Sejumput Puisi Suhartatik: "Aku Bukan Penyair"
Sejak menjadi mahasiswa ia selalu aktif mengikuti lomba tulis, baik karya ilmiah tingkat kabupaten, regional dan nasional. Pernah dinobatkan sebagai finalis lomba KTI se-Jatim (2005), Juara III LKTI se-Kab. Sumenep (2006), Juara II LKTI se-Kab. Sumenep (2007). Pada tahun 2007 karyanya masuk nominasi ke-11 dari 25 naskah terbaik dalam Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Depdiknas Jakarta, dan tahun 2008 kembali mengikuti LMKS pada Program Khusus, tahun 2010 cerpennya masuk dalam Lomba Menulis Cerpen tingkat guru SMA/MA/SMK Negeri dan Swasta seluruh Indonesia oleh Depdiknas Jakarta.
Selain pernah terbit di beberapa media, puisinya juga terkumpul dalam buku antologi bersama, seperti Nemor Kara (Antologi puisi berbahasa Madura, 2006), dan Jhimat (Disbudparpora Sumenep 2015), Akar Rumput (2016), Perempuan Laut (Antologi puisi 10 penyair perempuan Madura, 2017), dan Lelaki yang Membanting Matanya (2017). Karyanya juga terangkum dalam Kitab Pentigraf 2 “Papan Iklan di Pintu Depan dan Cerita-cerita lainnya” (2018) , Kitab pentigraf 3 “ Laron-laron Kota (2019), Kitab Pentigraf 4 “Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau” (2020), dan Kitab Pentigraf edisi khusus “Seperjuta Milimeter dari Corona” (2020) diterbitkan oleh Kampung Pentigraf Indonesia.
Kesehariannya aktif melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan luaran yang diikutkan dalam kegiatan baik seminar, kongres, lokakarya yang dimuat dalam prosiding dan jurnal ilmiah nasional dan internasional.
Puisi-puisi dibawah dicuplik dari buku kumpulan puisinya Seteguk Kopi Emak (2020)
*****
Catatan Perempuanku: Aku Bukan Penyair
Aku bukan penyair,
aku tak pernah bisa membuat puisi
berkata manis puitis hingga romantis
kutahu hanya ada ironi, metafor, rima, irama
lewat sentilan-sentilan jari Tengsoe Tjahjono
saat kuumpamakan puisi dengan cemilan
ia pun mencubit lengan
Aku bukan penyair,
aku tak pernah bisa membuat puisi setajam pisau
meski Ibnu Hajar menghujamkan puisipuisi
dengan hentakan kata-kata pemanjat pohon siwalan.
Aku bukan penyair
meski kucuri kosa-kata manja Hidayat Raharja
dari ujung pensilnya saat menyetubuhi
hurup-hurup basah di bawah lantak meja.
Aku bukan penyair,
sekalipun talken koneng penyair Alfaizin Sanasren
menyibak kelambu gundah resahku
sebelum akhirnya aku tersungkur
membentur bebatuan tanpa lelah
babak belur terpukul sindiran M. Fauzi
kusadari tak ada luka yang sederhana
Aku bukan penyair
meski hati kerap terpelanting
dan menjadi reruntuhan cahaya Jamal D rahman
hingga serbuk-serbuk otakku bertebaran
Karena aku bukan penyair
kutitipkan sepotong rindu untuk Kanjeng Nabi Kuswaidi Syafi’i
kemudian aku terbang dengan berselendang sampèr
kudendangkan celurit emas D. Zawawi Imron
melewati kampung-kampung siwalan
tempat memuja segala cerita.
Sekali waktu kutimang patung matahari S. Yoga
di atas lèncak rumah bersama M Faizi
kesederhanaan kemapanan dan kematangan sang abdi semesta.
Aku bukan penyair
maka kurundukkan kepala di hadapan bâbulângan
Syaf Anton, kalbuku yang risau kubiarkan basah
dan kelu yang kerap menyergam kubiarkan beterbangan.
Aku bukan penyair...
aku tak bisa berpuisi tapi suka berpuisi
lantaran lewat penyair-penyair itu kusesap makna puisi
mencuci puisi, memasak puisi, tidur puisi,
jalan-jalan puisi, duduk puisi, doa-doa puisi
dan, dalam sujud aku pun berpuisi!
Ini bukan puisi
hanya cerita tentang mimpimimpi
yang merayap di dinding setengah jadi
Aku bukan penyair
meski sesekali aku bersyair
tentang daun-daun luluh, juga perjalanan hidupku tak berakhir.
Sumenep, 05 Juli 2016-17 Mei 2019
Hujan Ibu
Ibu
di tepian kerontang ladangku
wajahmu menjelma hujan
turun dari langit hatimu
Aku bergegas dan berteduh
di bawah rimbun putih rambut doamu
Kuhirup aroma melati dari kelopak matamu
hingga segala keluh dan rintihan tak lagi pilu.
Ibu
kau cakrawala di atas bumi nestapaku
sepasang matamu menjelma pijaran bintang-bintang
saat kujahit sobekan-sobekan kain jiwaku
dengan helai sarung sembahyangmu.
Ibu
aku tahu desahku adalah nyawamu
meresap menjadi bulir-bulir darah kirmizi
yang kuperas hingga tetesan kesedihan bening berkilau.
Ibu
biarkan kusesap udara nasihatmu
‘kan kujadikan ramuan penguatku mencari ilmu
izinkan aku mengubah jembatan lelahmu
sebagai sayap-sayap hingga kubisa terbang jauh
Ibu
hanya padamu aku mengadu
tentang selendangmu yang kubuat kelambu
Saronggi, 22 Desember
Hujan
Engkaulah hujan
deras bersama petir
memeluk pohon tumbang
Engkaulah hujan
sesekali rintikmu menjelma
lagu kesenduan
Saronggi, 2005
Seteguk Kopi Emak
Emak
masih jelas hitam cerita
kau baca di ujung lincak
tentang pekat kopi, aroma bumbu, apek cucian
yang menumpuk di sudut-sudut kisah
Emak
aku ingat ada jeda tak sempat dihirup
dalam seteguk hangat tuturmu
meski sudah kuseduh dan kusesap
serbuk-serbuk kisah
menyatu dalam denyut nadi.
Emak
meski garis takdirku melingkar-lingkar
menjelma api membakar kalbu
tapi pahit kopimu membuat risauku berdesau
dalam hangat seduhan doamu
Emak
lewat hitam kopimu pelan-pelan kubaca
lelehan keringatmu yang basahi tiap kata
juga airmata yang menyingkap abjad-abjad lusuh
kubasuh setumpuk peringkat,
secarik predikat dan sekepal pangkat dengan keringatmu, emak
karena kutahu, semua itu hanya sederet angka-angka
sementara serbuk-serbuk pekat kasih cintamu
kuat memikat ronta hidupku
Emak
di saat-saat seperti ini
ingin kuseduh kopi doamu
seteguk lagi
Saronggi, 22 Desember 2017
Kopi Pagi
Dalam ampas kopi kutemukan serpihan hati
kuseduh dengan ujung jariku sebelum kusajikan
dalam perjamuan hatiku dan hatimu
Kuhirup pahit tatapmu dengan bibir rinduku
hingga tak bersisa ampas di tepi bibirmu.
Sumenep, 2017
Perempuan Bertubuh Kopi
Seperti katamu, akulah pemuja kopi
meramu hitam perjumpaan dengan kopi hangat obrolan
Ceritamu berhamburan hingga ke semak-semak di tegalan
kopimu lebur di lintasan bibirku, katamu
Suaramu lebur dalam parau knalpot sepeda motor, jawabku.
Sumenep, 2016
Wanita Renta dan Perkasa
Wanita tua itu memanggul pria perkasa
dari atas bahunya, pria tua itu mengayunkan rotan
dan melecut punggung wanita yang memanggulnya.
Tar..tar..tar...
Wanita renta itu sesekali memandangi langit
memanggil angin kemudian menoleh ke arah beringin
tak perduli telapak kakinya tertusuk duri.
Pria perkasa dipanggulnya mengajak bercanda
tentang dahan beringin yang merentang jalan
tawa wanita meledak serasa terbahak
Ada burung gagak terpana, hinggap di bahu sebelahnya
wanita dan pria itu terdiam
selembar daun jatuh.
2000
Ada Cerita Saat Hujan Datang
Sambil bersandar di tepian ranjang
kunikmati irisan-irisan singkong
juga ceritamu tentang taman
ladang, dan ilalang yang digerogoti belalang.
Keheningan rebah, hanya derit ranjang
samar terdengar saat hingga ceritamu
meretaskan keringat dan basahi ladang kesunyianku
Aku pun tersenyum saat kau rangkai cerita lain
hingga aku terkesima dan menebak-nebak alur
kau hentakkan tempo penuturan
hingga menitikkan keringat kepasrahan.
Ketika ceritamu melesak ke tengah ladang
kau tak pedulikan bintik-bintik di keningku
semakin deras mengalir
“Kau terlalu sempurna untuk dicela,
lantaran engkau, aku merasa dipuja.”
Hujan mengabadikan cerita di jendela.
Kalianget, 2014
Ada Cermin di Wajahmu
Masih terbenamkah wajahku di pelupukmu
apakah kau mengantuk dalam perjumpaan
yang akan melantak?
Kurasakan kamarku di matamu
juga cermin yang menyatukan jarak
Oktober 2006