Sajak Adri Hidayatullah, dari Hujan di Secangkir Kopi sampai Lautan Rasa
Adri Hidayatullah, lahir di Sumenep, 25 April 2005, kelas XI SMAN 1 BATUAN Sumenep, tinggal di Perum Batu Kencana, Batuan, Sumenep. Bergabung dalam ekstra jurnalistik di sekolahnya.
Hujan di Secangkir Kopi
Rintik rintik itu belum tiba
nan jauh terdengar suara mengetik
Derap langkah ku menghulu
Pada gelanggang tempat dimana angan angan
yang tak jarang terselubung
Di ampas kopi, waktu itu.
Uap itu menyeruap ke langit langit
Berkelana,
Sambut imaji yang mengakar di pagi berembun
Di sanalah, hujan di secangkir kopi
Mengikat pada bait bait puisi.
Carok Itu Dalam Celurit Emas
Bingkai itu kubuka dalam kain kafan
Dan bingkai itu juga bernama jeruji bui
Jika itulah carok yang sebenarnya
Asahlah celurit emas di museum kakekku
Dihiasi senyuman ibu.
Carok dan celurit emas
Bukanlah perjanjian sebagimana pengantin
Di zaman Siti Nurbaya
Tetapi carok dan celurit emas
diawali dengan jabat hangat kemesraan
lalu bertarung satu lawan satu
Di situlah kakekku akan membuka kembali
Museum sejarah bertabur bunga
Saujana Lombang
Sampan sampan telah ditambatkan
Ombak datang pergi menjauh
Kerinjang kaki di bibir pantai
Melangkah gontai diantara karang.
Buih laut menyapu stigma tentangnya
Bakna belum sempat ku petik
Kerintil diksi pada cemara
Sejauh mata memandang
Kerling matanya,
Sayup sayup cinta
Ruang Kosong
Aku di sini
di ruang kosong gelap dan sunyi
duka hati masih menyelimuti
diri ini yang payah.
Untukku saat ini,
tempat hiburan bukanlah pelipur lara
pukulan itu masih membekas
membuat hati ini tak berdaya
untuk kembali pada dilema cinta
Dermaga
3 tahun kita berlayar
Bermuara di dermaga
Pada bentangan khatulistiwa
Bayang musim tlah luntur.
Celotehan di sudut kelas
Membawakan cerita sedikit jahat
Rangkulan berakhir lepas
Langkah kaki mulai hanyut.
Album dan siluet senja
Tersisa kejamnya realita
Ribuan hati menampakkan punggungnya
Seketika nestapa.
Awan kelabu dan semua kesannya
Tertutup oleh hari penuh bunga
Meskipun sedikit terpaksa
Tetapi fakta membuka mata.
Di atas dermaga ini
Jejak akan ditinggalkan
Masing masing pribadi,
Menentukan tujuan.
Sudikah
Jika dasar laut begitu gelapnya
Sudi kah berteduh pada bubungan bahuku.
Jika sunyinya malam tak kian mereda
Sudi kah sajak ini mendayu dayu.
Namun jika langit melintang biru
Sudi lah kiranya aku menghulu.
Biarkan, biarkan aku melepas bayangmu
Dan sisakan sedikit susahku
Untuk satu puisi yang t’lah berlalu.
Senja, Hulu ke Hilir
Ketika sebuah cinta
Berhulu pada senja dan menghilir kasih sayang
Mengucur deras kerinduan dalam ladang yang mulai gersang
Tentu untuk satu muara.
Ku temukan kesunyian
Bahkan dalam kebisingan
Ketika engkau mulai menggerutu
Di bawah bubungan langit senja
Begitu pekatnya bersama setiap benda yang ada disana
Sebukit rasa dan siluet ilalang yang belum tuntas berdansa
Serta kicauan kenari yang tiada henti menggema
Hanya itulah cara senja mengisi keheningan hati.
Engkau duduk bersenderkan pohon mangga
Sembari melipatkan kaki
Berhimpun dan bercanda ria
Dengan benda benda disana.
Lautan Rasa
Sejak rembulan berpulang, kasih
Pada langit senja
Sedumu yang terusap remang remang
Di setiap tangkai itulah teremas rinduku
Ke setiap jengkal lautan rasa.
Di pendar itulah, kasih
Sunyiku menjelma menjadi klise
yang tak sempat terangkai kata
Tetapi senyummu semerbak ranum pada mulut samudra
yang benar benar memanggilku pulang.