Batal Haji
Cerpen Joe Mawar*
Setiap tahun Khabir selalu menghadapi kendala untuk berangkat ke Tanah Suci dalam rangka menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam yang kelima. Kendala-kendala itu tentu saja selalu di luar perkiraannya. Dan pada akhirnya ia kembali gagal berangkat naik haji karena memilih untuk menghadapi dan menyelesaikan kendala-kendala itu.
Empat tahun yang lalu, Khabir sudah menetapkan akan berangkat naik haji. Tapi saat ia hendak menyetor pembayaran dana hajinya, gedung sekolah di desanya tiba-tiba roboh karena angin puting beliung. Otomatis Khabir membatalkan niat naik hajinya dan mengalihkan dana yang disiapkan untuk haji itu untuk memperbaiki gedung sekolah yang rusak. Menurut pikirannya saat itu, biarlah ia menunda naik haji, asalkan gedung sekolah itu dapat diperbaiki. Karena jika menunggu bantuan pemerintah masih memakan waktu lama dan proses pembelajaran anak didik di desanya akan tersendat dengan rusaknya gedung tempat mereka belajar.
Tahun berikutnya, ketika ada rezeki lagi dan cukup untuk sangu ibadah haji, ia pun meniatkan kembali menyetor dana hajinya. Tapi, lagi-lagi ada kendala. Kali ini, tetangga sebelah rumah yang sudah lama mengabdi pada keluarganya membutuhkan bantuan untuk biaya operasi transplantasi ginjal. Sebagian uang yang sudah disiapkan untuk dana haji itu ia pinjamkan. Ia kembali gagal naik haji karena dananya tak cukup untuk ongkos naik haji.
Khabir sudah sering mendapatkan saran agar segera naik haji dan mengabaikan hal-hal yang selalu mengganjalnya itu.
”Sampean itu akan semakin sempurna jika sudah berhaji. Apalagi sampean ditokohkan oleh masyarakat karena kedermawanan sampean. Jika suatu saat sampean memberikan wejangan tentang ibadah haji, masyarakat yang mendengarnya akan merasa mantap karena sampean sudah berhaji. Lha, bagaimana Anda meyakinkan orang ketika bercerita tentang hikmah haji kalau Anda belum pernah berhaji?” Kata salah satu temannya.
Khabir bukan bermaksud menunda-nunda ibadahnya. Tetapi, ia selalu berhadapan dengan kendala yang membuatnya memilih kendala itu karena dipandangnya lebih mendesak daripada naik hajinya. Naik haji biarlah kapan-kapan, Allah pasti akan memberinya kesempatan itu kalau ia tak berhenti berdoa, begitu pikirnya.
Dan, tahun ketiga kegagalannya naik haji, ia pun tak merasa sayang pada uangnya ketika memilih untuk menyalurkan dana yang sudah diniatkan untuk ongkos haji itu dipergunakan untuk menutupi biaya operasi mata sang ibu. Baginya, kesehatan ibunya jauh lebih penting daripada ibadah haji yang ingin dilaksanakannya.
Tahun kemarin, Khabir sudah yakin dirinya akan naik haji. Beberapa bulan sebelum musim haji, ia sudah menyiapkan ongkos naik haji dan berniat untuk segera menyetornya. Dan ia berhasil menyetor ongkos naik hajinya itu setelah tiga tahun tertunda. Kali ini ia merasa yakin dengan niat keberangkatannya. Istrinya pun senantiasa berdoa agar setidaknya kendala dan halangan apa pun tidak ada sebelum mereka pulang dari Tanah Suci.
Khabir sama sekali tidak menyangka bahwa sehari sebelum keberangkatannya ke Tanah Suci, sang istri tercinta yang selalu mendukungnya itu meninggal dunia karena serangan jantung. Dan ia merasa tak bisa begitu saja berangkat dalam keadaan sangat berkabung itu. Maka, batal lagilah keberangkatannya tahun itu.
Dalam munajat-munajatnya, Khabir bertanya-tanya pada Tuhan, mengapa setiap kali niat ibadahnya hampir terlaksana, selalu saja ada kendala? Adakah Tuhan sengaja menguji kesabarannya atau justru Tuhan memang ingin menunjukkan bahwa Tuhan belum mengizinkan dirinya menjadi seorang haji sehingga setiap tahun ia mengalami batal haji? Skenario Tuhan yang kun fayakun ini memang tidak membuatnya putus asa untuk terus berdoa agar diberi kesempatan berangkat haji meski dari tahun ke tahun selalu batal.
Khabir merenungi niatnya naik haji. Selama bertahun-tahun ini tak sedikit pun tebersit dalam pikirannya bahwa ia berniat haji untuk meningkatkan status sosial. Niat hajinya bukan untuk kepentingan politik atau sekadar untuk mempergagah namanya dengan gelar haji di depannya. Niat hajinya benar-benar adalah sebuah kerinduan akan rumah Allah yang agung, yang sejak zaman nenek moyang telah menjadi tempat beribadah paling dirindukan oleh seluruh umat Islam sedunia.
Khabir mengingat-ingat kembali kendala-kendala yang muncul setiap tahun setiap kali ia akan berangkat haji dan akhirnya batal. Apakah nantinya ia akan naik haji ketika semua orang sudah bolak-balik berhaji dan hampir semua temannya menjadi seorang haji? Apakah ia akan diberikan kesempatan berhaji oleh Allah ketika hampir menyentuh akhir kehidupannya? Ataukah hingga ajal tiba ia akan tetap batal berhaji lantaran kendala-kendala itu hadir setiap kali menjelang keberangkatannya ke tanah suci? Tapi, Khabir tak berputus asa. Khabir hanya bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa Allah memilihnya untuk berhadapan dengan kendala-kendala itu. Apakah yang dirahasiakan Allah untuknya?
Khabir kembali batal berhaji tahun ini. Desanya mengalami paceklik. Masyarakat dalam lingkungannya mengalami kerugian besar dalam pertanian. Mereka berhadapan dengan ancaman kelaparan semipermanen. Sebab, mereka tidak dapat memastikan kapan paceklik ini akan berakhir.
Ladang-ladang kering tak dapat ditanami apa pun. Pohon-pohon seperti mati suri. Hidup tapi tak mampu menjadi sumber penghidupan. Sebagian masyarakat pergi merantau ke tanah seberang. Dan tak sedikit yang berangkat ke luar negeri sebagai tenaga kerja yang entah kapan akan dapat kembali pulang pada keluarga.
Khabir merasa tak tega melihat keadaan masyarakatnya yang demikian terpuruk. Untuk makan saja mereka amat susah mendapatkannya. Mereka tak punya persiapan dalam menghadapi musim paceklik yang tak terduga ini.
Maka, lagi-lagi Khabir membatalkan rencana hajinya tahun ini. Dana yang telah diyakininya untuk berangkat haji tahun ini dialokasikan untuk membantu sebagian besar masyarakat yang kelaparan dan mati pencahariannya itu. Khabir yakin, jika istrinya masih hidup, maka ia pun tak akan keberatan dengan keputusannya ini.
Untuk apa berhaji jika di sekelilingnya mengalami kelaparan dan tak seorang pun yang bersedia mengulurkan tangan? Menunggu pemerintah mengulurkan tugasnya dalam mengentaskan kemiskinan? Warga negara yang miskin dan kelaparan bukan hanya di desanya, tetapi demikian banyak. Kalau semua digantungkan pada pemerintah, apa gunanya orang-orang seperti dirinya yang berkemampuan dari segi harta? Bukankah dirinya pun memiliki kewajiban untuk mengangkat sesama manusia dari kemiskinan tanpa menunggu waktu atau menunggu dirinya menjadi bagian dari pemerintah?
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Khabir membatalkan daftar hajinya tahun ini dan menggunakan hampir semua dana yang dipersiapkan untuk berhaji itu untuk membantu masyarakat sekelilingnya dari kesulitan kelaparan. Khabir yakin Allah tidak akan memurkainya lantaran selalu membatalkan pelaksanaan ibadah hajinya dari tahun ke tahun. Kalau takdir tak akan ke mana. Mungkin suatu hari nanti, entah musim haji tahun kapan.
Jika selama bertahun-tahun ini anaknya tak pernah ikut campur dengan keputusannya, kali ini tidak demikian. Setengah menyalahkan, anak perempuannya itu mengeluh.
”Bapak selalu lebih peduli pada kebutuhan orang lain daripada kebutuhan diri sendiri. Jika Bapak mau, sebenarnya Bapak bisa berangkat tahun ini dan mengabaikan keadaan untuk sementara waktu. Toh nanti sepulang haji Bapak masih bisa membantu masyarakat? Kalau ditunda terus, lama-lama Bapak batal haji terus dan akhirnya tidak berangkat sampai kapan pun.”
Khabir menghela napas. Dalam hati ia ingat sebuah wejangan salah satu ayat suci. Harta benda dan anak-anakmu adalah perhiasan, adalah cobaan bagimu. Maka, berhati-hatilah terhadap kedua hal itu.
Benarlah. Kekayaannya selama ini menjadi ujian bagi dirinya. Dan kali ini ia berhadapan dengan ganggu gugat anaknya sendiri lantaran untuk ke sekian kali ia membatalkan hajinya. Kali ini demi mengentaskan masyarakatnya dari keterpurukan musim paceklik.
Khabir memilih untuk tidak mendebat putri tunggalnya itu. Biarlah anakku berpikir dengan kebijakan jiwanya dan usianya yang mungkin belum sampai pada yang kupikirkan dan kurenungkan. Bukankah semuda itu belum dapat membaca ayat-ayat Tuhan dalam kehidupan yang amat rahasia ini?
Ketika musim kepulangan haji, Khabir merasa turut bergembira melihat berita di televisi. Orang-orang yang telah pulang dari rumah Tuhan yang suci. Orang-orang yang diantar malaikat rahmat hingga ke gerbang rumahnya yang penuh berkah ibadah haji.
Khabir meneteskan air matanya. Sama sekali ia tak kecil hati telah batal haji selama bertahun-tahun. Ia tetap yakin Allah akan memberinya kesempatan, yang entah kapan itu akan terus diyakininya dan dinantinya. Biarlah sementara ini ia memilih yang menurutnya lebih wajib untuk ia tunaikan daripada haji.
Bulan haji hampir berakhir. Setahun ke depan Khabir tak dapat menebak apa yang akan terjadi. Dari tahun ke tahun ia selalu memperoleh rezeki yang banyak dan selalu dapat ia sisihkan untuk ongkos haji.
Tak terasa, musim paceklik telah berminggu-minggu dilewati masyarakatnya. Untunglah lumbung padinya memiliki persediaan yang cukup. Lumbung padinya itu menjadi lumbung kehidupan tak hanya bagi keluarganya sendiri, tapi juga bagi sebagian tetangganya.
Setelah bulan haji hampir berakhir dan musim kepulangan jemaah haji tiba, anaknya tak lagi mengungkit masalah batal hajinya. Mungkin anaknya semakin mengerti pilihannya itu.
Khabir sedang menyelesaikan rakaat terakhir salat Asarnya ketika ia dengar anaknya berseru.
”Bapak…Bapak di mana?”
Begitu selesai salam, Khabir hanya membaca surah Al-Fatihah sebagai ganti doa yang ia tunda karena ingin menyahuti anaknya. Siang tadi anaknya pamit ziarah ke rumah temannya yang orang tuanya baru pulang dari Tanah Suci.
”Ada apa? Kamu sudah sebesar ini kalau memanggil Bapak tetap seheboh anak kecil.”
Anak perempuannya yang telah semester dua itu memeluknya. Khabir tak mengerti.
”Ada apa?”
Anaknya merenggangkan pelukan sayang itu dan meluncurlah cerita yang membuat Khabir tertegun takjub.
”Bapak teman saya itu, Pak, bercerita bahwa ia melaksanakan haji bersama-sama dengan Bapak di Tanah Suci. Melempar jumrah (1) bersama, bersai (2) bersama, selalu bersama-sama beribadah di Masjidilharam. Saya katakan bahwa Bapak batal haji lagi tahun ini, batal berangkat. Tapi, bapak teman saya itu tetap bersikukuh bahwa Bapak bersamanya selama di Tanah Suci. Bapak itu tak percaya yang saya katakan hingga saya pulang. Bapak…”
Khabir kembali didekap oleh anaknya. Dalam keadaan tertegun dengan linang air mata, Khabir seolah melihat sebuah tabir rahasia dibukakan untuknya. Rahasia Tuhan yang tetap saja begitu rahasia bagi dirinya. (*)
*****
*)Penyair dan penulis fiksi kelahiran Sumenep. Aktif menulis sejak masih usia sekolah. Novel pertamanya Lelaki Suci terbit 2021 dan sedang menunggu peluncuran novel keduanya, Bintang Jatuh di Hati Afnani. Tinggal di Dusun Blajud, Desa pengukir Karduluk, Pragaan, Sumenep.
(Tulisan ini telah terbit di Jawa Pos Radar Madura pada Senin, 8 Agustus 2022 )
Pilihan