Ironi Sejarah, Pahlawanan Indonesia (Persembahan untuk Ayahanda)
Saya saat ziarah ke kuburan ayah, di pemakaman Taman Makam Pahlawan Sumenep |
Puisi: Syaf Anton Wr
barangkali sudah begitu lama
kita saling berlupa pada hakikat tegur sapa
bahkan dalam bahasa yang sangat sederhana
kitapun mulai gagap
mengeja nama-nama pendiri negeri ini
bahkan dalam mimbar terbuka
begitu banyak potret sejarah yang terbingkai
dalam pigura-pigura batu, yang menyimpan deru
angan dalam album yang pucat, dingin dan kaku
dan tanpa sengaja kita telah mendirikan bukit cadas
museum kekekalan menghadang jejak-jejak kematianmu
yang kini terhapus dalam rangkaian buku sejarah
anak-anak sekolah tak lagi mengenal pahlawannya
bung, kini engkau datang kembali, meradang dalam berang
membakar bumi ini dalam ketidak-berdayaan kami
mempertanyakan hakikat yang engkau ajarkan
pada generasi kami
namun kami diamkan begitu saja,
karena kami tidak lagi punya api semangat
ketika sebuah negeri telah menjadi ladang belati
dan penguasa mengaku paling berarti
akhirnya kemerdekaan hanya menjelma retorika kata-kata basi
masihkah bernilai semangat juangmu
sedang lintas sejarah yang kami bangun justru meretaskan
ketidak mengertian kami
maka getarkanlah kembali jiwa pahlawanmu dalam gelisahku
tiupkan roh kejantanan dalam raguku
sebab orang-orang yang berbangga dengan menepuk dada
adalah muslihat, yang sebenarnya dialah pernghianat bangsa
karena mereka tidak tahu, apa arti semangat juang 45
bung, hanya kalianlah yang terpilih
yang meretaskan kemerdekaan negeri ini
bersama para kiai, santri, laskar hisbullah dan para syuhada
serta ribuan nyawa yang melayang dalam pahitnya isi dunia
sedang senapan dan bambu runcingmu,
semangat patriot yang kau kobarkan api dari lidahmu
kini telah menjadi sejarah yang dilupakan
karena sejarah telah menjadi rangkaian angka-angka
karena sejarah tak lagi punya nilai,
sebab terbungkam oleh kesombongan kami,
yang menistakan harga diri
karena sejarah telah menjelma jadi holako,
yang menghalalkan segara cara, dalam arah jalan yang beda
bila sejarah disalah artikan dalam angka-angka
akhirnya meniadakan massa, dari masa ke masa
bung, membaca sejarah dalam lipatan waktu
engkau kini terasa berdiri di depanku
dalam sorot tajam matamu, merah bara wajahmu
dalam teriakan-teriakan “merdeka atau mati, Allahu Akbar”
demikian dahsyat menggetarkan nuraniku
lihatlah generasimu kini, anak cucumu juga
yang telah digerus waktu demi waktu
berbaris, berbanjar mengepalkan tangan
namun tak mampu lagi mengucapkan kata-kata
kecuali hanya berharap dan bertanya-tanya
bung, sulutkan kembali jilatan api semangatmu
sebagaimana engkau bakar darah bangsa ini
menghadang, menggempur tentara sekutu
dan penghianat bangsa, sampai luka berdarah-darah
bung, masihkah kau sisakan apimu untuk kami
karena saat ini kami sedang menggantang semangat
untuk menggempur kembali para penghianat
yang kini telah bersekutu dalam jubah-jubah palsu
Allahu Akbar
2005
Pilihan