Dari Pameran Seni Rupa “Dunapeh”


Sebuah catatan kecil: Hidayat Raharja*

Dunia seni rupa memiliki ruang kreativitas begitu luas, sebagai wujud representasi dari bentangan kreativitas yang berkembang secara dinamis. Seni rupa sebagai ranah seni tidak hanya sekadar matra ( dimensi), namun lebih jauh ia membawa pesan, muatan yang harus disampaikan. Baik berupa pesan yang berangkat dari realitas kehidupan dengan berbagai problematiknya, ataupun berasal dari sebuah ruang khayalan dan imajinasi yang melampaui batas-batas kemungkinan.

Hendrik K, Mamang, Kuntet D, Jayadi, Agus K. Lima perupa Sampang membuka ruang khayal mereka dalam pameran di Space Warkop Rahwana dari tanggal 23 Juni sampai dengan 23 Juli 2023. Selain kelima orang yang teoah disebutkan dipamerkan pula lukisan-lukisan karya Arie Ahong dan Hayat koleksi Kafe Rahwana. Pameran ini mengangkat tema “Dunapeh” akronim dari Dunia Penuh kHayal. Mereka memajang karyanya di ruang Kafe yang tak begitu luas berhadapan langsung dengan pengunjung yang duduk menikmati sajian minuman. “Dunapeh” dalam bahasa Madura mengandung konotasi cuwek, tak acuh, remeh. Namun kehadiran mereka dalam pameran kali ini cukup menarik dan patut dicatat sebagai perjalanan seni rupa di kota Sampang.

Khayalan oleh bebrapa pakar psikologi dikatakan bahwa berkhayal merupakan proses berfikir yang lebih bersifat ke arah kognitif dan bersifat future (masa depan), mereka-reka kejadian yang ada dalam pikiran. Berkhayal berandai-andai, sementara kalau imajinasi dapat diartikan seseorang mampu mengeksplor lebih jauh apa yang dilakukan. Berandai-andai, jika, adalah suatu kemungkinan-kemungkinan yang akan menjadi kenyataan di waktu yang lain.

Bagi teman-teman perupa Sampang khayalan menjadi titik tumpu untuk memasuki ruang kreatifitas yang mereka tampung dalam pameran Seni Rupa “Dunapeh” di ruang kafe Rahwana. Di dinding yang membentang dari arah barat ke timur 39 lukisan terpampang dengan berbagai ukuran dan media. ada lima lukisan yang terbuat dari kanvas berukuran besar di antara lainnya. Sebagian lagi menggunakan media kanvas berukuran kecil dilakukan Hendri R Sidik dan Kuntet D, Sementara Agus K dan Jayadi menggunakan kertas serta salah satu pelukis Mamang memanfaatkan media kayu telanan dan kanvas berbentuk bundar.

Memasuki ruang kafe “Rahwana”, saya berhadapan dengan lukisan yang berjajar dari ujung ke ujung dinding. Khayalan saya bertatapan dengan visual yang terlihat muram dan menegangkan. Tarikan garis dan ornamen membentuk obyek yang redup.

Hendri R Sidik dengan kekuatan ornamen garis seperti mengajak kita untuk memasuki relung garis dan warna yang gelap dan mencekam. Warna yang mengajak untuk merenung dan memaknai garis dan bentuk dan dituntun oleh judul membawa kita ke dunia batin yang melenguh. Renungan ini semakin kuat ketika membaca judul lukisannya mengajak kita merenung lebih dalam ke dalam diri dengan warna biru, hitam dan ungu yang terasa berat dan mencekam. Tarikan garis Hendri seperti jalinan yang membentuk aneka mata obyek seperti menatap, bergerak, berputar dan berhenti pada satu titik di bagian pusat. Tarikan garis seperti jalinan zikir yang tumbuh dan saling melapisi membentuk sebuah dengung yang terus bergetar dan berulang. Tak ada garis yang terputus dari ujung ke ujung seperti jalaninan yang memintal pujian dalam diri.

Agus K dengan dua lukisan dekoratifnya dengan warna-warna cerah menyala seperti menikam dalam tatapan. “Cakra” salah satu lukisannya dengan garis-garis geomeris bentuk lingkaran dan segitiga dan di tengahnya serangga dengan sepasang sayap membentang. Bila menelusuri dari kata Cakra dalam bahasa sanskerta berarti Roda bisa mengacu kepada roda yang berputar, juga bisa berhubungan dengan roda kehidupan. Jalinan garis yang melingkar berpadu dengan bentuk segitiga dan persegi yang saling beririsan dan kemudian diblocking dengan warna-warna cerah. Paduan warna yang mengambarkan keanekaan dalam hidup.

Ada tiga lukisan di kanvas kecil terasa jenaka dengan warna –warna cerah karya Kuntet D seperti menjadi penerang dari lukisan yang lain. Warna mencolok berbeda dari karya yang lain dengan bentuk karikatur yang ditampilkan. Sebuah candaan bahwa hidup memang tidak harus selalu serius dan menagangkan, namun perlu gelak tawa untuk menjaga keseimbangan hidup yang selalu dinamis.

Tiga di antara perupa yang hadir dalam pameran “Dunapeh”, kehadiran mereka merupakan geliat Seni Rupa di Sampang dan ini penanda yang kedua setelah tahun lalu juga pameran di kafe yang berbeda. Penanda, sebuah pusaran kecil yang terus bergerak melingkar dan menjadi magnet dan mengharuskan siapa saja untuk mendekat dan melihatnya.

Kehidupan seni rupa di Sampang terus tumbuh, dan kafe jadi salah satu ruang alternatif menyediakan space untuk pameran karya. Ruang yang mencoba mengakomodir perkembangan seni rupa di Sampang. Sebuah perkembangan yang memungkinkan seni rupa tumbuh mewarnai dinamika peradaban kota. Ruang eksplorasi yang terus bergerak, karena sebelumnya KPS (Kelomp Perupa Sampang) pameran di tengah hutan saat pandemi covid 19 menghantam kehidupan kita.

Ketika gedung kesenian Sampang dijadikan posko covid 19 sampai saat ini belum kembali meski pandemi telah reda. Perupa Sampang tak berhenti bergerak, mereka terus mencari ruang-ruang alternatif di aula Poltera, Gedung Dekranasda, dan berbagai kemungkinan yang lain. Kafe telah memberikan ruang bagi paerupa sampang untuk menandai pertumbuhan dan perkembangan seni rupa. Kenapa kafe? ya ini amat menarik bagi saya karena efek dari pameran ini bukan hanya menyatakan sebuah representasi perupa, namun di baliknya mengandung nilai edukasi bagi pengunjung kafe yang berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di masa yang akan datang.


Pertama, kemandirian dan kreativitas teman perupa Sampang patut diapresiasi dan harus menjadi catatan pemerintah kabupaten Sampang, bahwa para perupa Sampang tidak pernah menyerah pada keterbatasan ruang kesenian. Mereka membuka ruang baru di kafe. Pameran sekaligus memberikan edukasi bagi kaum muda yang nongkrong di kafe. Ruang bukan sekedar minum dan makan tetapi memberikan ruang edukasi secara visual, yang berikan tawaran bagi mereka untuk sejenak melepaskan tatapan ke dinding yang terpampang puluhan lukisan.

Kedua, kemajuan pembangunan kebudayaan ditandai makin ramahnya ruang publik untuk mengakomodir geliat kreativitas kaum muda. Kafe yang selama ini jadi panggung musik anak-anak muda di kota Sampang semakin meluas dan berkembang. Kafe bukan sekedar tempat minum dan nyanyi-nyanyi tapi gerakan kaum muda telah mengalihkannya sebagai ruang edukasi yang fleksibel. Beberapa tahun yang lalu komonitas Masyarakat Stinggil memanfaatkan kafe sebagai ruang untuk bedah buku dan diskusi. Tahun ini Masyarakat Stingghil memanfaatkan ruang kafe tempat “Aming-Roming” untuk membicarakan kreatifitas penciptaan lagu Madura yang plagiat. Ruang yang asyik dan semakin terbuka untuk membangun edukasi pengetahuan tentang dunia seni, setelah kita banyak kehilangan ruang untuk bersama.

Ketiga, bagaimana pemerintah menyikapi perkembangan seni rupa dan bentuk kesenian lainnya dari kaum muda? Perkembangan kreativitas kaum muda butuh ruang dan butuh diapresiasi. Ruang ini telah bergerak pada berbagai aktivitas dan kreativitas pemuda di Sampang, mulai dari Festipang, Road Race, Pestas Musik, sampai diskusi anak-anak muda yang menelusuri artefak di Sampang untuk mengenalkannya kepada anak-anak muda sekaligus pemahaman pentingnya cagar budaya harus diselamatkan untuk kepentingan sejarah kota Sampang sendiri.

Ruang publik yang nyaman telah mengubah alun-alun Tronojoyo sebagai ruang publik yang berfungsi pula sebagai ruang rekreasi dan pemicu berkembanganya usaha kecil dan menengah untuk mengembangkan ekonomi kreatifnya sehingga alun-alun menjadi pusat perputaran uang di tengah kota.

Penanda bahwa kota ini ramah terhadap penghuninya dengan menyedikan space bagi mereka untuk berolahraga, berinteraksi dan sekaligus menghibur diri. Amat disayangkan jika perkembangan kota ini belum mengakomodir terhadap perkembangan seni budayanya karena tidak adanya ruang pertunjukan atau ruang pameran yang representatif untuk memajang karya-karya kreatif dalam bidang seni, khususnya perkembangan seni rupa dan teater.

*guru, tinggal di Sampang

Sumber akun FB Hidayat Raharja

Pilihan

Tulisan terkait

Utama 1382177453726071028

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Daftar Isi

Loading....

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >

Pesan Buku

Pesan Buku

 Serpihan Puisi “Sampai Ambang Senja” merupakan buku kumpulan puisi Lilik Rosida Irmawati, penerbit Rumah Literasi Sumenep (2024).  Buku ini berjumlah 96 halaman, dengan pengantar Hidayat Raharja serta dilengkapi testimoni sejumlah penyair Indonesia.  Yang berminat, silakan kontak HP/WA 087805533567, 087860250200, dengan harga cuma Rp. 50.000,- , tentu bila kirim via paket selain ongkir.

Relaksasi


 

Jadwal Sholat

item
close