Anti Vaksin
Cerpen: Sa’ullah
Rabu, pukul 9.00, matahari masih juga belum menampakkan sinarnya karena mendung masih saja mengitari dan sejak waktu subuh pagi tadi jalanan kota diguyur hujar. Dedaunan di pinggir jalan masih basah. Jalanan juga becek. Suasana makin ramai, satu persatu warga yang berdatangan langsung bergabung dengan warga lainnya yang datang lebih awal. Ada yang membawa bendera kebanggaan bangsa, sang merah putih. Ada yang menenteng gulungan karton putih dan merah jambu. Mas Kardi sibuk menyiapkan tali rafia yang baru ia beli di toko pojok perempatan dekat lampu merah.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, serta teman-temanku semua, jika sudah siap semua, marilah kita masuk ke dalam lingkaran tali ini, tidak boleh ada yang keluar garis pembatas. Kita akan memulai aksi damai hari ini dengan tertib tanpa anarkis!,” seru Mas Kardi memberikan intruksi kepada warga yang berkumpul.
“Siaaap. Ayo, semuanya masuk ke dalam lingkaran tali!” tambah Suryadi dari barisan belakang, berteriak, memberi komando.
Warga masuk ke dalam lingkaran tali. Di barisan depan mulai menggelar gulungan karton yang bertuliskan “Tolak Vaksinasi” yang sudah dipersiapkan. Bendera pun diikat dan dikibarkan di ujung bambu berukuran dua setengah meter.
Barisan terus merayap menuju gedung DPRD Kabupaten Karang Harapan yang berjarak sekira 300 meter. Lagu-lagu perjuangan pun bergema, yel-yel aksi berkumandang dari mikrofon korlap aksi kian menambah stamina untuk terus bergerak.
Warga, aktivis kampus, dan kepemudaan berbaur menjadi satu dalam barisan aksi. Semua hanyut dalam gema perjuangan menolak rencana vaksinasi oleh pemerintah. Sementara itu, aparat keamanan terus memantau jalannya aksi. Mereka membuat pagar betis di area halaman gedung wakil rakyat. Pasukan siap siaga agar ada hal-hal yang tidak diinginkan.
“Kita tolak vaksinasi!,” teriak Mas Kardi, mengawali orasinya.
“Apakah kalian setujuu?” lanjutnya.
“Setujuu!” jawab massa, serentak.
“Saudara-saudara, kita bukanlah menolak rencana pemerintah untuk melakukan vaksinasi, tetapi, yang kita tolak adalah legalitas serta keamanan pasca vaksin. Vaksin yang direncanakan itu masih belum teruji keamanannya. Bukankah demikian, saudara-saudara?,” tanyanya dengan suara berapi-api, membangkitkan semangat para demonstran.
“Kita tahu, di media sosial telah banyak beredar berita yang menginformasikan bahaya vaksin ini bagi tubuh manusia, sungguh sangat berbahaya. Lantas, akankah rakyat menjadi kelinci percobaan?” lanjunya, memberikan argumentasi “di sejumlah negara sudah banyak makan korban, apakah kita akan diam saja?”
“Betuuul, kita tidak akan tinggal diam!” sambut massa, sambil mengacungkan tangan terkepal.
“Selain itu, vaksin yang akan diberikan kepada rakyat bukan produk dalam negeri, tetapi produk luar yang diimpor dari negara lain. Pertanyan besarnya adalah apakah negara kita ini memang tidak ada bahan untuk memproduksi vaksin? Kalian harus memaham bahwa negeri kita merupakan negara yang kaya raya. Sumber daya alam kita melimpah.” tegas Mas Kardi “begitu juga sumber daya manusianya sudah mumpuni. Masihkah kita terus membebek kepada negara lain? di mana nasionalisme kita?” tambah korlap aksi, dengan suara yang mulai serak.
Suara para orator makin membahana, menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kaca, menusuk pendengaran para wakil rakyat di dalam gedung berlantai dua itu. Korlap aksi bergantian menyampaikan aspirasinya. Ratusan massa tetap setia dan terus memberikan semangat kepada rekan-rekannya yang berorasi Tak terasa gerimis mulai turun menyertai aksi, namun tak menyurutkan semangat massa menyuarakan aspirasinya.
“Kalau tidak ada respon dari wakil rakyat kita, ayo kita dobrak saja pintu pagar ini, kita masuk dan temui mereka!” suara Suryadi muncul dari barisan paling belakang dengan nada tinggi, memprovokasi.
Suasana semakin gaduh, massa mulai keluar dari garis pembatas. Dua orang dari mahasiswa yang memakai jas kampus langsung melompati pagar. Massa mulai terpancing provokasi tadi.
“Tolong, dengarkan kata-kata saya, jangan anarkis, tidak boleh brutal, jangan sekali-kali ada yang keluar dari tali pembatas!” perintah Mas Kardi lewat mikrofonnya. Ia terus berusaha menenangkan massa.
“Saudara-saudara, sekali lagi, saya minta tolong, semua peserta aksi tetap di tempat semula!” teriak komandan keamanan dari kap mobil komando, memberikan perintah.
“Saudara semua adalah masyarakat terpelajar, bapak-bapak, ibu-ibu, dan adik-adik mahasiswa harus sadar bahwa negara kita adalah negara hukum. Oleh karena itu, apabila ada permasalahan di antara kita sebagai warga negara yang taat pada hukum seharusnya dimusyawarahkan bersama sesuai koridor hukum yang berlaku. Mari kita tempuh sesuai aturan konstitusi kita!” komandan keamanan memberikan penjelasan kepada massa.
“Silakan perwakilan dari peserta aksi untuk berdialog dan menyampaikan aspirasinya kepada wakil rakyat kita.” lanjut komandan menawarkan solusi.
Setelah melalui lobi-lobi, lima orang perwakilan massa masuk ke ruang gedung untuk menemui ketua dewan. Mas Kardi, Suryadi, perwakilan perempuan, serta perwakilan mahasiswa masuk ke gedung dewan. Mereka menghadap kpada ketua dewan yang didampingi anggotanya. Diskusi mereka cukup alot. Perwakilan massa mendesak ketua dewan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah yang akan melakukan vaksinasi supaya digagalkan.
Massa tetap bersikukuh menolak vaksinasi. Alasannya, karena vaksinasi ini belum jelas keamanannya terhadap tubuh manusia pasca vaksin. Selain itu, vaksin yang dipakai bukan produk dalam negeri. Semua alasan itu berdasarkan isu-isu dan pemberitaan yang menjamur dan beredar di media sosial.
Dua puluh menit perwakilan massa berdialog dengan ketua dewan dan sebagian anggotanya. Sesuai kesepakan bersama, ketua dewan akan menemui massa di halaman gedung. Massa tetap tak beranjak menunggu hasil musyawarah wakil-wakil mereka. Mereka tetap berharap tuntutan mereka dikabulkan, yakni tetap menolak vaksinasi covid-19. Setelah itu, ketua dewan keluar dan menemui massa.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, adik-adik mahasiswa yang sangat kami banggakan, syukur Alhamdulillah kita masih bersua di tempat ini.” ketua dewan memulai pidatonya.
“Kita sebagai warga negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum, apabila ada suatu masalah yang menyangkut nasib warga negara, maka setiap permasalahan yang terjadi di antara kita hendaknya disandarkan pada aturan hukum yang ada.” Pak Subakti sebagai ketua dewan memberikan penjelasan kepada massa, penuh wibawa.
“Perlu kita ketahui bahwa setiap ada kebijakan pasti ada pro dan kontra di antara kita. Perbedaan pandangan itu terjadi karena cara memahami terhadap suatu masalah yang terjadi dilatari bermacam faktor. Di antaranya, perbedaan sudut pandang di antara kita. Ada pula munculnya perbedaan itu karena tingkat kapasitas berpikir kita yang berbeda. Bahkan, kadangkala perbedaan pandangan itu didasari perbedaan haluan politik yang seakan tak pernah hilang. Demikian halnya yang terjadi di akhir-akhir ini adanya program pemerintah untuk melakukan vaksinasi covid-19 yang masih ada pro dan kontra di kalangan masyarakat.” urai Pak Subakti.
“Perwakilan Saudara-saudara menyatakan tadi bahwa yang melandasi adanya penolakan vasinasi ini atas dasar isu-isu yang yang beredar di media sosial, pemberitaan yang tidak seimbang, postingan-postingan yang tidak jelas sumbernya. Hal itu, menjadi dasar utama menolak vaksinasi covid-19 ini. Padahal, dalam pelaksanaan vaksinasi ini sudah ada SOP standar yang harus dilakukan. Artinya, tidak semua warga negara yang ada langsung divaksin begitu saja.” tambahnya.
“Maaf, Pak, apakah ada jaminan bagi kita nanti ketika selesai divaksin sudah aman dari covid-19?” tanya Suryadi dari tengah barisan.
Pak Subakti tersenyum ketika mendengar pertanyaan tersebut. Ia menghela napas dalam-dalam sambil memperbaiki posisi berdirinya. Lalu, ia memandangi massa satu persatu seakan mendiagnosa seluruh peserta aksi.
“Pertanyaan yang sangat bagus,” seru Pak Subakti “terkait dengan pertanyaan apakah setelah divaksin sudah aman dari ancaman covid-19? Saudara-saudaraku, vaksinasi itu merupakan bagian dari ikhtiar pemerintah untuk menjaga kesehatan setiap warga. Selanjutnya, terkait komposisi vaksin yang akan digunakan itu bukan wewenang saya untuk menjelaskan, melainkan merupakan wewenang pihak kesehatan untuk menjawabnya” jawab Pak Subakti.
“Kalau demikian halnya, bahan vaksin itu belum jelas kehalalannya, Pak?” sanggah Suryadi.
“Untuk menjawab hal itu, kami siap memfasilitasi kalian dengan pihak kesehatan untuk berdialog langsung kepada mereka” Pak Subakti menawarkan.
“Sudahlah, Pak. Kami tetap menolak vaksinasi covid-19, titik!” suara Suryadi menghentak.
Tanpa dikomando massa berdiri dan mengamuk. Bambu, kayu, batu, dan botol air mineral berterbangan ke arah Pak Subakti. Amarah mereka tak terkendali. Massa merusak apa saja yang ada di depannya, pintu pagar dirobohkan, kaca jendela gedung hancur berantakan. Suasanan makin kacau. Gas air mata yang ditembakkan tak mampu meredam keadaan.
Aparat keamanan pun kewalahan meredam aksi yang kian anarkis. Ketua dewan menjadi sasaran amukan massa. Darah segar menetes dari pelipis kirinya. Suara tembakan peringatan tak dihiraukan. Mereka makin beringas. Lolongan sirine mobil polisi dan ambulans bersaut-sautan mendekati kantor dewan.
Korban berjatuhan dari pihak demonstran dan keamanan. Ibaratnya, nasi sudah jadi bubur. Halaman gedung dewan terkepung asap dari ban bekas yang dibakar. Pos jaga dekat pintu masuk juga dilalap api. Kericuhan kian meluas ke jalanan. Mereka memblokade jalan dengan kayu dan ban-ban bekas. Para pemilik toko di pinggir jalan lari berhamburan keluar. Keadaan makin sulit dikendalikan.
*****
Sa’ullah atau nama agak kerennya S. Abi Nu’man adalah seorang yang terlahir dari keluarga petani di desa. Saat ini bagian dari staf pengajar di SMPN. 1 Kalianget, Sumenep yang masih aktif sebagai guru yang terus belajar tanpa batas.