Falsafah Pancasila dalam Perspektif Pendidikan


Ahmad Rizal*


Sejenak mari kita kilas balik mata rantai sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama lebih dari tiga abad lamanya, negara yang berbudaya dan berkeadaban tinggi ini berada dalam kungkungan kolonialisme Hindia-Belanda dan Jepang. Selama itu pula, bangsa Indonesia tidak sedikitpun merasakan manfaat kekayaan alam yang membentang  dari Sabang sampai Merauke—terkecuali bagi kelompok maupun individu yang berkhianat kemudian membangun aviliasi dengan penjajah. Mungkin saja sangat wajar, bilamana kita mengistilahkan bahwa bangsa Indonesia kala itu tak ubahnya sebagai budak yang oleh majikannya terus diperas demi merauk keuntungan yang melambung tinggi kemudian dialirkan ke negara asalnya. Kondisi yang seperti ini terus mencengkram bangsa kita dari generasi ke generasi.

Namun demikian, biarpun hegemoni kolonialisme terus mencengkeram dengan kedigdayaannya tanpa sedikitpun memberikan celah udara segar perlawanan, bangsa ini tetap teguh pendirian untuk terbebas dari jeratan mereka, yakni dengan kata lain ‘merdeka’. Sumber-sumber tokoh yang menjadi titik kekuatan diberbagai daerah: ulama-kyai, santri, aktivis, tentara nasional, dan lainnya, diorganisir dengan sebaik mungkin guna menyusun strategi perembutan kembali hak-hak bangsa yang oleh mereka dirampas secara paksa dan tidak berkemanusiaan.

Tidak bisa kita nafikan, bahwa bangsa ini yang memiliki beragam suku-budaya, agama dan ras, jika disatukan tentu akan mampu mengalahkan dan meruntuhkan apapun yang menghalangi keberlangsungan hidupnya dalam mewujudkan cita-cita kemerekaan. Maka pada titik terangnya,  17 Agustus 1945 bangsa ini telah berhasil menyongsong perubahan dan mematahkan sendi-sendi kebejatan sistem kepemerintahan kolonial itu. Siapapun bebas menentukan arah juang hidupnya, tidak lagi ada batasan ruang gerak. Begitu juga seluruh kekayaan alam negeri ini telah sepenuhnya diperuntukkan kepada segenp bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Kebebasan yang dimaksud tentu bukan tanpa nilai, akan tetapi justru sebuah kebebasan yang tidak merenggut hak kebebasaan lainnya.

Sebagai bangsa yang berkeadaban, tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam membangun tatanan birokrasi sebagai instrumen keberlangsungan laju roda kepemerintahan yang telah berhasil meraih kemerdekaan. Butuh beberapa tahapan yang dilakukan dalam menyusun pijakan hidup   yang sekiranya mampu mewadahi dan menaungi semua kalangan, agama dan  suku-budaya, tanpa ada diskriminasi. Hal in dipandang penting mengingat keterlibatan semua golongan di negeri ini dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

Langkah konkret yang kemudian dilakukan adalah penyusunan dasar hukum negara. Dalam hal ini Ir. Soekarno mencanangkan beberapa konsep yang ditawarkan dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 dihadiri oleh kurang lebih 33 perwakilan rakyat dari berbagai daerah dan kalangan dan dipimpin oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat. Tentu tidak selesai di sini, BPUPKI membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan konsep yang di sidang sebelumnya tidak menemukan titik terang terkait bagaimana karakter dan identitas kebangsaan yang harus dilekatkan kepada negara yang memiliki ribuan gugusan pulau ini. Terdiri dari sembilan orang, diantarannya Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin.

Panitia yang terdiri dari sembilan orang ini ditugaskan untuk memperjelas rumusan dasar negara yang berpedoman pada pidato Ir. Soekarno beberapa waktu silam saat sidang BPUPKI. Hingga pada gilirannya disusunlah teks proklamasi yang pada tanggal 17 Agustus 1945 akan dibacakan oleh Ir. Soekarno. Cikal bakal inilah yang melahirkan poin-poin mendasar yang oleh segenap bangsa Indonesia dijadikan sebagai ideologi kebangsaan.

Dasar negara yang mengadung nilai substansi tinggi tersebut terangkum dalam lima poin, diantaranya: 1) Ketuhana Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berawal dari itulah negara ini memiliki ruh. Sendi-sendiri kehidupan semuanya dikendalikan oleh Pancasila. Keberadaan Pancasila itu sendiri selalu senafas dengan perihal apapun berkaitan dengan kehidupan dan mampu menaungi segala macam bentuk perbedaan yang ada. Bahkan yang semula terdapat banyak perbedaan, oleh Pancasila mampu dipertemukan dalam harakah nasionalisme. Sejak era berdirinya negeri ini, sampai reformasi, Pancasila selalu menyelamatkan bangsa dari perpecahan. Apapun senjata atau isu yang digunakan untuk menyerang keutuhan NKRI ini, Pancasila telah dipercaya mampu menyelesaikan itu semua. Termasuk dalam hal SARA, konflik suku, dan sebagainya. Inilah Pancasila, dasar negara kita, yang sampai kapanpun akan terus menahkodai negara ini agar mampu mendahului negara-negara lainnya dan maju.

Pendidikan sebagai  Wujud Lain dari Pancasila

Negara yang maju ditandai dengan karakter bangsanya yang progressif. Karakter progressif yang dimaksud adalah bukan hanya  persoalan mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan kemudian bisa mengaktualisasikan kemajuan itu dalam bakat pribadi yang layak jual, seperti youtubers, pakar tekhnologi, dan sebagainya. Tetapi juga tetap mampu mempertahankan identitas bangsanya sebagai kelompok yang terus menjaga persatuan, kebersamaan dan toleransi di tengah kondisi masyarakatnya yang majemuk. Hal ini dapat diwujudkan bilamana seseorang mampu memahami Pancasila dan diwujudkan dalam sebuah tindakan.

Hampir semua masyarakat memiliki keinginan untuk maju dan berkembang menjadi pribadi sosial yang lebih baik. Keinginan tersebut seringkali diupayakan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah melalui kegiatan pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu cara yang dipilih untuk meraih kemajuan (mode of getting forward). Dengan cara memberdayakan para anggota masyarakat tersebut agar memiliki mutu kapasitas dan kapabilitas diri sesuai yang diharapkan. Misalnya masyarakat Sparta era Yunani Kuno melalui pendidikan menginginkan warga negaranya memiliki mutu diri berupa kepribadian satria, sedang masyarakat Athena menginginkan warga negaranya memiliki mutu diri berupa kecerdasan. Mutu kapasitas dan kapabilitas diri oleh MJ. Langeveld diistilahkan sebagai kedewasaan. Oleh karena itu pendidikan dapat dipahami sebagai serangkaian upaya masyarakat dalam rangka mewujudkan kualitas anggota-anggotanya agar dapat menjadi manusia dewasa.  

Di sinilah pentingnya negara, bagaimana mampu mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam dasar negara, Pancasila, dalam dunia pendidikan. Segala macam bentuk perangkat aturan dibuat untuk mendidik anak bangsa dengan bernafaskan Pancasila. Spiritualitas adalah hal pertama yang dikenalkan dan diajarkan sebagai dasar ilmu pengetahuan, agar ilmu pengetahuan yang dikembangkan tetap dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, hingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

1.    Ketuhanan Yang Maha Esa

Meyakini adanya kekuatan transenden (dzat yang paling kuat dan tidak tertandingi) telah menjadikan manusia Indonesia sebagai entitas hamba yang tidak bisa terlepas dari kekuatan itu. Namun kekuatan dalam konteks ini bukan sebagai satu ruang kejumudan yang menjerumuskan manusia semakin lemah, tetapi akan semakin membuat manusia itu lebih baik. Karenanya ancaman dan siksaan pasti menimpa manusia bilamana mencoba untuk melangkahi kuasa dzat transenden itu. Sebaliknya, jika patuh dan yakin bahwa dengan menghamba pada yang dzat transenden itu akan menjadikannya sebagai manusia yang lebih bai dan beuntung karena mendapatkan pahala atau ganjaran. Inilah Tuhan, Allah SWT berdasarkan keyakinan umat Islam.

Unsur agama tidak bisa dilepaskan dari peradaban bangsa Indonesia. Bahkan, negeri ini bisa berdiri tentu berawal dari spirit keagamaan yang dipadukan dengan spirit nasionalisme. Tentu pendidikan yang ditujukan untuk mengubah pribadi seseorang menjadi lebih baik tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat agama, Tuhan. Karena segala macam bentuk proses yang dilakukan dalam aplikasi pengajaran ilmu pengetahuan, ritual dalam agama menentukan keberkahan yang tidak lagi bisa dilogikakan. Tetapi jelas keberadaanya.

Dengan menanamkan dasar yang kuat ilmu pengetahuan keagamaan, tentu dalam sektor kehidupan yang lain akan mudah dilalui dan jauh dari kemungkinan terjadinya pelanggaran norma yang ada. Kesemuanya itu bisa sangat mungkin terjadi karena cara berpikir anak bangsa lebih bijaksana dan lebih bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

2.    Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Allah SWT menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi, kita tentu sudah pada tahu semua. Sebagai makhluq-Nya tentu manusialah yang paling sempurna dari makhluq-makhluq-Nya yang lain. Akal untuk berpikir dan hati untuk merasakan, Allah SWT memberikan hanya kepada manusia. Karenanya, saling menjaga martabat dan keadaban manusia juga sama halnya dengan mentaati Allah SWT, karena telah menghargai ciptaan-Nya. Bagaimanapun manusia haruslah tetp dimanusiakan. Sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri sebagai manusia. Amal ibadah seseorang tidak akan sempurna jika mengabaikan kepedulian pada sesama.

Mari sejenak kita singkap tabir substansi pendidikan. Maka yang akan kita temukan adalah kemanusiaan. Mengapa? Bapak Pendidikan Nasional (Ki Hajar Dewantara) telah sejak awal menyampaikan bahkan pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Menuntut ilmu menjadi satu keharusan bagi siapapun tanpa terkecuali. Tidak peduli keturuna siapa, tidak peduli kekayaannya seberapa, tidak peduli kekuatannya sebesar apa, haruslah tetap menuntut ilmu. Melalui pendidikan, setiap orang akan semakin sadar bahwa dengan Maha Besar-Nya, seorang manusia sebagai pelaku utama atas tumbuh-kembangnya peradaban dan kebudayaan, mampu diciptakan oleh Allah SWT. Maka pasti, keimanan manusia akan semakin bertambah.

3.    Persatuan Indonesia

Sejak tahun 1920-an, para tokoh penyangga negeri ini sudah membincangkan tentang bentuk negara ini yang akan mampu menaungi semuanya dan terus berkelanjutan. Para tojoh nasionalis selalu menekankan bagaimana negara ini bisa terbentuk dengan karakter yang terus memnetingkan dan mengutamakan kebersamaan, kolektivisme, prinsip kekeluargaan dan gotong-royong ketimbang individualisme, intelektualisme, materialisme dan demokrasi parlementer ala Barat. Termasuk Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasioanal ini yang sekaligus nasionalis selalu menekankan hal tersebut, sama halnya dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.

Jika mengacu pada pendapat tokoh-tokoh di atas, senada dengan substansi pendidikan. Sejatinya, pendidikan memang untuk semua. Siapa saja dari golongan apa saja, agama apapun tetaplah berhak mendapatkan pendidikan. Supaya nanti, di generasi bangsanya tertanam pemahaman bahwa kebersamaan dan persatuan adalah hal yang utama. Mereka yang berpendidikan tentu selalu ingin bersama, kaya ya kaya bersama, pintar ya pintar bersama, bisa ya bisa bersama, paham ya paham bersama dan seterusnya. Bukan malah hanya mementingkan kepentingan pribadi (individualistik), yang penting paham sendiri, tidak peduli apakah di sekitarnya juga paham atau tidak, tidak peduli dengan yang disekitarnya bahwa juga ingin sama.  

Pendidikan juga bukan ajang untuk mencapai kepentingan pragmatis atau sesaat. Tetapi justru pendidikan berkepentingan jangka panjang, untuk menjadikan siapapun sebagai manusia seutuhnya. Sangat disayangkan bilamana kita sakisikan realita yang ada, mindsett yang tertanam dalam pemahaman kebanyakan orang, bahwa pendidikan untuk dapat pekerjaan layak, punya mobil banyak, sehari-hari makan di restoran dengan menggunakan kendaraan mobil mewah. Padahal di sekitarnya masih banyak fakir miskin yang butuh sentuhan pendidikan.

Sisi lain dari potret pendidikan ini tentu erat kaitannya dengan pengaruh kapitalisasi yang merasuk ke semua lini, termasuk pendidikan. Dimana telah meracuni pola pikir manusia bahwa pendidikan hanya untuk kepentingan sesaat dan dunia saja. Hingga mereka cenderung individualistik dan materialistik. Ini adalah tugas kita bersama, bagaimana mengembalikan entitas pendidikan ke garis awalnya sebagai media untuk memperbaiki pribadi menjadi manusia berilmu yang nantinya di hadapan Allah SWT akan mendapatkan kemuliaan yang tidak bisa ditukar dengan uang.

4.    Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan

Sistem demokrasi menjadi pilihan terbaik yang diterapkan untuk menjalankan roda kepemerintahan di republik yang majemuk ini. Regulasi kebijakan yang selama ini dipakai bersama melalui konsep dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena semua elemen yang ada di negara ini, baik yang berupa instansi atau lainnya memang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Bahkan rakyat di posisikan sebagai poros perputaran roda kepemimpinan di wilayah tertentu. Jika mendapatkan kepercayaan dari rakyat untuk memimpin dan memegang amanah, maka berhaklah ia untuk menduduki jabatan yang diinginkan oleh rakyatnya sendiri.

Jika pemdidikan selama ini telah dipercaya sebagai salah satu cara untuk menjadikan manusia lebih baik, tentu karena memang pendidikan juga berwujud sebagai mata rantai yang saling membutuhkan satu sama lain. Yang mengelola pendidikan adalah mereka yang sudah terdidik. Nah mereka bisa mengelola pendidikan dan juga bisa mendidik karena memang dulunya berawal dari tidak terdidik kemudian ia dididik hingga  bisa menjadi pendidik.

5.    Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Telah lazim kita ketahui, bahwa falsafah dari keadilan itu adalah pemenuhan hak yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Bukan pemenuhan hak yang sama. Apalagi jika keadilan ini kita tarik pada konteks sosial secara umum dan pendidikan secara khusus. Adil tidaklah selalu sama. Tetapi disesuiakan dengan kebutuhan.

Indonesia adalah negara maritim dan agraris. Gugusan pulau-pulaunya membentang dari pulau Sumatera sampai Papua. Tentu kebutuhan pendidikannya tidaklah sama. Sehingga perlakuannya pun tidak sama pula. Harus lebih diintensifkan di daerah yang marginal, pelosok dan minimnya sarana-prasarana. Ditinjau dari ini tentu kebutuhannya sudah tidaklah sama. Jauh lebih membutuhkan pelayanan di daerah yang terpinggirkan itu. Meski yang kita saksikan hari ini justru malah terbalik. Daerah perkotaan sistem dan pengontrolan pelaksanaan pendidikannya lebih dijangkau ketimbang yang berada di pulau terpencil atau daerah terpencil lainnya. Hingga terjadilah ketimpangan sosial dalam bidang pendidikan.

Secara lebih substansial, melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap individu sebagaimana ia menghadapi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara selektif adalah inti dari Falsafah Pancasila dalam Perspektif Pendidikan.

Referensi
1.    Arif Rohman, 2012. Kebijakan Pendidikan: Analisis Dinamika Formulasi dan Implementasi. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
2.    Andree Feillard, 2017. NU vis-a-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna di Tengah Prahara. Yogyakarta: BasaBasi.
3.    Jejen Musfah, 2015. Manajemen Pendidikan: Teori, Kebijakan dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group

(Tulisan ini dibuat sebagai bahan Diskusi Fakultatif Rayon Khalid Mawardi PMII Komisariat Guluk-Guluk)

*Ahmad Rizal, kelahiran Republik Pulau Raas  Sumenep, Madura.  Saat ini sedang menempuh Pendidikan Pascasarjana  di Universitas  Maulana Malik Ibrahim Malang, Fakultas  Ekonomi Bisnis Islam. Beberapa karyanya  pernah di muat media online dan cetak. Penulis bisa dihubungi melalui Penulis Rulis, Aktif di PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Di lembaga Nulis  Negerikertas. santrishopies@gmail.com


Pilihan

Tulisan terkait

Utama 2883409974042552422

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close