Surat Untuk Jenderal Soedirman

Jendral Sudirman dalam suatu peristiwa (gambar: Pinterest)

Cerpen: M. WILDAN*

Ledakan terdengar diseluruh penjuru tempat, helikopter saling lempar tembakan dan rumah-rumah penduduk hangus jadi debu, langit muram, dan bendungan menghitam serupa cairan yang menjijikkan. Aku seorang anak kecil yang hilang arah dan mencari pengukuhan hidup dan bersembunyi di balik rindang rerumputan karena suara radang tembakan itu terdengar menakutkan. Aku lihat para tentara Indonesia berjuang sampai berdarah-darah, rupanya banyak yang gugur di medan perang ini dan ada pula salah satu tentara harus mundur dan bersembunyi di balik tong besar, aku menghampiri tentara itu dengan berendap-endap di balik tong yang sangat besar itu.

“Bapak baik-baik saja apa ada yang terluka?”

.“Kamu ngapain di sini nak, pergi sana situasi sekarang masih tidak baik,” jawab tentara sambil berbatuk darah.

“Bolehkah saya juga ikut berperang pak?”

“Jangan nak, kamu masih kecil untuk melakukan ini dan kamu belum waktunya nak, ini tugas kami untuk menyelamatkan bangsa dari penjajah,” jawab tentara itu.

Keadaan semakin rumit ledakan bom dan granat masih terdengar, dan percakapanku dan seorang tentara yang selamat masih terus berlanjut di balik tong besar itu.

“Pak tolong aku beri tugas pak, aku juga ingin berperang melawan penjajah yang kejam itu, izinkan saya pak, tolong berikan saya arahan untuk ikut berjuang untuk bangsa ini,” kataku.

Hati tentara itu terketuk ada rasa bangga dan tidak tega melepasku, akan tetapi semangat tak mampu bisa dicerna dengan kata-kata.

”Baik kalau itu memang kemauan kamu nak saya izinkan,” jawab tentara dengan berat hati sambil memberi arahan dan jalan agar aku selamat.

“Nanti kamu ikuti jalur arah barat, lima meter dari sini nanti kamu akan mendapati bangunan mewah dan di atas itu ada bendera Belanda kamu sobek warna birunya itu sehingga menjadi bendera Indonesia, tapi ingat penjagaan di situ sangat ketat kamu harus ikhtiar dan berjuang serta sabar nak. Kalau kamu sudah lolos dari dari situ tempuhlah jalan kecil di utara sana temui Jenderal Soedirman dan tolongkan sampaikan surat ini kepada Jenderal Soedirman nak,” panjang lebar tentara itu menjelaskan tak terasa air matanya meleleh, terharu melihatku yang mempunyai semangat besar untuk memerdekakan bangsa ini.

Siap pak akan saya laksanakan,” ucapku tanpa ragu.

Tentara itu memberikan semua bekal, granat tangan, dan senapan laras panjang ia serahkan padaku.

“Ini bawa sebagai bekal di perjalananmu nak, selamat berjuang,” tutur tentara itu di akhir kalimatnya.

“Siap pak, sekarang tugas bapak telah aku ambil alih sekarang bapak istirahat,” jawabku dengan semangat yang menggelora.

####

Jalanan dipenuhi darah dan jasad seorang satria yang gugur di medan perang. Bau menyengat menjadi khas dan posko-posko tentara Belanda yang perlahan didirikan. Namun, semangatku sangat luar biasa yang berjalan ke arah barat tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi dan selintas kenangan masa lalu muncul tentang perkampungan yang dulunya sejuk dan tawa riang anak-anak yang dulu mandi di kali, sekarang hanya terdengar jeritan dan senapan yang menggelegar. Bangunan mewah itu telah terlihat, lalu aku mengendap di balik rerumputan yang rindang, sambil lalu mendengarkan percakapan tentara Belanda tapi aku tidak mengerti bahasanya.

Lima menit telah berlalu…………..

Lima buah mobil belanda keluar dari halaman menandakan kalau keadaan mulai aman, lalu aku keluar dari persembunyiannya. Aku berjalan tepat di depan bangunan mewah itu, lalu melihat ke atas bendera besar dengan warna merah, putih, dan biru berkibar dengan sendirinya terpampang jelas di hadapan wajahku, dengan susah payah aku mencari jalan lalu memutuskan untuk melewati tangga belakang. Setelah itu, aku berjalan sambil mengendap mengawasi situasi dan kondisi dengan melewati lorong-lorong dan sampai di lantai atas, aku gembira karena tugas telah ada di depan mata. Diturunkanlah bendera itu dengan bacaan Basmalah, tersobek sudah warna biru itu lalu aku taruh bendera itu dalam saku celana. Akan tetapi, bahaya tanpa diundang dengan datangnya tentara Belanda yang sudah memarkirkan mobilnya di grasinya, lalu salah seorang tentara berteriak dengan bahasa belanda.

“Komandan ada penyusup yang masuk ke markas kita,” lapor tentara pada seorang lelaki Baya yang disebut komandan itu.

“Cari orang itu dan tembak kepalanya sampai mati,” perintah komandan itu dengan logat bahasa Belanda yang kental.

Seketika badanku gemetaran lalu aku turun dari tangga hingga aku mengatur nafasku dan bersembunyi di balik pintu itu.

Satu jam kemudian……………

Komandan dan empat pengawalnya lewat dan tanpa pikir panjang ketika semuanya tidak kelihatan, aku berlari sekuat tenaga dan secepat mungkin melewati halaman luas itu dan tak terasa aku telah terhempas jauh ke dalam hutan serta bersandar di bawah rindangnya pohon.

Tak terasa sudah berapa jam aku istirahat sampai lupa pada tugasku yang terakhir. Aku melihat saku celana dan akupun senang karena surat itu belum hilang dan bendera biru yang disobek beberapa jam yang lalu masi ada. Aku menyusuri arah utara jalannya kecil berbatu, lembah, sungai, aku lewati dan perjalanannya cukup panjang untuk ditempuh. Akan tetapi, kelelahan itu sirna ketika melihat desa yang terlihat sejuk dan Jendral Soedirman yang memimpin bambu runcing, lalu aku berlari ke arah Jenderal Soedirman.

“Lapor jenderal, kami rakyat Indonesia yang mendapat tugas dari salah satu pasukan tentara Indonesia yang masih selamat dan ini surat buat jenderal. Di tanganku ini, juga ada bendera Belanda yang disobek kemarin siang, laporan selesai,” ucapku dengan suara lantang.

Dibacalah surat itu oleh sang jenderal, tak terasa air matanya meleleh dan semua pasukan tiba-tiba hening tanpa kata, dirangkullah anak itu oleh jenderal tanpa mengetahui sebab dan alasannya.

“Kamu adalah pahlawan nak,” seloroh Jendral Soedirman tanpa ragu.

Lalu, dengan matanya yang masih lembab itu jenderal mengumpulkan semua pasukannya. Ia menyampaikan pesan terakhirnya.      

“Berjuanglah kalian sampai titik darah penghabisan, anak kecil ini telah berkorban banyak untuk bangsa kita. Sekarang giliran kalian yang menumpahkan darah untuk negeri ini, selamat berjuang, selamatkan negeri kita dari penjajah, merdeka, merdeka, dan merdeka negeriku,” dengan suara khasnya.

Lalu pada sore itu pertempuran besar terjadi atas pimpinan Jenderal Soedirman sehingga rakyat bisa membuat taktik yang begitu baik, itu semua karena sebuah surat yang di sampaikan lewatku,

 “Tak ada yang lebih indah dari pada sebuah perjuangan untuk membela bangsa dan nyawa merupakan tangan kanan berselimut doa disepanjang peristirahatan.” Sekian.

Reguler, Jagat Sastra, 2023

*) Pustakawan PPA. LUBTARA, Merupakan Siswa Aktif MA 1 Annuqayah kelas X IPS2, dan aktif di Komunitas Laskar Pena Lubtara, sekaligus anak asuh Sanggar Sabda dan kru Jurnal Pentas MA 1 Annuqayah

 

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1582559923994344574

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close