Teguh Dalam Prinsip
https://www.rumahliterasi.org/2023/05/teguh-dalam-prinsip.html
Dalam suatu pertemuan reuni SMA di Surabaya., seorang teman bertanya kepada saya mengapa saya tidak mengikuti cara beberapa "ilmuwan" dan politisi yang suka "lompat pagar" dalam berpendapat dan berpolitik? Bukankah sering berubah haluan itu lebih menguntungkan dari segi posisi, jabatan dan kekayaan? Bahkan beberapa "ulama" juga sering berubah haluan politiknya.
Saya hanyalah ilmuwan kelas kacangan (dalam istilah Gus Dur) dan juga bukan politisi. Tapi saya menjawab pertanyaan teman tadi dengan mengatakan bahwa sering berubah haluan mengikuti arah angin politik atau dalam istilah kerennya opportunistik, bukanlah sifat saya sejak dulu. Tidak apa-apa saya hidup secukupnya daripada saya menyalahi hati nurani saya. Tidak apa pula saya disebut orang bodoh karena tidak pandai mengikuti arah angin. Saya lebih merasa lebih enak berpegang kepada prinsip politik yang saya yakini daripada melacurkan diri.
Sikap menca-mencle rasanya hanya akan membuat publik kebingungan dalam menentukan tokoh yang harus mereka panuti. Sering saya mendengar keluhan orang, betapa mereka menyesal karena terlanjur mendukung seorang tokoh atau sebuah parpol karena sebelumnya dia atau mereka tertarik terhadap prinsip politik tokoh tersebut dan terhadap ideologi partai tertentu. Sebab, ternyata pendirian politik tokoh tersebut kemudian berubah ketika ditawari jabatan yang menggiurkan oleh lawan politiknya, atau partai tertentu tiba-tiba mengubah ideologi partai demi jabatan tinggi bagi ketua partainya.
Kita memang sering kebingungan dan kecewa, misalnya ketika sebagian tokoh dan parpol yang semula menjadi oposisi pemerintah, lalu tiba-tiba bersedia menjadi pendukung pemerintah, tentu dengan imbalan janji manis dan jabatan bagi pimpinan partai tersebut. Akibatnya harapan sebagian pendukung tokoh dan partai oposisi tersebut menjadi musnah. Sebab mereka mendukung tokoh dan partai itu justru karena mengharap adanya oposisi terhadap pemerintah.
Memang pendirian politik para tokoh partai merupakan cermin kondisi dan kepribadian masyarakat. Artinya masyarakat yang bersifat pragmatis dan hanya mengejar fasilitas dan kesenangan pasti akan melahirkan pemimpin yang juga pragmatis sekaligus opportunis. Ini mirip dengan pendapat bahwa dari masyarakat yang kurang terdidik jangan berharap lahir pemimpin yang pandai.
Sikap opportunis tentu sangat merugikan bagi pertumbuhan demokrasi yang sehat. Sebab salah satu prinsip dalam demokrasi adalah adanya pengawasan dan keseimbangan (check and balance) dalam pemerintahan. Artinya semua pemerintahan harus mendapat pengawasan agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Ini membutuhkan adanya oposisi yang setara mutunya dengan pemerintah. Jika semua partai menjadi bagian pemerintah maka habislah kekuatan untuk melakukan koreksi.
Kalau demikian, siapa yang akan menjadi pembela rakyat apalagi jika pemerintah sering melanggar dan mencederai kepentingan publik? Tanpa oposisi yang kuat maka yang akan terjadi adalah kediktatoran meskipun kediktatoran tersebut dibungkus dalam baju demokrasi. Artinya suatu sistem politik bisa saja memiliki Trias Politikal (Legislatif, Eksekutif, Judikatif) tapi kalau kekuasaan eksekutif tidak terkontrol maka pemerintahan seperti itu sama saja dengan pemerintahan tanpa Legislatif dan judikatif alias diktator.
Harian Pelita, Rabu 11 Juli 2018.
(Sumber, buku: Nasè’ Jhâjhèn, Prof. H. Amir Santoso, M.Soc.,Ph.D
Pilihan