Idul Fitri dan Rusaknya Romantisme Masa Kecil
Anak-anak menuju majid untuk sholat ied di kampung |
NK Gapura ·
Kebiasaan masa kecil, yang bertahun-tahun kita ulang, kadang secara tidak sadar menjadi cara bersikap saat usia menginjak matang. Romantisme dan nostalgia yang diajarkan oleh usia, sering sekali menjadi karakter hidup untuk menghadapi segala tantangan dan perbedaan.
Dulu sekali, seperti dalam video-video pendek di Instagram, Facebook dan Twitter yang ramai akhir-akhir ini, saya adalah anak desa yang sangat gembira sekali mendengar takbiran Idul Fitri.
Saat malam hari, di dalam rumah gedek, saya suka sekali mencium aroma sandal jepit, sarung, dan baju yang baru. Sementara kopyah, sering sekali, adalah sisa tahun lalu.
Kegembiraan itu, yang saya jalani nyaris puluhan tahun, ternyata hanya melatih cara saya untuk sepenuh hati menerima kebahagiaan. Tidak melatih kemampuan saya menerima perbedaan.
Hari ini, saat ada beberapa masjid di dekat rumah menggelar takbiran, perasaan saya mendadak tidak tenang. Seperti ada kenyataan yang datang menyakiti, namun saya dipaksa untuk tetap tenang sepenuh hati.
Sebab, meskipun sudah terdengar kumandang takbiran, saya tetap harus menjaga puasa terakhir di bulan Ramadan. Jika perlu, saya harus nekat berpikir bahwa tidak pernah terjadi apa-apa. Idul Fitri tetaplah di depan mata.
Padahal sandal, sarung, dan baju yang saya beli, harumnya seperti terkurangi. Rasa bahagia dalam hati, seakan saja setengahnya telah pergi. Jika keesokan hari saya merayakan lebaran, malam takbiran terasa bukan lagi momen yang membahagiakan.
Kebahagiaan masa kecil, yang bertahun-tahun saya rasakan, seperti menjadi sandungan terberat untuk menerima perbedaan. Romantisme dan nostagia kala itu, seperti terus menyerang dan menggoyahkan ketenangan.
Hari ini, untuk mengurangi gelisahnya perasaan, saya meminta istri untuk menyetrika baju sederhana yang akan saya kenakan saat lebaran. Momen ini, bagi saya, paling tidak sebagai rayuan agar perasaan tidak perlu menyalahkan perbedaan takbiran yang di masa kecil nyaris tidak pernah saya dengarkan.
Menyetrika baju di pagi hari, tentu saja sambil lalu mendengarkan takbiran dari masjid di dekat rumah, adalah satu-satunya cara terbaik, sejauh ini, untuk terus belajar menerima perbedaan. Usia memang sudah tua. Tapi kenangan tak pernah senja.
Selamat menunaikan idul fitri kawan-kawan. Besok saya susul kebahagiaan kalian.
Ganding, 21 April 2023
Sumber tilisan NK Gapura