Sajak-sajak NayL Madridista
Negeri Seribu Menara
Kota impian,
Berdiri tegak di tengah-tengah umat
Bersama sejuta sejarah berubaiat
Di antara kejahilan hidup teramat pekat
Kau hadir sebagai kiblat
Bak cahaya di malam senyap
Kota impian,
Di sana, seribu menara pencakar langit biru
Serta dermaga untuk berlabuh
Menuntaskan dahaga yang melepuh
Pantaskah kami pijaki tanah muliamu
Tuk turut menikmati masnisnya ilmu?
Annuqayah, 01 Maret 2019 M.
Kesatria yang Hilang
(dedikasi menjelang luka di bulan mei 2021)
Rindu yang kau tumpah ruahkan
dalam secangkir kafein itu masih membekas
dan mendarah daging dalam tubuhku
di pertigaan jalan, kau ulurkan kasih
Aku pun berterima kasih
Lalu, kau berlalu memacu kuda hitammu
Sebentar, aku lupa penah menitipkan hati
Belum sempat ku ambil kembali
Namun, kau membawanya pergi
dan berlabuh ke lain hati
Sore itu kau memintaku untuk
berhenti menulis tentangmu?
Ah, seakan kau memintaku untuk
berhenti mecintaimu
Terlalu rumit untuk sekadar ditebak
Cerita kita berjalan seadanya
Mengalir
Berdesir
Berbuih
Datar dan bergelombang
Ada yang hilang dari arus deras hujan
Kopiku kau tumpahkan
Yang membekas hanyalah kenangan
Terima kasih untuk luka di bulan lalu
Semoga, Juni dan seterusnya
Tak ada luka serupa
Annuqayah, 14 Juni 2021 M.
Sore di Warung Bakso
Cerita yang dihabiskan percuma
Semangkuk bakso,
Saus tomat dan kecap
Kau menyodorkannya
Ah, iya. Aku melupakan coffee milk itu
“kopinya hambar?” tanyaku
Bagaimana tidak,
Gulanya sudah kau tumpas habis
Bumbui janji manismu kemarin.
“lalu, kenapa baksonya terasa asin?”
Bagaimana tidak,
Tetes demi tetes air mata bertumpahan
Lengkapi bumbu yang sudah diracik apik sang juru masak
“ah, warung bakso kenangan!”
Bisakah kita duduk sejenak
menghabiskan kopi yang telah kau biarkan dingin?
Sore itu masih panjang
Sedang kau terburu-buru
Tidak sempatkah untuk kau jelaskan
Barang dua atau empat menit saja?
Kau biarkan aku membeku menunggu kepastianmu.
Lubangsa, 9 September 2021 M.
Pendekar Biru
Luka bekas jemarimu masih hangat
Terbengkalai di sudut terminal bis kota
Hujan tak henti-hentinya mengguyur
Tetes demi tetesnya adalah takdir
Yang jatuh, mengalir, usai pergi ke hilir
Yang ditulis, pun usai abadi dalam puisi
Sepucuk kenangan membias luka
Sumbangsihnya cukup, sudah cukup.
Aroma nestapa tubuhmu menyeruak lekat
Kendati kau terlampau jauh.
Gedung Kiai Abdullah Sajjad, 11 September 2021 M.
Engkau, dan Perempuanmu yang Puisi
September menjelang musim hujan
Angin bertandang sendu
Rindu mengendap syahdu
Enam puluh enam hari
Disambut bunga Novembermu
Semesta merayakan kehadiranmu
“jangan abadikanku dalam puisimu!”, titahmu.
Masih saja,
Riak gelombang riuh menghantar
namamu ke Serambi Tuhan
Engkau, dan perempuanmu yang puisi
Mengabadikan luka yang tertuang dalam kenang
Terlalu naif kiranya jika aku tetap bertahan
Barang kali, seteguk harapan telah tertelan
Sebab dirimu, Tuan!
Engkau, dan perempuanmu yang puisi
Membawaku pergi jauh di kaki langit
Lubangsa, 12 September 2021 M.
Sepatu Asing
Sepasang sepatu abu-abu
Tergeletak di tanah
Berserakan di depan rak sepatu lain
yang tersusun rapi
Astaga! Sepatuku terasingkan di negerinya sendiri
Lubangsa, 12 September 2021 M.
Cerita di Musim Paceklik
Ini musim penghujan, Tuan!
Tapi, kenapa tanaman kami tidak tumbuh?
Tanah kami tidak subur
Gandum, padi, jangung,
Bahkan sehelai rumput pun tak ada
Apakah ini yang dinamakan musim paceklik orang kata?
Tanah kami tandus
Tak satu pun hendak singgah
Penduduk hati kami pun tengah resah
Terlalu banyak asumsi pekat seduhan air mimba
Mereka kehilangan asanya
Hingga kelurahan hati kami pun mati
Sebab tak ingin mengulang luka berkepanjangan
Lubangsa, 12 September 2021 M.
Garis Tangan
Bila aku tak termaktub di garis tanganmu
Sedang hujan masih mengguyur tubuh
Maka biarkan aku berteduh di wajahmu
Barang sedetik saja
Sebab, manakala kau berkedip
Bulu matamu menyapuku tenggelam di bola matamu
Bila aku memang tak termaktub di garis tanganmu
Izinkan aku menitipkan pijar purnama di hatimu
yang biasnya dapat menyalurkan energi ranum senyummu
Dan jika senyum itu bukan milikku lagi
Setidaknya, dedikasimu, ketulusanmu,
Pernah ada untukku dulu
Bila aku benar-benar tak termaktub di garis tanganmu
Terima kasih atas serumpun welas asihmu
Setangkai rasa yang pernah tumbuh,
Jua untaian luka yang telah lalu
Oktober, 2021 M.
Ta’ Taserrat
Sanajjan bula ta’ taserrat e garis tanangnga dhika
Nangeng ojhan ghi’ abaccae badhan
Maddha bula angawobha e salerana dhika
Ca’oca’ sakejjha’
Menangka, dhing dhika pon akeddhep
Bula tasellem e dalem socana dhika
Sanajjan bula tak taserrat e garis tanangnga dhika
Nyopre pangesto, matoro’a sonarra pornama e pangghaliyanna dhika
Se tera’na bhakal abadhi mesem
Tor mabhunga dha’ sadhaja se ngoladhi
Maske mesemma dhika banni dha’ bula pole
Namong kaestowanna toman ngabidhi rassa
Se sanonto ampon eghiba mole
Sareng dhika se nyampang e ate
Sanajjan bula ta’ taserrat e garis tanangnga dhika
Mator kaso’on dha’ sadhaja rassa, kabhungaan,
Tor loka se ampon tapongkor
Taneyan Lubangsa, 24 Oktober 2021 M.
Pangesto
“adante’ gettana bato”
Akantha dhika se toman esto
Nangeng ta’ sampe’ nyato
Aeng mata tabuwang parcoma
Atangese dhika sabab taresna
Oktober, 2021 M.
Pilihan