Suatu Hari di Lapas Porong
Amang Mawardi (kanan) bersama rekan kerjanya
Amang Mawardi
Saya rasa setiap orang yang beranjak dewasa --apalagi yang sudah senja usia-- senantiasa punya niat untuk membalas budi setiap kebaikan yang telah diberikan "orang lain" terhadap dirinya. Apalagi jika menyangkut seseorang yang boleh dibilang sebagai sahabat.
Ada salah satu sahabat yang dalam episode perjalanan hidupnya "terpeleset" dan mengharuskan mendiami tempat yang disediakan hukum.
Sudah hampir setahun saya terobsesi ingin sekali menjenguk sahabat --- teman se-angkatan (1975) kuliah saya itu. Tapi tidak tahu bagaimana cara merealisasikannya.
(Pernah juga saya terobsesi kepada orang nomor 3 di pemerintahan Kota Surabaya yang kesandung masalah hukum, akhirnya menghuni salah satu Lapas. Beberapa judul buku karya saya telah menjadi koleksinya.
Kepada sahabat saya yang 15 tahun sebelum kejadian itu anggota DPRD Surabaya, keinginan untuk menjenguk pejabat tersebut saya utarakan, ternyata tidak bisa membantu. Yang saya tangkap dari gesture dan kalimatnya, mungkin takut disangkut-pautkan. Oke, saya paham).
Entah lantaran usia yang makin senja (tahun ini saya 70 tahun), atau tersebab lain, saya makin kehilangan daya gas pol untuk mengeksekusi keinginan mengunjungi teman satu angkatan itu yang juga (salah satu) tokoh pers di Jawa Timur.
Senin, 13 September lalu, sebuah pesan masuk ke nomor WA saya, dari Arifin BeHa (ABH) teman se-koresponden di ranah jurnalistik. Isinya : Mas Amang saya Rabu akan menjenguk (ABH menyebut nama yang saya maksudkan di atas). Jika tidak repot Anda saya jemput jam 9 (pagi), setelah itu kita jemput Mas Syaiful Irwan (SI).
ABH pernah berkarier di Pos Kota dan Surya. Sedangkan SI di Surabaya Post. Kedua rumah sahabat ini sekira 6-7 kali sepelemparan batu (dalam arti sebenarnya) dari rumah saya. Bedanya, rumah ABH arah ke barat dari rumah saya, sementara kediaman SI arah ke timur.
Mungkin ABH sudah membaca keinginan saya yang pernah dibicarakan oleh sejumlah teman di WAG Alumni, yang info tentang itu saya peroleh dari Mas Edi Soetedjo kakak dua angkatan di atas saya yang begitu aktif di WAG tersebut.
Entah karena ke-"gabut"-an yang ada di benak saya, Lapas Kelas I Surabaya yang pindahan dari Kalisosok ini pada bayangan saya berada di tengah kota, atau setidaknya di tepi jalan provinsi meski di pinggiran kota.
Kenyataannya di kawasan "pedesaan" dan perkampungan yang arahnya sebelah barat jalan tol Surabaya - Malang.
Setelah meliak-liuk belok kanan - belok kiri, sampailah kami pada kawasan khas penjara: tembok tinggi dengan menara pengawas di sudut-sudut tampak depan.
Halaman depan Lapas dekat got cukup rindang. Tumbuh berjejer dengan teratur (sepertinya asem londo). Sedangkan di dekat jalan raya seberang Lapas yang hadap barat itu, ada sebidang tanah ditumbuhi pepohonan jauh lebih tinggi dibanding asam londo tadi, luasnya mungkin sekitar setengah hektar. Di situlah mobil-mobil pembezuk diparkir.
Berbeda dengan bangunan LP Kalisosok yang menyeramkan, Lapas Porong terlihat ramah, kendati kesan sebagai rumah penjara tetap tak bisa dihilangkan, antara lain ditandai adanya pintu di dalam pintu besar (gerbang) di titik sentra bagian depan bangunan.
Setelah bertanya ke dua petugas piket yang ada di sisi kiri gerbang, kami disarankan untuk melapor ke semacam pos pelayanan masyarakat (posyanma) yang ada di sisi kanan gerbang lapas. Sepertinya lepas dari bangunan induk.
Seorang karyawan Lapas muda ganteng, melayani kami dengan ramah. Kami dimintai KTP. Setelah itu dicatat di komputer.
Setelah itu pada selembar 'form' tercetak nama Arifin Budi Hariono (nama lengkap ABH) dengan dua pengikut (saya dan Syaiful Irwan/SI).
Proses pengurusan di "posyanma" relatif singkat, lantas kami melapor lagi ke dua petugas tadi, selanjutnya meletakkan HP kami di loker.
Setelah itu kami menuju pintu kecil di gerbang tersebut. Lantas kepada seorang petugas --lagi-lagi berwajah ramah-- kami menunjukkan 'form' tadi dan KTP-2 kami. Petugas itu lantas menunjuk arah kanan, kami pun melewati satu pintu. Di situ oleh seorang petugas lain, masing-masing lengan kanan kami distempel. (Hehe..jadi ingat Dufan).
'Paper bag' berisi oleh-oleh yang dibawa ABH diperintahkan petugas dengan ramah untuk diletakkan di 'belt conveyor', lantas berjalan melewati pemindai. Kami berjalan memutar (mirip leter U) untuk mengambil 'paper bag' tadi (yang di petugas "posyanma" sudah diperiksa). Setelah itu KTP-2 kami diminta oleh petugas lain di situ, diganti dengan gantungan keplek bernomor. Saya masih hapal nomor saya: 194.
Setelah itu kami diperintahkan dengan ramah menuju pintu keluar dari bangunan gerbang. Dekat situ dalam posisi saya berjalan pelan, sekilas saya lihat kotak kaca tembus pandang sedikit lebih kecil dari kaleng kerupuk. Sepertiga volume kotak kaca tersebut berisi HP. Lagi-lagi saya disekap ke-"gabut"-an saya. Dalam benak saya, HP-2 itu milik pengunjung yang ketinggalan, seperti saya bayangkan kartu-2 BPJS atau kartu berobat yang ketinggalan di salah satu konter rumah sakit.
Ternyata setelah saya dekati, di bagian bawah kotak kaca tersebut ada tulisan: HP Sitaan. Mungkin milik pengunjung yang nekat tidak dititipkan di loker dekat petugas piket tadi.
Setelah melewati pintu keluar gerbang menuju dalam, tampaklah tembok kokoh di depan kami. Posisi kami mirip dalam stadion dimana terdapat jalan semacam lintasan atletik. Bedanya, setelah lintasan atletik adalah lapangan sepakbola, di sini di seberang jalan itu adalah tembok empat persegi panjang, cukup luas. Artinya adalah tembok dalam tembok. Di balik tembok di depan kami inti bangunan Lapas ini: Blok-blok!
Saat saya buka google, luas bangunan Lapas Porong 900 meter persegi menempati lahan seluas 2.794 meter persegi.
Seorang pemuda usia 25-an tahun berseragam T-Shirt kombinasi warna merah kuning biru yang bagian punggung tertulis "Tamping" (tahanan pendamping) menyongsong kami, dan langsung membawa 'paper bag' yang sebelumnya dicangking ABH. Pemuda sigap, lincah, ramah ini --- dalam posisi siap membantu, termasuk menjawab pertanyaan sambil berjalan ke arah utara.
Kurang dari semenit, sampailah kami pada ruang beratap tak bertembok. Di situ terdapat lebih kurang 10 kios. Oo..rupanya Pujasera.
Di depan kios2 tersebut terhampar sejumlah meja pendek dengan sejumlah karpet plastik. Ini Pujasera model lesehan.
Para 'peladen' semuanya mengenakan kaos persis pemuda 25-an tadi.
Kami dipersilakan duduk di karpet. Mula-2 kami memilih yang dekat jalan "lintasan atletis" itu, tapi kemudian sepakat pindah ke bagian pojok karena kami pikir karpet dan meja lebih besar.
Mas Tamping tadi minta izin untuk nyeberang sambil membawa 'form' semacam izin masuk dan 'paper bag'.
Di seberang terdapat meja dengan beberapa petugas dekat pintu masuk ke blok-2 yang ada di balik tembok kokoh itu.
Setelah berbicara sebentar dengan petugas di situ, Mas Tamping tadi masuk.
Sekitar 5 menit, muncul lagi sambil memberi info kalau sahabat kami yang "terpeleset ke ranjau hukum" itu tidak bisa menemui karena sedang sakit, berada di Blok G. Ada 4 orang yang sedang dirawat di poliklinik yang Blok G itu.
ABH coba meyakinkan ke tamping tadi, bahwa dia adalah Arifin BH. Sebab di 'form' tercetak nama Arifin Budi Hariono. Nama ini mungkin dirasa tidak dikenal oleh sahabat kami itu. Mas Tamping tadi balik lagi.
Tak lama kemudian muncul tamping lain, kali ini bertubuh tinggi atletis. Dengan sopan menjelaskan bahwa sahabat saya tersebut tidak bisa menemui. Masih dalam perawatan dokter. Kami masih tidak menyerah. Lantas saya mengeluarkan Kartu PWI saya yang sudah lama kadaluwarsa. Saya serahkan ke Mas Tamping yang wajahnya mengingatkan saya pada aktor Abimana, hanya ini terkesan lebih tinggi.
Mas Tamping asal Arudam yang ramah ini lantas kembali lagi dengan membawa kabar yang sama. Kami sempat ngobrol sebentar. Usianya 40 tahun, "kena" 15 tahun. Empat tahun lagi bebas.
Begitulah, siang itu takdir berjalan demikian.
Oia, tentang kabar bahwa di Lapas Kelas I Surabaya yang ada di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo ini, banyak terjadi pungutan, itu sama sekali tidak betul. Kalau pun saya memberi uang rokok ke Mas-mas Tamping tadi, itu karena benar-benar lantaran rasa ihlas. Kasihan. Dan saya rasa itu manusiawi. Tak ada paksaan.
Hanya, saat kami bertanya berapa untuk segelas kopi pahit, segelas teh tanpa gula, dan se-cup jus mangga. Mas di situ menjawab: "enam puluh lima ribu, pak. Sama tempatnya".
Setelah saya bayar. Baru saya mikir: sama tempatnya? Apa untuk duduk lesehan kami bertiga ini, harus nyewa?
Jangan-jangan saya yang salah dengar. Eladalah, rupanya ke-budeg-an telinga saya sudah demikian parah? Padahal dua "abd" (alat bantu dengar) di dua lubang telinga saya sudah terpasang dengan sempurna.
Persis pukul 12.00, saya masuk rumah. Saat menggeletakkan diri di kamar, layar HP saya amati. Ada beberapa pesan masuk. Tak satupun pesan dari (calon) sponsor rencana 'launching' dua buku saya.
Eh, tapi nanti dulu. Ada nomor tak dikenal masuk. Segera saya buka. Ternyata dari putra sahabat kami yang tadi gagal kami temui. Intinya mohon maaf karena Ayahandanya tak bisa menemui karena tak diizinkan dokter. "Mohon maaf sekali lagi, Pak Amang..." Saya jawab kurang lebihnya: Gpp, Mas. Semoga Ayahanda cepat sembuh.
Kok tahu nomor saya?