Cinta yang Irasional
Oleh Kuswaidi Syafiie
Cinta ditakdirkan untuk tidak sepenuhnya masuk akal kecuali bagi para pecinta itu sendiri. Bahkan para pecinta itu sendiri bisa saja tidak sanggup merasionalkan cinta yang mereka rasakan. Karena sesungguhnya cinta itu merupakan sifat Tuhan dan karena itu tidak akan sepenuhnya tersentuh oleh keterbatasan makhluk-makhlukNya.
Bahkan terkadang yang namanya cinta itu wajib tidak masuk akal. Selama masih masuk akal, mungkin itu masih merupakan mukaddimah cinta. Sama sekali bukanlah cinta yang asli dan murni itu sendiri. Akal itu terlampau sepele untuk bisa mengukur, menakar dan melakukan investigasi terhadap cinta. Kecuali akal rabbani (ketuhanan) dan akal kulli (universal). Karena keduanya tidak lain merupakan produksi dari cinta itu sendiri.
"Sudah kujual segala sesuatu yang bisa kujual. Sudah kugadaikan apapun yang bisa kugadaikan. Untukmu Kekasihku," tulis Maulana Rumi dalam sepotong puisinya. Tidak masuk akal, bukan? Terutama bagi mereka yang waras yang tak pernah tersentuh oleh derita cinta.
Bahkan cinta yang suci itu, cinta ilahiat, sama sekali tidak gentar menukarkan segala kenikmatan dengan penderitaan atas nama kekasih tercinta. Di gorong-gorong cinta yang bernuansa transendental itu, bahkan segenap kegetiran tidak kalah nikmatnya dibandingkan dengan segala kelezatan dan kenyamanan hidup. Garis yang pejal dan menjadi pembatas di antara keduanya telah lama kalis.
Seorang pecinta bisa menyapa dan berbicara dengan apa saja, termasuk juga dengan makhluk-makhluk tak berakal yang dijumpainya. Karena baginya, apa saja bisa dijadikan sarana komunikasi untuk menyampaikan hasrat sucinya kepada sang kekasih. Bagi si pecinta, tidak ada apapun yang tidak mungkin. Hampir-hampir bisa diungkapkan bahwa segala yang mustahil menjadi ambrol di hadapan kekuatan dan greget cinta.
"Wahai angin malam, adakah di jalan engkau berjumpa dengan hati yang kebak dengan api, kebak degan cinta?" Demikianlah ungkap Maulana Rumi dalam salah satu bait puisinya dalam kitab Ruba'iyyat. Kalimat itu tidak saja merupakan mikrofon bagi dirinya sendiri sebagai sultan cinta, tapi juga mewakili siapa pun yang sedang tertimpa salah satu teofani Ilahi itu.
Seorang pencinta belajar kepada Allah Ta'ala bagaimana "menyulap" segala sesuatu menjadi kendaraan yang bisa dipakai setiap saat untuk berkomunikasi dengan sang kekasih dalam pemahamannya yang luas dan mendalam. Dan karena cinta itu merupakan sifat Allah Ta’ala, maka manusia sebagai tajalli hadiratNya yang paling lengkap dimungkinkan untuk "sekedar" kulakan kepadaNya sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Allah Ta'ala yang merupakan hulu sekaligus hilir, awal sekaligus akhir dari segala cinta yang merayap pada seluruh makhluk juga berfirman kepada apa saja sesuai kehendakNya. Berfirman kepada daun-daun, kepada angin, kepada hujan, kepada halilintar, kepada senja, kepada sepi dan lain sebagainya.
Jangankan kepada segala yang ada, kepada yang tidak ada sekalipun Allah bisa berfirman. "Ketika Kekasihku berfirman, yang tidak ada sekalipun langsung bisa punya telinga dan mendengarkan, juga respon dan patuh terhadap perintahNya," tandas Maulana Rumi dalam kitabnya Fihi Ma Fihi. Yaitu, ketika Allah Ta'ala mengucap "Kun" kepada segala "sesuatu" yang diinginkan untuk ada.
Sebagaimana pada puisi di atas, idiom tentang hati yang kebak dengan api dan luber dengan cinta itu sesungguhnya menunjuk kepada pecinta itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya di antara para pecinta itu ada pertalian yang kuat yang tak mungkin bisa terputus oleh berbagai macam persoalan dan huru-hara dunia.
Para pecinta kelihatannya banyak dan beraneka-ragam dengan variasi cinta yang nyaris tidak ada batasnya dari dulu hingga sekarang. Tapi sesungguhnya secara hakiki mereka itu satu. Utamanya mereka yang tenggelam dalam telaga cinta ilahiat. Sehingga muncul adanya adegium yang sudah dikenal secara umum: "Tidaklah mengenal seorang wali kecuali orang yang pangkat ruhaninya wali juga."
Itulah sebabnya kenapa mereka menjadi saling mengenal. Mereka juga saling mencinta di atas perjalanan ruhani yang menuju kepada absolusitas hadiratNya. Itulah pula sebabnya kenapa Allah Ta'ala memanggil mereka dengan idiom yang tunggal, tidak plural: "Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji'i ila rabbiki radhiyatan mardhiyyah/ Wahai jiwa (bukan jiwa-jiwa) yang tentram! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai."
Ya Allah, di tengah kecenderungan hidup yang makin materialistik dan tidak mendidik dengan baik ini, mohon gabungkanlah kami dengan para nabi, dengan para wali, agar tumbuh dalam diri kami kecintaan kepadaMu, agar pengabdian kami kepadaMu tidak terganggu oleh adanya rasa bosan dan muak yang nyaris tak tertanggungkan. Amin.