Puja Rindu
Cerpen: Ahmad Rizal
“Sudahlah Mas, pergi saja kau dari sini, ini semua gara-gara kita”, suara itu lirih dengan isakan tangis yang membuatku hatiku semakin jatuh. Di depan kuburan yang baru saja bergema doa-doa panjang. Perempuan usia dua puluh Dua tahun ini menangis membanjir diwajah cantiknya. Seolah hanya duka berselimut di sekujur tubuhnya. Aku hanya bisa memasrahkan seluruh diri kepada yang berhak memberikan nyawa. Sendiri pula ditambah menjadikan sepiku bertambah akut. Dia yang kurindui telah mematikan diri dengan kata-kata tajam. Oh Tuhan, aku semakin gila !
Dia perempuan yang aku cintai, cantik parasnya, bibirnya merah merona tanpa pelapis sekalipun. Dia perempuan yang membuatku tenggelam dalam kata halusnya. Pun manis ketika tersenyum simpul kecil, memikat siapapun yang melihatnya, ah aku terlalu gila untuk mencintainya. Dia sempurna ciptaan Tuhan, menurutku dia segala kebahagian yang Tuhan ciptakan untukku, pecinta manusia seperti dia. Tak dapat lagi kuaksarakan kata-kata yang memancing hatiku untuk mencintainya. Dia anugerah Tuhan paling sempurna yang kuketahui keberadaanya di bumi. Bahkan lebih cantik dari bidadari yang kupercayai di dunia dongeng.
***
Aku melihatnya tersenyum mengarah padaku, iya hanya padaku. Sudah hampir setengah hari aku tak menemuinya, karena kewajibanku yang tak kunjung reda. Aku dijerat masa penulisan tesis yang membuat semua akttiftas terhenti sejenak, iya, untuk kelulusanku agar segera menyelesaikan pendidikan program S2. Mata sayuku menyapa binar mata bening yang dari tadi memancarkan kebahagiaan. Iya dia mungkin berbahagia karena melihatku, calon imamnya. Segera kurapikan diri dan beranjak untuk menemuinya. Tetap tegakkan diri, kembali ke dunia nyata. “Hey kamu. Gimana kuliahnya, Dek?” kataku membuka sapaan hangat untuknya.
“Alhamdulillah dosennya absen semua Mas”, katanya dengan senyum lebar, ah parasnya semakin cantik ketika tersenyum seperti itu.
Aku dengan heran dan agak sedikit bergeleng kepala menjawab “seneng ya Dek? Ehem, yaudah ayok ikut Mas bentar. Mau?”, kataku mengajanya pergi.
Kali pertama aku jatuh hati pada seseorang. Iya, hanya dia calon makmumku, Zahra Syafira. Dia perempuan pertamaku yang akan menjadi pendamping nanti. Kali jumpa aku terpukau dengan matanya, menampilkan kebahagiaan utuh sebagai seorang wanita. Parasnya tak kalah dengan hatinya. Dia calon guru biologi yang sedang berjuang pada semester tujuh ini, jarak dua tahun denganku. Jantungku berdegup terlalu kencang ketika bersamanya, serasa ada aliran darah lain yang menguncang setiap detakannya. Tuhan, saat itu aku tak ingin dihukum cinta yang memerdekakan rasa. Tertegun dibuatnya, salah satu alasannya. Jika dia adalah kebahagian yang tuhan ciptakan untukku tak kan kupalingkan siapa pun untuk memilikinya.
“Mas, pantai ini indah bukan, sebentar lagi senja akan menghias pula”, katanya lirih.
Aku termenung mendengar dia berbicara seperti itu. Yang kurasakan hanya guncangan degub jantungku yang tak pernah tertapa rapi.
“Aku ingin menikmat senja bersamamu Mas”, sambil menyandarkan kepalanya dipundakku, lantas kulihat dia tersenyum dan menutup mata.
Tuhan apa lagi yang dia buat hingga aku lupa bagaimana mengatur degub jantungku. Dia ingin menikmati senja bersamaku, boleh ku artikan sebagai menikmati masa bersamanya sampai Tuhan menjemput nyawa kita? Ah aku terlalu berlebih, atau memang pikiranku yang kacau dibuatnya. “Mas mau Dek, menikmati senja bersamamu, asalkan kamu di dekat Mas, apapun akan terasa indah”, kataku mencoba menata perkataan yang terlihat kacau.
Dia penikmat senja dengan segala jingganya. Sedangkan aku adalah penikmat apapun, asalkan bersama dengannya. Semua yang tak indah, akan terasa indah jika bersamanya. Menikmati senyum dibibirnya saja sudah membuatku cukup bahagia. Apalagi duduk bersama bercerita tentang kita yang dibicarakan masa depan, adalah momen yang paling ditunggu, nanti dimasa depan. Aku sungguh tenggelam diwajahnya, ku lihat dia merebahkan semuanya di pundakku. Sekali lagi, aku ingin menjaganya Tuhan. Sampai nafasku berakhir, aku rela ! perempuan ini yang aku tunggu dimasa depan.
Langit semakin menjinga, awan tipis juga nampak menjingga dihadapan mentari yang semakin ingin tenggelam di batas kota perantauan. Kini bias jingga juga menyebar di sekujur tubuh laut yang tenang, ombaknya tak terlalu besar dan membuat angin semakin syahdu mengusap wajah kami yang sedang dimadukasih. Aku hanya diam bersamanya, menutup mata sembari merasakan hembusan angin, sekali-kali kita melihat indahnya senja berkedip untuk menikmati kuasaNya.
“Aku sudah lelah untuk merindumu Dek, sakit!”, kataku memandangi wajahnya. Dia hanya tersenyum ke arahku. Tuhan, dia cantik sekali, jika seperti ini aku tak akan kuat menahan rasaku untuk tak melihatnya lagi. “Mas, rindu itu seperti kewajiban kita bukan? Aku rindu kamu itu suatu kepastian yang tak usah kau tanyakan. Aku percaya kamu juga pasti merinduku, dan pastikan juga Mas. Yang kurindui juga cuma kamu. Lantas bagaimana kita melawan rindu. Cukup kita langitkan dengan doa mas”, katanya panjang lebar. Ah aku selalu tersenyum sumringah dihatiku saja. Haru aku dibuat olehnya. Kita sekarang jarang bertatap muka. Dihantam kesibukan berbagai macam kegiatan kuliah maupun organisasi. Rindu sudah menjadi candu yang tak mungkin bagi kita untuk lenyapkan begitu saja.
Sepanjang jalan malam ini bersamanya, kuantarkan dia ke kost tempat ia menegur mimpi. Sapuan angin malam tak membuat wajahnya berubah sedikitpun, rasa bahagiaku bertemu dengannya dan kita nikmati bersama. Kita kan jumpa lagi setelah kita benar-benar dipersatukan oleh takdir Tuhan. Dia akan pergi jauh untuk melaksanakan tugas KKN. Sayang selamat berjuang, satu pintaku untukmu, jaga selalu hatimu, biarlah rindu bergelanyut mesra diingatan kita, abadi. Kita tak ada sekat apapun, yang ada kita bersama dengan rasa sama, menjalin cinta yang abadi pula.
***
Arah jarum jam menunjuk tengah malam dan hatiku tak tenang tak mendapat balasan sedikitpun dari dia yang kurindukan. Hatiku bimbang, gundah gulana, tak seperti biasanya aku dibuat sekhawatir ini dengan dia. Kata sayang dan rindu yang sering ku lihat di ponselku, tak sedikitpun kubaca, bahkan suaranya hari ini tak sempat kudengar, bahkan tak jelas, mungkin terlihat samar saja. Beberapa kali kuberpesan tapi tak ada sekalipun balasan. Apa ini tuhan, jangan buat resahku semakin bertambah. Sudah beberapa kali kutenangkan tapi sama sekali tak ada ketengan dalam hatiku. Layar laptopku sudah aku tutup rapat-rapat, dan akhirnya aku tertidur pulas di meja pengerjaan dunia tesisku.
Sinar mentari mulai menyela dibalik jendela yang menyela ruangnya untuk dimasuki. Ahh apa ini, kenapa pagi cepat sekali muncul . kuerakkan badanku yang mulai terasa pegal, bagaimana tak pegal jika tidurku semalam duduk tanpa membaringkan badan. Oh Tuhan apa kabar gadis cantikku? Kubuka ponsel yang sedari tadi malam tak ada jawaban. Ternyata ada satu pesan, ah bukan dari dia yang kucari.
Sampai siang kubiarkan ponselku tak kusentuh sekalipun, yang ada difikirku, mungkin dia sibuk mengerjakan tugas-tugas di desa tempat ia mengabdikan diri. Tak kusangka senja sudah mampir dengan jingganya yang mempesona, dibalik jendela terlukis kemewahan senja, membahana, bertabrak dengan awan pula. Ah Tuhan, aku rindu dia utuh. Kulihat dia membalas pesanku “Maaf ya Mas, lama ! Jika mawar milikmu diinginkan orang lain. Apakah kau rela Mas?”. Aku semkain bingung dengan kata-kata yang dia ketikan. Mawar milikku? Apakah yang ia maksudkan? Apakah itu berarti dirinya? Apakah dia diinginkan orang lain? Apa maksudnya. Tuhan tolong jangan ganggu aku seperti ini. Jangan buat resahku bertambah bimbang dan kecewa bergelanyut.
Dari seberang ku telfon dia, terdengar halus suaranya. Terdengar kerumunan orang seperti ada acara besar saja. Dengan tegas dia menjawab telfonku “Nanti akan kujelaskan detailnya Mas. Maaf ya, disini agak sibuk. Kututup dulu telfonnya.”. lantas suara tak lagi terdengar dari ponsel. Aku merebah diatas kasur empuk persegi panjang itu. Ah ingin kutepis semua yang kurasakan sekarang. Berpositif dia sibuk dalam pengabdian masyarakat.
Tepat tengah malam, dia menelfonku, kali ini bukan panggilan suara. Tapi panggilan video, ah sungguh aku rindu melihatnya. Aku sumringah tapi dia hanya terlihat senyum kecil saja, sudahlah mungkinn dia lelah. “Mas, aku ingin berbicara tegas padamu, jangan sakit dan kumohon kamu juga memaafkan aku”, katanya, tapi kulihat wajah cantiknya meneteskan air mata. Ada apa ini, aku bertanya-tanya. Dia menjelaskan, bahwa dia sudah bertunangan dengan laki-laki yang dijodohkan orang tuanya. Diia tidak bisa menolak keinginan orang tuanya dengan anggapan, orang tuanya akan kecewa dan mungkin akan menjadi berontak tetap memaksa.
Tuhan apa ini, bolehkah aku mengadu untuk meneteskan air mataku, menumpahkan seluruh rasa kecewaku, aku sakit Tuhan. Melihat cincin pertunangan yang ia kenakan, cantik memang, tapi sakit untuk kulihat dengan mataku. Tuhan, bolehkan aku menjerit sekuat-kuatnya. Bolehkah aku memberikan tinjuan pada laki-laki yang ingin meminangnya. Aku harus apa Tuhan, aku tak berdaya. Jelas penjelasannya, kuakhiri dengan menutup telfonnya. Aku tak berharap lagi, tak berdaya untuk sekedar menanggapi perkataan, sekaligus pemutusan tentang cinta yang kita bina. Kandas, begitu saja hanya gegara orang tua. Perlangsungan pernikahan hanya sekitar sebulan dari sekarang. Ah tuhan, tak habis pikirku untuk sampai pada pemikirannya. Ah, ini terlalu sakit Tuhan.
***
Berhari aku seperti tak ingin melihat siapapun wanita dibumi ini, aku jelas kecewa dengan dia, iya dia yang senyumnya mengalihkan dunia. Parasnya yang mengalirkan air susu ditelaga surge. Ah apa ini Tuhan, semua seolah bisa beracun yang siap membunuhku. Siap menembus hatiku utuh ! Tuhan inikah patah hati ! aku tak kuasa Tuhan menafsirkan semua ini. Berhari-hari hanya kopi yang menemani hari, tak berdaya, seperti tak beguna sedikitpun. Juga kamu yang menghubungiku tapi tak kuanggap sekalipun. Kamu yang setiap hari beralih mengirimiku pesan maaf daripada pesan sayang dan cinta. Tuhan, apa ini? Rinduku berpuncak, tapi sadar aku bukan pemilik sejatinya rindu untuknya
Tuhan, Bolehkah sekali saja aku bertemu dengannya, serta ingin kubicarakan seluruhnya padanya? Bolehkah Tuhan?
Hariku berujung kacau, hampir mendekati masa pengantin yang dilayangkan padaku. “Dek, aku ingin bertemu kamu. Bolehkah aku menemuimu? Aku hanya ingin sekedar memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Aku akan datang ke halaman rumahmu. Aku ingin mengakhiri rinduku” pesanku yang terkirim beberapa detik yang lalu, tanpa kusadari. Dengan segera ada jawaban dari pesanku, “Tak usah kesini Mas, cukup restu darimu saja. Doakan aku. Maafkan aku Mas. Aku tak bisa memelukmu lagi. Andai kubisa mengubah dia menjadi kamu. Aku rela. Tapi apa dayaku. Sudahlah akhiri seperti ini saja Mas”, katanya panjang menuntaskan semua maslah hatiku.
Aku bersikukuh ingin menemuinya, aku ingin menuntaskan rinduku terhadapnya. Mengakhiri setiap senyum yang masih terbayang diotakku, masih menikmati setiap hembusan kenangan senja bersamanya. Masih menikmati beribu jalan untuk kembali keingatan tentang dia paras cantik kekasihku, yang ingin dimiliki orang lain. Aku ingin rindu ini berkesudahan, tetapi kenapa sesulit ini meredamnya Tuhan. Apa salahku untuk mencintai dia sesakit ini, kau tak kuasa mendendangkan kesedihan berlebih. Tapi ini hatiku yang ingin kutumpahkan.
***
Tiba dihari pernikahannya, aku datang dirumahnya degan nekat, tanpa diketahui olehnya. Rencanaku yang masih mengikat adalah membatalkan perikahan. Tak sampai mataku jauh memandang, kulihaat sepasang suami istri duduk bersanding, serta memandang satu sama lain dengan penuh cinta, apakah itu suatu kepura-puraannya memainkan drama atau tidak? Aku tak tahu, jelas kulihat mereka sangat serasi, kudengar laki-laki itu penghafal al-Qur’an. Ah pantas saja lebih memilihnya darppiada aku, Bunga mawar yang ditujukan untuknya jatuh, berisi surat kecil isi tentang hatiku
“Hai kamu, senjaku yang terakhir. Aku masih Rindu kamu Dek ! aku bersepi menikmati Rindu. Kamu iya kan? Maafkan aku masih merindumu. Kamu tetap jadi senjaku yang terakhir. Ingat aku menunggumu !
Pengagum Setiamu J”
Bucket bunga itu jatuh dan aku tak tahu siapa yang kan memungutnya. Aku tak pernah tahu lagi. Sejak saat akad itu dilangsungkan kau pergi tanpa mengulurkan tangan pada pengantin baru itu. Juga dia tak akan pernah melihat keberadaanku. Oh Tuhan, jelas kau masih merindukannya. Rencanaku gagal dengan sendirinya, hatiku tak mengikhlaskan sedikitpun !
Kulihat ponselku bordering “Mas, kamu kenapa mengirimku seperti ini. Untung aku yang menemukan. Terimaksih sudah hadir meski aku tak melihatmu, akan sakit jika melihatmu juga. Maaf Mas, aku sekarang milik orang lain. Semoga kamu mendapat kebahagiaan lain selian aku !” ah rasanya seperti dihujam badai Tuhan ini sakit !
Kuputuskan untuk di daerah asalnya selama seminggu, aku ingin bertemu dengannya titik ! setiap waktu aku mengiriminya pesan rindu dan sayang, entah cuma sekedar dibaca. Aku tak tahu, akupun juga tak takut jika suaminya tahu tentang hubungan kita. Biarkan saja, aku tak bisa menghapusnya dari ingatanku. Mungkin dia juga bersembunyi ketika melihat pesan yang masuk di ponselnya. Entahlah kau menjadi gila ! iya aku memang gila untuk tetap mencintainya ! Ah Tuhan aku tak kuasa menghapus semua yang ada pada dirinya, yang masih membayang ditubuhku.
Tepat pada seminggu,, hari terakhir aku ditanah kelahirannya, dia membalas pesanku dan ingin mengajakku berjumpa. Tanpa fikir panjang kau langsung mengiyakan dan bergegas untuk menemuinya. Sesampainya, kulihat wajahnya, sembari melirik poselnya, lantas tersenyum padaku, mungkin agak berbeda dari senyumnya. Tapi cukup membuatku jatuh hati keberapa kali !
“Aku Rindu, bolehkah aku memelukmu Dek?” kataku menatap matanya dalam-dalam memohon. Tegas sekali tukas senyumnya, menawan memang. Belum sempat dia berucap dari seberang jalan terdapat ramai sekali orang berlalu lalang, dan mendorong tubuh kami, ada apa dengan hari ini. Kulihat perempuan yang ada disampingku sudah tiada lagi, dia juga berlari pada kerumunan di jalan raya. Ah Tuhan, ternyata ada seorang pria yang penuh darah disekujur tubuhnya. Tapi mengapa wanita yang kucintai menangis tersedu memeluk lelaki itu. Seolah dunia yang ia pijaki saat ini tak sedikitpun ia hiraukan, termasuk aku yang tetap berdiri. Ah, apa ini ! tangisnya mengalahkan rasa yang selama ini kupendam untuknya. Tak pernah kulihat dia seduka itu melihat wajah orang yang ia cintai terluka, bahkan tiada lagi di bumi. Ah Tuhan, ternyata dia adalah suami dari Zahra Syafira, kekasihku yang diperistri laki-laki lain.
Wanita itu memangis pada laki-laki yang ia peluk, sambil berkata maaf beribu maaf. Air matanya tak henti mengalir dipipinya, tak hentinya dia menenangkan diri dengan sekedar membaca bacaan untuk Rabbnya. Tuhan, aku terketuk. Ternyata dia mencintainya dengan sangat. Tapi laki-laki itu sudah meninggal, dan perjalanan dibawa ke rumah untuk dikuburkan. Aku atk ikut dengan mereka yang membawa pergi mayatnya. Bagaimana ini Tuhan? Apakah aku punya kesempatan lagi?
***
Sepanjang perjalanan menuju makam aku tertegun melihat Zahra, iya tak henti meneteskann air mata. Ia tak henti menyesalkan seluruhnya, tergambar sudah seluruh kesedihan, kedukaannya. Aku tak kuasa melihat adegan ini. Apakah ini salahku Tuhan?
Duh Sayang, maafkan aku yang membuatkan luka semakin dalam !
“Maaf Mas, sudahlah buang saja Rindumu, aku tetap tak merindumu. Ini terakhir kita jumpa. Maaf atas segalanya ya. Aku yang duluan memulai salah”, katanya lirih penuh air mata. Aku pergi Kasih !
*****
*Ahmad Rizal, kelahiran Republik Pulau Raas Sumenep, Madura. Saat ini sedang menempuh Pendidikan Pascasarjana di Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang, Fakultas Ekonomi Bisnis Islam Beberapa karyanya pernah di muat media online dan cetak. Penulis bisa di hubungi melalui Surel, Negerikertas, Nolesa.
Pilihan