Penyebaran dalam Kisah Panji
Oleh : Ahmad Rizal
Pada tahun 1049, seiring dengan masa-masa akhir Raja Airlangga berkuasa di Singasari, Sang Raja membagi dua wilyah yang diperuntukkan bagi dua anaknya.
Satu anaknya mendapatkan wilayah di sebelah timur sungai Berantas, dan satu anaknya yang lain mendapatkan wilayah di sebelah barat Sungai Berantas. Wilayah sebelah timur bernama Jenggala, dan di sebelah barat namanya Panjalu, yang di kemudian hari dikenal sebagai Daha atau Kediri.
Dua saudara kakak beradik putra Raja Airlangga tersebut kemudian menjadi pemimpin/penguasa di wilayahnya masing-masing. Penguasa wilayah Jenggala tersebut dikenal sebagai Mapanji Smarawijaya, dan penguasa Panjalu bernama Mapanji Garasakan.
Namun sayangnya, dua kakak beradik tersebut tidak pernah akur dalam menjalankan kekuasaannya. Jenggala dan Panjalu terus mengalami konflik/peperangan sampai pada masing-masing anak keturunannya, dan nampaknya Jenggala sebagai pihak yang dikalahkan. Maka, nama Jenggala sebagai suatu wilayah tenggelam dan hilang ditelan zaman, dan sebaliknya wilayah Panjalu sebagai kerajaan berlangsung beberapa periode dengan perubahan nama wilayah/kerajaan menjadi Daha dan Kediri.
Hubungan Jenggala dengan Panjalu (Daha/Kediri) sebagaimana terurai dalam nukilan sejarah tersebut di atas menjadi bertolak belakang dengan cerita Panji yang muncul pada awal abad 14 M. Di dalam cerita Panji justru menunjukkan hubungan dua raja kakak beradik yang harmonis antara Raja Jenggala dengan Raja Kediri. Dua raja. kakak beradik tersebut bersepakat menjodohkan putra dan putri mahkotanya. Dengan kata lain Raja Jenggala dan Raja Kediri juga menjalin hubungan dengan berbesanan.
Sebagaimana kita kenal bersama bahwa putra mahkota kerajaan Jenggala bernama Panji Inu Kartapati, yang dalam tradisi oral tradisional dikenal pula sebagai Panji Asmarabangun. Adapun Raja Kediri memiliki putri mahkota bernama Sekartaji, atau lazim dikenal sebagai Galuh Candrakirana. Alkisah di akhir pertunangan dan malam menjelang upacara perkawinan, calon temanten putri, yaitu Galuh Candrakirana hilang darikamar temanten putri. Berdasarkan peristiwa inilah Panji Asmarabangun pergi mengembara hendak mencari dan menemukan calon istrinya.
Diceritakan pula bahwa Raja Jenggala dan Raja Kediri bahumembahu melalui kerabat dan segenap prajuritnya dalam upayanya mencari dan menemukan Galuh Candrakirana. Kemunculan cerita Panji oleh karenanya tidaklah cerita fiksi atau dongeng semata, namun ada benang merah yang terhubung dengan nukilan sejarah sebagaimana terurai di awal tulisan ini.
Pujangga sastra penyusun cerita Panji nampaknya terinspirasi oleh sejarah kelam hubungan dua saudara kakak-beradik yang justru tidak akur, selalu berperang berebut pengaruh kekuasaan. Sehubungan dengan itu maka disusunlah cerita Panji yang menceritakan dua raja kakak beradik yang hidup rukun, harmonis, dan diperkuat dengan pertunangan putra dan putri mahkota keduanya.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam cerita Panji terkandung nilai-nilai pendidikan keluarga, hubungan persaudaraan di antara anggota keluarga yang perlu dijaga, dirawat, dimulyakan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Selain itu, fakta yang menunjukkan persebaran cerita Panji di berbagai pelosok nusantara, dan bahkan sampai ke semenanjung Asia Tenggara tentu ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Jejak-jejak persebaran cerita Panji dengan narasi-narasi sejarah yang menyertainya tentu merupakan sesuatu yang penting hubungannya dengan semangat kekinian, semangat kebanggaan bahwa cerita Panji merepresentasikan semangat kenusantaraan.
Semangat kenusantaraan di dalam konteks persebaran cerita Panji kiranya perlu digali kembali, dibangkitkan dalam semangat kekinian. Semangat kenusantaraan tersebut kiranya ada hubungan atau kaitnya dengan para peneliti sebelumnya
Di masa Kerajaan Majapahit, yaitu kisaran abad 14-15, Cerita Panji sangat populer. Melalui perjalanan laut, cerita ini disebarkan oleh para pedagang, dari Pulau Jawa ke Bali, Melayu, kemudian ke Thailand, Myanmar, Kamboja, dan mungkin juga ke Filipina. Cerita Panji, dengan demikian memiliki keunikan karena pengarangnya banyak. Ketika menyebar dari Jawa ke kawasan Asia Tenggara, berkembanglah banyak versi dan kisah yang berbeda sehingga berkontribusi pada keragaman dan potensi budaya Panji saat ini.
Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, dan lainnya, memiliki interpretasinya sendiri terhadap kisah-kisah itu. Bahkan keunikan dan kepopuleran cerita Panji kemudian menjadi inspirasi munculnya bentuk seni tradisi lainnya seperti seni tari, wayang topeng, wayang beber, wayang gedog, seni kriya dan sebagainya.
Tersebarnya cerita Panji sebagai bukti faktual keberhasilan masyarakat Jawa di masa lalu ketika membangun komunikasi melalui diplomasi budaya dan menawarkan ide-ide universalisme kepada masyarakat kawasan Asia Tenggara saat itu. Hal tersebut menandakan kecerdasan dalam komunikasi silang budaya sudah membumi.
Ketersebaran Cerita Panji ke berbagai wilayah budaya di Asia Tenggara jelas menunjukkan di zaman itu telah terbangun proses komunikasi budaya yang baik, antara masyarakat Indonesia dan berbagai masyarakat di kawasan itu. Salah satu kata kunci kesuksesan dari proses komunikasi ini ialah karena adanya nilai-nilai universalisme yang terkandung di dalam Cerita Panji.
Tokoh utama dalam cerita Panji bernama Inu Kartapati yang menjalin cinta dengan Candrakirana. Inu Kartapati adalah seorang putra mahkota kerajaan Janggala, dan Candrakirana adalah putri raja kerajaan Daha. Nama-nama lain dari Inu Kartapati adalah Panji Kudawanengpati, Panji Asmarabangun, Panji Kudalalean, Panji Jayengtilam, Raden Putra, dan sebagainya.
Dalam cerita Panji tokoh Inu Kartapati digambarkan sebagai Arjuna. Ksatria tampan seperti Bhatara Kamajaya, memiliki kesaktian dan selalu unggul dalam setiap pertarungan dan peperangan. Tidak berbeda dengan Arjuna, Inu Kartapati juga tampil sebagai tokoh kesatria yang menjadi pujaan wanita, dan sebaliknya juga mampu memikat hati para kekasihnya. Namun kesetiaannya kepada Candrakirana sebagai kekasih sejati tidak pernah luntur, meskipun ia berulang kali terpaksa berpetualang dengan putri-putri lain.
*Ahmad Rizal, kelahiran Republik Pulau Raas Sumenep, Madura. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Pascasarjana di Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang, Fakultas Ekonomi Bisnis Islam. Beberapa karyanya pernah di muat media online dan cetak. Penulis bisa dihubungi melalui Penulis Rulis
santrishopies@gmail.com