Di tengah keterbatasan Alwan menemukan kebebasan. Bebas yang bertanggungjawab.
Kedua, daun sebagai simbol kadang ditumpuk seperti tataan rapi di atas meja, dan sering kali juga daun-daun melayang kadang tunggal atau kadang bertumpuk. Daun yang memberikan imajinasi dan nilai filosofis. Perubahan warna daun dari warna hijau kemudian berubah menjadi kekukingan dan kemudian beralih jadi coklat. Sebuah perjalanan dan peruhan yang berlangsung secara sistenmik. Coklat dan jatuh, lepas dari lekatan di dahan dan ranting.
Ia merasakan keindahan daun yang jatuh dari tangkai, melayang-layang sebelum mencium muka tanah. Daun yang bisa bermakna sesorang yang akan kembali ke tanah, tanpa memandang usia. Ada kala usianya masih muda tapi terlepas dari dari tangkai. Kalau pun bertahan akan mengalami fase yang sangat ritmis dari perubahan warna hijau sampai kemudian verwarna coklat. Sebuah pelajaran berharga bagi Alwan sehingga menjadi momen penting kehidupan yang diabadikan di atas kanvas.
Ketiga, akar. Di beberapa lukisan tampak seperti serabutan akar dan umbi yang tumbuh, namun dalam detail terlihat seperti tubuh-tubuh yang bersujud. Tubuh tak berdaya atas ke-maha perkasa-an tuhan. Tidak ada kekuatan selain kekuatan tuhan, karena kita adalah makhluk dengan segala kelemahannya. Maka sering terlihat dalam lukisan manusia yang bersujud dengan segala kepasrahan dengan segala cinta yang digenggamnya.
Akar sebagai bagian yang menunjang tegaknya batang. Akar sebagai manusia yang ditugaskan sebagai khalifah di muka bumi untuk memberikan kedamaian bagi makhluk lainnya. Di sinilah kemanusiaan sebagai akar merambat dalam nilai-nilai humanitas dan religiusitas yabg mengakar ke bumi dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya setinggi langit.
Keempat, keseluruhan gambar Chairil Alwan pada dua dekade terakhir bukan hanya lukisan, tetapi Alwan telah menjadikan kanvas sebagai sajadah untuk tafakur dengan goresan bentuk dan warna. Sebuah sikap yang mengalir bersama dengan pertambahan usia. Alwan tidak ingin hanya menjadikan kanvas sebagai pengisi kekosongan namun menempatkan dirinya sebagai hamba yang mendamba, hamba yang mencinta.
Kelima, Sementara ke luar dirinya selama perjalanan kreativitasnya memantulkan semangat yang mampu memberikan pemantik terhadap perkembangan seni rupa pada orang-orang terdekat. Hal yang sangat menarik dalam lingkungan keluarga Alwan berhasil membawa istrinya untuk melukis bahkan putra-putrinya juga melukis, sehingga memiliki momen berharga setiap 10 November melakukan pameran bersama istri dan anak-anaknya.
Alwan dan Kelompok Perupa Sampang
Suasana Diskusi
Membicarakan Alwan tentu tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Kelompok Perupa Sampang, karena sepeninggal KH. Sholahur Rabbani maka Chairil Alwan didaulat menjadi Ketua KPS. Sampai saat ini masih dipercaya oleh para, pelukis untuk memimpin KPS.
Di bawah kepemimpinan Chairil Alwan KPS tetap guyub dan menyusun program kegiatan pameran lukisan secara rutin setiap tahun. Bahkan di masa pandemi covid saat semua aktivitas dihentikan, KPS berpameran di hutan.
Di sini sebenarnya tampak gagasan-gagasan kawan- kawan dari KPS untuk tidak bergantung kepada orang lain, juga kepada pemerintah daerah. Terbatasnya gedung kesenian tidak membuat mereka menyerah. Namun mereka telah membuka ruang yang lebih luas untuk memajang karya-karyanya. Mereka memanfaatkan ruang kafe, Gedung Dekranasda, Gedung Perpustakaan, dan hutan menjadi ruang pamer karya. Sebuah pilihan untuk mengubah konsep tentang ruang pamer. Tentu hal ini membuka ruang kreativitas yang lebih terbuka. Bahwa mereka bisa adaptasi berbagai tempat untuk menjadi sebuah galeri yang nyaman bagi pengunjung.
Suatu pemikiran progresif menghadapi masa depan kesenian yang dituntut mandiri dan menghilangkan ketergantungan terhadap pemerintah atau negara. Namun demikian pemerintah dituntut tidak abai terhadap perkembangan seni dan kebudayaan secara luas. Bahwa kota yang maju pemerintah kota atau di daerah menyediakan fasilitas umum termasuk fasilitas kesenian yang layak sebagai ruang tontonan dan hiburan bagi warganya.
Seni dan budaya setempat akan menjadi rujukan bagi peneliti untuk melihat dan menatap perkembangan budaya setempat. Budaya lokal yang spesifik dan unik. Apakah pemerintah daerah tanggap dengan hal ini? Setidaknya kawan-kawan KPS peduli dan membuka ruang kreativitas bagi seniman yang ada di dalamnya untuk berani bereksplorasi dan mencari identitas yang kedudukannya setara dengan daerah lain. Artinya jika mereka selama ini berkutat berpameran di Sampang tidak lain untuk menguatkan identitas sebagai bagian dari kekayaan budaya yang berbeda dengan daerah lain.
Melihat Chairil Alwan, tentu tidak bisa lepas dari perkembangan seni rupa di daerah Sampang. Pak Alwan telah memulainya dari tahun 1990 an hingga saat ini. Berkarya sebagai jalan hidupnya selain sebagai guru MAN 1 Sampang. Dari sanggar Mbah Kung sampai saat ini menjadi tempat anak-anak berlatih dan belajar melukis dari taman Kanak-tanak sampai usia SMA. Sebuah ruang terbuka bagi yang berkeinginan untuk mengembangkan diri dalm dunia seni rupa.
Seluruh keluarga pak Alwan juga melukis dan ikut menangani sanggar lukis mbah Kung. Ada warung di samping Galleri Mbah Kung. Sebuah tempat yang didedikasikan pada dunia seni rupa di Sampang. Di tempat ini pula kawan-kawan seni rupa sering berkumpul dan merebcanakan berbagai aktivitas seni rupa untuk Sampang tercinta. Jalan panjang masih membentang bagi Chairil Alwan juga bentang jalan yang dijalin untuk kemajuan Seni rupa di Sampang. Selamat pak Alwan, jalan panjang, jalan kembali ke kampung halaman.
JPRM, 3 DESEMBER 2023