Puisi-puisi R. Qusyairi Guluk-guluk
https://www.rumahliterasi.org/2021/06/puisi-puisi-r-qusyairi-guluk-guluk.html
R. Qusyairi Asal Bragung, Guluk-guluk Sumenep Madura. Santri Annuqayah daerah Latee 1. Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah. Aktif di komunitas sastra Café Latte 52. Baginya puisi adalah kenyataan; mendekap kenangan untuk kebahagiaan di masa depan. Beberapa karyanya pernah dimuat di koran Jawa Pos Radar Madura, Suara Merdeka Jawa Tengah, majalah, dan bulletin pesantren Annuqayah.
Monolog Kesaksian
; untuk RA. Kartini
Aku membaca matamu, seperti terik yang tak ‘kan kalah dengan hujan. Seperti buku tebal yang tak kunjung selesai. Seperti hati yang lebam, tetap mengeja tanpa sesal. Seperti embun terhempas angin tetap bekaskan dingin.
Aku kembali beku, melihat sekumpulan sajak, buku-buku, majalah-majalah, koran-koran, yang menjadikanmu buah mulut peradaban. Sungguh sampah yang berkata kau kosong; tak mengandung suatu apa; makhluk terbelakang dari barisan perempuan.
Aku menjulang dari lembar-lembar surat yang panjang. Menempuh anak benua di belahan dunia. Dalam baris kata yang kau tulis, tersurat gaum perjuangan untuk para puan. Termasuk aku dan anak cucu.
Aku getir dalam penantian juga pertemuan. Berpikir panjang dalam celah kalimat-kalimat persaksian. Sebab pada pundakmu puan di negeri ini tertopang tanpa wajah-wajah masam ditikam budaya kelam.
Aku bukan hendak menertawakan sejarah yang ada. Masa lalumu terkungkung, darahku beku aku tercenung. Nampak bagiku teriakan batin luar biasa, kalahkan debum senjata angkara. Dari ini semua lapisan menunduk, merasakan dahaga yang sudah sirna.
Madura, 08 Januari 2021
Hujan Hari Ini
hujan kenangan
rindu pun runtuh berserakan
sarwono rupanya mengintai
masihkan aku dengan harapan sebagai pinkan
yang ambigu karena penantian
namun tak resah oleh kepastian
Madura, 05 Januari 2021
Mata Malam
sungguh senyap, Kekasih
hanya cumbu gemintang
nampak terang saat beberapa makluk bumi mulai telentang
terlihat pula endapan rindu di dadanya
serupa ampas kopi
tertinggal di meja makan, sepi
Mata Malam
sungguh senyap, Kekasih
hanya cumbu gemintang
nampak terang saat beberapa makluk bumi mulai telentang
terlihat pula endapan rindu di dadanya
serupa ampas kopi
tertinggal di meja makan, sepi
Annuqayah, 05 Juli 2020
Cermin Permohonan
di atas air
sedang berkaca darah pekat
yang sesekali mengkilat
mengejar, menukar karam
agar benar-benar tak hinggap
apa yang lalu-lalu
; kenangan semoga hilang mengendap
Cermin Permohonan
di atas air
sedang berkaca darah pekat
yang sesekali mengkilat
mengejar, menukar karam
agar benar-benar tak hinggap
apa yang lalu-lalu
; kenangan semoga hilang mengendap
Annuqayah, 12 Juli 2020
Getir
suatu hari nanti aku takut
tanganku berubah batu
kaku sekakukakunya kaku
sulit menggenggam puisi yang berkelana
suatu hari nanti aku takut
curam di teluk bahasamu
menjadi alasan, kau suruhku diam
sebatas mencabut rumput
menakar nasi dan lauk pauk
suatu hari nanti aku takut
kedap di celah kata
membuat aku malas membaca
raba dan luka hati yang menganga
kapan saja
Getir
suatu hari nanti aku takut
tanganku berubah batu
kaku sekakukakunya kaku
sulit menggenggam puisi yang berkelana
suatu hari nanti aku takut
curam di teluk bahasamu
menjadi alasan, kau suruhku diam
sebatas mencabut rumput
menakar nasi dan lauk pauk
suatu hari nanti aku takut
kedap di celah kata
membuat aku malas membaca
raba dan luka hati yang menganga
kapan saja
Annuqayah, 12 Juli 2020
Pilihan