Tantangan Terbuka Bagi Pesantren
Yang nyaris tak saya temukan dalam pembahasan dan perbincangan ihwal sastra pesantren adalah peran vital sistem panutan dan hierarki kepemimpinan dalam kultur pesantren. Padahal bisa dibilang justru sistem inilah yang secara khas membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lain.
Pada mayoritas pesantren yang saya amati, pendidikan melibatkan banyak tenaga, antara lain alumni di sekitar pesantren dan santri yang sudah memasuki masa khidmah, yakni sudah tamat seluruh pelajaran wajibnya. Bagaimanapun tenaga pendidik ini umumnya secara keilmuan dan ketokohan dianggap/merasa berada di bawah kiai pengasuh (selanjutnya: kiai---tenaga pendidik lain lazim dipanggil ustadz). Mereka, sebagaimana seluruh santri aktif, tetap terikat etiket, misal yang paling mudah ditemukan: cium tangan kiai. Etiket ini memanifestasikan ketundukan dan pengakuan terhadap superioritas kiai.
Arah dan warna pesantren sangat bergantung pada kecenderungan ideologis kiai. Para santri dan ustadz akan berpemikiran sufistik---dengan tipikal karakteristik tidak ngotot dalam persoalan fiqhiyah---jika kiainya menitikberatkan ajaran tasawuf dalam mengelola pesantren. Demikian pula sebaliknya jika kiainya sangat peduli pada keberesan ibadah lahir, maka mereka yang ada di bawahnya akan memiliki kepedulian serupa. Nah, jika kiainya suka menulis atau paling tidak membaca karya sastra, maka tidaklah mengherankan bila di pesantrennya ditemukan komunitas santri penyuka karya sastra.
Tapi seperti dikatakan Binhad Nurrohmat, secara umum (kalau tidak seluruhnya) tujuan orang tinggal di pesantren adalah belajar agama, bukan sastra atau yang lain. Kalau semisal kiai pengasuh kebetulan dikenal menyukai beladiri karate, wajar belaka jika sejumlah santri ikut belajar karate, entah pada kiai itu sendiri atau di dojo luar pesantren. Kenapa? Ya karena roh pesantren adalah sistem patron. Apapun sikap, prinsip, dan kesukaan kiai akan ditiru.
Jadi sesungguhnya inilah faktor utama kenapa misalnya di An-Nuqayah Sumenep dan pesantren sekitarnya ditemukan banyak penyuka dan penulis sastra (dari kalangan santri). Bukan karena di pesantren diajarkan sastra (memang diajarkan ilmu sastra Arab melalui kitab semisal Al-Jauhar al-Maknun), melainkan sebab di situ banyak figur kiai yang dikenal menyukai puisi atau karya sastra lain. Anda boleh melakukan riset untuk membuktikan valid tidaknya klaim saya ini. Anggaplah ini tantangan terbuka. Anda akan melihat, hampir semua pesantren mengajarkan Balaghoh, namun cuma segelintir yang secara sadar berikhtiar membidani kelahiran penulis sastra.
Pilihan