Sajak-sajak Muhammad Ridwan Tri Wibowo
Muhammad Ridwan Tri Wibowo, adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Jakarta Angkatan 2022, Instagram: @mridwantw, WA : 083835908178
Di Bawah Bulan Sabit
Bulan sabit di atas menara;
langit biru ke abu-abu
dan rada ke biru.
Sepasang manusia berpegangan tangan
meloncati kubangan
berbarengan
angin lewat yang meneteskan
sisa-sisa rintik hujan
yang tertahan
dalam lebatnya pohon beringin.
Gedung putih bertemu warna ungu
berpadu lampu;
putih ke kuning-kuningan.
Dan, genteng coklat kafe
yang sedikit dipayungi beringin
membuatku terpesona melihatnya.
Halte Keranda Biru
untuk mayat-mayat dini hari
yang ingin pulang ke rumah yang sejati
Dini hari sejumblah mayat jemu
menunggu keranda biru.
Di halte keranda biru.
jalan alam baka penuh riuh
dengan truk-truk yang berisi
doa-doa permohonan ampun
dari keluarga yang ditinggal pergi.
Lampu lalu-lintas silih berganti
--doa diterima, doa tidak diterima.
Hijau-merah, merah-hijau.
Baru berapa jam kemudian
sejumlah mayat mendapatkan
jatah keranda yang membawanya
pulang ke rumah yang sejati.
”Bagi orang yang sudah mati
menunggu lama keranda
adalah hal paling menjengkelkan,”
celetuk mayat lelaki yang berbadan ceking.
Di dalam keranda
sekumpulan mayat
menyebarkan nyiur amis
dari peluh badannya.
Ada banyak mereka yang tertidur,
ada yang hanya menatap kosong,
ada yang bermain handphone
karena masih penasaran
kabar kerabat dan sahabatnya di dunia.
Berteduh di Bawah Mobil Terbang
Seorang yang katanya datang dari masa depan
berkata padaku,
"Waktu aku hidup di abad ke-22, aku pernah
berteduh di bawah mobil terbang yang sedang parkir,"
celetuknya sambil menepuk-nepuk jas ujan plastiknya
yang ia keluarkan dari jok motornya.
Kemudian ia memberikanku selembar foto polaroid.
Di foto tersebut; aku melihat ia dan beberapa orang lainnya
sedang berteduh di bawah mobil terbang yang sedang parkir.
"Bagaimana?" tanyanya sambil memakai jas ujannya.
Kemudian ia naik ke motor PCX 160-nya.
Beruntungnya ketika ia ingin menarik gasnya
aku sempat menyindirnya,
"Alah paling ini editan. Mana ada orang dari abad ke-22.
Memberikan selembar foto polaroid yang sudah lecek begini."
Merayakan Kemerdekaan
/i/
Pukul 02.00
Di pasir pantai segerombol malaikat asyik berpesta
merayakan ulang tahun kemerdekaan Indonesia.
Ada malaikat berlomba memasukkan paku
ke dalam botol takdir seseorang manusia
dan ada malaikat yang berlomba bermain
bola pantai menggunakan buah kepala.
/ii/
Sehabis subuh
Masih ada satu perlombaan yang tersisa.
Namun, ombak menyerap para mailakat
masuk ke dalam laut.
Tiang-tiang dan tali-tali ditinggalkan begitu saja.
/iii/
Cahaya matahari telah menyinari bumi
Langit sudah terang. Pantai mulai ramai manusia.
Aku menyaksikan beberapa manusia
berinisiatif melakukan perayaan kemerdekaan Indonesia.
Mereka melanjutkan satu perlombaan
yang belum sempat dilombakan oleh para malaikat.
Dengan mulut terbuka;
aku melihat manusia-manusia itu berlomba
memakan rezeki manusia lainnya
yang sudah diikat oleh tali rapiah.
Celiana
/i/
Ibumu memasang seratus kembang api dalam kamarnya. Lalu, ia meminta ayahmu membakarnya. Ayahmu sendiri membakarnya dengan korek gas colongan dari tongkrongannya.
Ketika ayahmu melihat ibumu begitu girang. Ia membuka dua kotak petasan disko dan membakarnya sekaligus—dengan tangan seribu.
Ruang menjadi kedap-kedip berwarna. Ayah dan ibumu pun, akhirnya berjoget pargoy hingga tak lama kemudian petasan meledak.
Terdengar dari arah pintu teman-temannya berteriak, ”Selamat berojol, Celiana!”
Tiba-tiba suara tangis bayi perempuan pun menggelegar mengimbangi musik DJ TikTok.
/ii/
Tujuh belas tahun lagi kamu tumbuh menjadi bunga.
Ayahmu mulai berkhayal.
Lelaki seperti apa nanti yang mampu memetikmu
dan menyelipkan tangkaimu
ke sela-sela kupingnya.
Lalu kamu membisikkan lembut dua kata
mantra kepadanya,
”Aku mencintaimu.”