Sajak-sajak Fadila Famelia Nur Affi, Banyumas
Berlumur Ego
Ku tepis dinding cakrawala
Mendengar suara gemercik badai dan rintihan suara angin
Mengisyaratkan kepada bumi terdapat sebuah asa didalamnya
Pondasi bumi telah runtuh
Karena ego menggerogoti jiwa manusia yang tak ada habisnya
Ia melihat bumi dan menyaksikan manusia berbondong bondong meninggikan keegoisannya
Dan ia menjadi saksi atas penindasan penindasan yang menyanyat hati sesama manusia
Dunia menjadi hitam
Hati menjadi batu
Nurani menjadi kosong
Iba tak ada
Dan jiwa kemanusiaan telah padam dan membeku
Dunia kabut, mengisyaratkan bumi sedang tak baik baik saja
Tetapi tak sedikitpun nurani manusia yang bergerak
Bahkan rasa iba telah ditelan habis habis oleh ego
Yang ada hanyalah saling menikam dengan lisan yang tajam
Dan menatap sinis berbungkus tatap hina
Badai tak kunjung reda
Penderitaan tak kunjung usai
Bumi diterpa dengan penuh derita
Tempat teduh menjadi langka
Dan sudut sudut kota yang penuh kedamaian menjadi asing
Kaum mayoritas berbondong bondong menyelamatkan diri sendiri
Kaum minoritas merintih kesakitan
Sembari mengisyaratkan supaya ada yang tergerak untuk mengulurkan tangannya
Tetapi kaum mayoritas menutup telinga dan matanya seolah tak mendengar dan melihat apapun
Suara damai menjadi lirih
Kebisingan keji terdengar disetiap sudut perkataan manusia
Bahkan rasa euforia tak bisa dimiliki lagi oleh manusia
Yang tersisa hanyalah ego yang melekat
Lidah berduri menyelimuti diri manusia
Dan menghiasi tiap aksi yang terlontarkan
Lidah api menari nari mengelilingi penderitaan manusia
Tajam lidahnya melekat dan menjadi bak paling sempurna
Tak sadar bahwa itu bisa melukiskan tinta sejarah yang paling kejam
Wahai kaum manusia
Selimutilah dirimu dengan nurani dan iba
Agar kau tak terlantarkan
Dan tak terjatuh sendiri
Dan tak merasakan derita yang panjang
Supaya kelak ada yang menopangmu nanti
Dan melindungimu dari kencangnya angin dan lebatnya badai
Karena dunia tak abadi
Begitupun raga manusia
Sehangat Matahari
Perempuan itu berjiwa tegar
Meskipun ia letih
Tetapi ia tetap menampakkan cahaya
Meskipun di dalam jiwanya berlinang air mata
Tetapi ia tetap menampakkan betapa berserinya wajahnya
Itulah sosok perempuan berjiwa tegar yaitu ibu
Ia bagaikan lilin yang rela menerangi kegelapan
Meskipun ia tahu akan habis dan surut
Ia seperti rumah
Tempat berlindung dari dinginnya udara
Tempat berlindung dari panasnya terik matahari
Tempat berlindung dari kencangnya angin
Ia seperti bintang
Yang selalu menerangi disetiap malam
Hatinya selembut sutra
Selalu membuka pintu maaf untuk buah hatinya
Meskipun kadang kita melontarkan kata kata yang menusuk
Bahkan ia tetap memeluk kita dengan rasa tulusnya
Dan tetap menatap kita dengan penuh tawa
Seluas Alam Semesta
Ia adalah sosok seseorang.....
Yang selalu melindungiku dari terpaan badai
Ia adalah seorang lelaki yang penuh ketulusan tanpa cela
Ia adalah seorang lelaki yang menjagaku dari kabutnya angin
Seorang lelaki itu bernama ayah.....
Ia adalah sosok pelindung yang diciptakan oleh tuhan
Untuk menopang agar ku tak terjatuh ke dalam lubang jurang
Bahkan ketulusannya tak terbatas dan tak terhitung
Alam semesta bisa hancur kapan saja tanpa kita tahu
Karena dunia itu tak abadi
Tetapi ketulusan seorang ayah tak bisa hancur
Bahkan jika bumi di telan habis
Ketulusan seorang ayah tetap melekat dan abadi
Meskipun suaranya tak semerdu nyanyian ibu
Namun suaranya membingkaiku
Dan membawaku menuju lembah tinggi bernama kedamaian
Bahkan ia tak sedikitpun menunjukkan kegundahannya
Ia selalu membentuk tawa di wajahnya
Dan ia selalu melukis tawa di wajahku
Dan ia meredamkan semua rasa kecemasanku
Sekat Pulau
Teringat saat pertama
Di tempat saat aku memandangnya
Matanya yang begitu berbinar
Membuat diri ini kalap karena tatapnya
Hangat
Seperti rumah
Memberikan kenyamanan untuk tinggal
Bagaimana mungkin?
Bagaimana mungkin perasaan ini tergoyahkan oleh tatapnya?
Bagaimana mungkin hati ini bisa menolak?
Sungguh
Sekeras hati ini menolak, tetapi aku tidak bisa mengabaikannya
Waktu yang semakin membawaku dari hari ke hari
Telah mencair........
Bagaimana mungkin?
Menaruh sebuah hati dengan jarak yang jauh?
Bagaimana mungkin hati ini tak rindu jika ia kembali pada tempat asalnya?
Sedangkan aku?
Bagaimana mungkin aku bisa menebus rinduku jika ia pergi meninggalkan tempat yang aku tinggalkan?
Sebuah perasaan yang rumit
Yang tak bisa di hindari
Tak bisa pula untuk di manipulasi
Sebuah jarak memanglah sulit, tetapi apa daya jika jatuh hati padanya merupakan sebuah pilihan
Ku sebut namamu dalam doa’ku
Kau tahu?
Apa yang selalu ku ukir dalam setiap cerita yang ada pada bukuku?
Adalah namamu.
Kau tahu setiap kali aku menulis sajak siapa yang selalu terlintas?
Adalah wajahmu.
Setiap kali mengingat nama dan wajahmu, sontak udara yang sesak menjadi berhenti mendadak
Entah
Sosok ia yang aku kagumi
Tak disangka bisa mengukir senyum pada wajahku
Tak disangka bisa meluluhkan hati yang dingin ini
Meskipun terkadang terasa muram
Tetapi sosok ia yang aku kagumi telah membuatku menjadikaannya sebuah tujuan
Hati ini tahu kepada siapa aku harus berlabuh
Meskipun aku tak bisa mengenggamnya
Tetapi doa’ku mampu untuk mengenggamnya
Meskipun tak tahu doa’ku akan sampai atau tidak
Tetapi namanya telah ku sematkan sebagai tujuan