Ruang Tunggu
https://www.rumahliterasi.org/2022/03/ruang-tunggu.html
Cerpen: Joe Mawar
Saya sedang berada di sebuah ruang tunggu. Antre konsultasi ke dokter kandungan. Saya masih nomor antre 14. Kurang 5 orang lagi. Saya lihat sekeliling. Rata-rata ibu hamil ditemani seseorang. Ada suaminya, saudaranya, orang tuanya atau mertuanya, dan ada juga yang ditemani beberapa orang sekaligus. Terutama jika si bumil membawa anaknya yang masih kecil selain yang sedang dikandungnya.
Dan lihatlah diri saya. Sendirian. Seperti orang hilang. Sebagian orang melihat ke arah saya. Pasti terlihat aneh. Sesehat apapun seorang bumil pastilah ia butuh teman jika akan ke dokter memeriksakan diri. Tetapi saya sendirian saja. Dan saya berusaha biasa saja. Ini bukan pertamakalinya saya ke dokter Vitril sendirian.
Saya melihat jam di ponsel. Sudah jam 7 malam. Saya cek WA. Tak ada chat dari suami saya. Tak inginkah ia tahu sesuatu tentang saya saat ini? TERLALU, pikir saya gemas.
Saya mengalihkan perhatian dari ponsel. Sebuah mobil berhenti di depan klinik. Sepertinya saya kenal seseorang yang turun...
Semakin dekat jarak, dua perempuan yang berjalan bersisian itu semakin terasa familiar salah satunya. Nina? Batin saya berbisik. Dan Nina menoleh.
"Fia?" Nina menyapa saya, menghampiri saya.
"Nina?"
Kami tak segera berjabatan. Seperti adegan lambat sebuah film, melintas bayangan 12 tahun silam. Saya, Nina, dan Tian. Cinta segitiga kami yang berakhir dua segi. Saya kemudian memilih mundur. Membiarkan Nina dan Tian terus bersama. Segitiga beda sisi antar kami bertiga tak bisa terus ada. Sudut-sudutnya terus menusuk jantung. Saya tak mau mati karena cinta. Saya lepaskan Tian yang tak tegas. Nina lebih mencintai Tian daripada saya. Sedang saya masih lebih mencintai diri sendiri daripada seorang kekasih yang selalu bimbang memilih.
Sekarang kami bertemu. Di ruang tunggu ini.
"Kamu juga mau kontrol, Nin?" Cetus saya.
Nina melirik perempuan hamil yang datang bersamanya.
"Aku mengantarnya saja..." suara Nina lirih.
"Saudarimu-kah?"
Nina tak segera menjawab. Perempuan yang duduk tak jauh dari kami itu menunduk.
"Dia istri Tian..."
Saya tak bisa menutupi rasa terkejut.
Kabar pernikahan Tian dengan Nina yang saya dengar dulu, kelirukah?
Saya menatap Nina penuh tanya. Nina menghela nafas. "Kami istri Tian, Fia..." lirih suara Nina cukup jelas menyentuh pendengaran.
Saya menatap keduanya bergantian. Nina dan perempuan hamil itu. Saya tak tega bertanya lebih jauh.
"Fia...maafkan aku dulu..." Nina meraih tangan saya. Menggenggamnya.
"Untuk apa, Nin? Aku tak merasa ada yang salah padamu, pada kita...Tian lebih butuh perempuan sepertimu..." saya bersungguh-sungguh dengan kata-kata saya.
Tak dapat saya bayangkan bisa seperti Nina. Membagi kecintaannya. Pasti tak mudah. Mungkinkah karena Nina tak dapat memberi anak pada Tian? Atau....? Tetapi, bukankah laki-laki selalu punya alibi untuk membenarkan tingkahnya jika mendua hati?
"Nyonya Fia Fathan...!"
Saya menoleh pada asisten perawat di samping pintu ruang praktek dokter. Perlahan saya lepaskan tangan dari genggaman Nina. Saya mengangguk kecil pada perempuan hamil yang ditemani Nina itu. Istri Tian.
Dokter menyambut saya dengan senyum. "Sendirian lagi?"
Saya tertawa kecil. "Dokter sudah tahu jawabannya."
Saya pun diperiksa. Sambil menatap layar yang sedang merekam gerak janin saya, saya tiba-tiba begitu rindu pada suami. Seorang laki-laki yang sangat cuek dan terlalu percaya pada saya. Seorang laki-laki yang menjadikan pekerjaannya sebagai istri pertamanya, dan saya hanyalah istri kedua setelah pekerjaannya. Saya tiba-tiba lebih bersyukur bahwa dialah jodoh saya. Laki-laki yang tak romantis sama sekali dan terlalu yakin bahwa saya bisa mengatasi apapun tanpanya. Termasuk mengurusi kehamilan ini. Seolah hanya saya sendiri-lah penyebab kehamilan ini.
Laki-laki yang baru saya sadari bahwa ia sejuta kali lebih baik daripada Tian.
"Janinnya sehat...mamanya pinter, sih.." dokter menulis resep sambil mengerling.
"Lain kali rayu dong suaminya biar ikut lihat tingkah si janin..."
Saya meringis dan tersenyum kecut.
Saya meninggalkan ruang periksa dan berniat menghampiri Nina untuk pamit lebih dulu.
Saya melihat Tian. Tian menoleh mengikuti arah mata Nina yang seolah menunjuk saya. Tian masih seperti dulu. Mempesona. Sedetik saya tertampar oleh kenangan yang berkelebat cepat.
"Apa kabar?" Saya mengulurkan tangan lebih dulu. Tian nampak canggung menjawab sapaan saya.
"Maaf... Nina, Tian, mbak...saya pamit dulu...masih mau ke apotek..."
Saya membawa langkah saya yang terasa ringan.
Saya menyadari satu hal. Sungguh beruntung saya telah menjadi seperti saat ini....Nyonya Fathan yang terhormat...
Sumber: akun FN: Joe Mawar
Pilihan