Sajak-Sajak Farisah Irwayu, Flores Timur
Farisah Irwayu, lahir Papilawe, 12 Desember 2001 asal Papilawe, Rt.002, Rw.001, Desa Nubalema, Kec. Adonara Tengah, Kab. Flores Timur, NTT. Kini sedang bekerja di Universitas Islam Nusantara Bandung. Email farisahirwahyu@gmail.com
Lentera Kehidupan
Kala sang surya beranjak ke peraduannya
Senja mengantarkan malam penuh gulita
Berteman sinar bintang yang berkilau
Angin malam nampak merasuk hingga ke kalbu
Pohon-pohon kehidupan nampak lelah
Ranting yang dulunya kokoh kini mulai patah
Dalam kehidupan yang semakin bodoh
Seruan mulut nampaknya tak lagi berfaedah
Di balik gubuk tua Bunda
Lentera kehidupan kian bercahaya
Meski tidur hanya beralaskan tikar semata
Asal jangan hidup di atas kata dusta
Dari zaman reformasi hingga revolusi
Keadilan seakan tak lagi berarti
Ketika kemodernan mengikis sedikit demi sedikit peradaban
Hingga sejarah kemanusiaan bukan lagi sebuah keindahan
Lentera kehidupan kian redup
Sebab jendela kehidupan dipenuhi dengan kebodohan
Di tengah revolusi yang siap melahap
Kebijakan hanyalah sebuah skenario yang dipertontonkan
Katanya hidup di zaman modern
Lantas mengapa yang berkembang adalah kebobrokan moral?
Semakin hari lentera kehidupan kian dipadamkan
Menjadikan bumi adalah kegelapan yang merindukan penerangan
Lentera kehidupan kini hanya menjadi sejarah
Menjadi saksi dari tangan yang merangkai kalimat puitis
Hingga kebodohan yang semakin berkuasa di akhir usia senja
Dan kebohongan yang menjadi perisai dari kata yang berwibawa
Bandung, 28 Mei 2020
Tak Ku Kejar Lagi
Kita usai
Cukup sampai disini
Aku pamit
Bersama luka teramat pahit
Kita usai sampai disini
Silahkan kembali berlayar
Lekaslah berlalu dari dermaga hati
Agar luka ini tak lagi terbakar
Lekaslah pergi
Aku tak akan mengejar
Bukan sebab tak lagi ada rasa di hati
Hanya ingin kamu tahu bahwa yang ku suka tak selamanya akan ku suka apalgi ku kejar
Lekas kemas bualanmu
Tak usah pamit
Sebab hanya memperdalam luka yang lalu
Biarlah tetap begini agar hati tak lagi sakit
Silahkan pergi dan takkan ku kejar
Kini ku sadar
Kamu hanya singgah
Bukan menetap-berlabuh
Selamat berlayar
Semoga waktu tak mempertemukan kita kembali
Sekalipun takdir, akan kuhapus semua tentang rasa ini
Akan ku pinta pada Tuhan, hapus semua takdirku tentangmu
Bandung, 30 November 2020
Hujan Di Waktu Senja
Soreku tak begitu indah
Ujung barat tertutup awan hitam
Sang jingga seakan takut dibalik sinar temaram
Gelap mencekam bermadikan peluh
Hujan di waktu senja
Kota kembang dibasuh rintik hujan
Gemercik airnya adalah alunan melodi paling merdu nan syahdu
Tiap tetesnya adalah sentuhan yang memanjakan
Aku berdiri di tepian balkon rumah
Menyaksikan berbagai macam cara mereka menikmati hujan
Menari dalam derasnya hujan
Riang gembira seakan tak memikul beban apalagi masalah
Ku tarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan
Ada sesak yang begitu menikam
Ada ribuan rasa kini membengkak dalam diam
Ada berjuta pilu yang ku kubur dalam kenangan
Hujan diwaktu senja
Ku rasa waktu begitu kejam
Tak membiarkanku sedikitpun mengolesi luka di dada
Lagi dan lagi, hujan kembali membasuh luka kelam
Tidakkah waktu sedikit berpihak kepadaku?
Membiarkanku sedikit mengecup manis bahagia
Mewarnai kisahku dengan warna-warni tawa
Melukis hari dengan sapuan kwas terbaik
Mencintaimu iti seperti bermain di bawah rintik hujan
Aku tahu, aku akan sakit namun aku akan selau setia berdiri hingga hujannya berhenti
Begitu pula rasaku, aku tahu lukaku kian menganga namun langkahku tak pernah berpijak sejengkalpun
Aku telah terjatuh, aku kalah, dan kamu adalah pemenangnya
Bandung, 19 Oktober 2020
Sekuntum Mawar
Ini bukan tentang aku ataupun kamu
Ini tentang kisah sekuntum mawar
Dipupuk dengan tangan-tangan penuh cinta agar tumbuh subur
Hingga akhirnya, ia layu dalam dekapmu
Sekuntum mawar ku genggam erat
Memapah hati dalam kurun sepi
Di tengah keramaian jiwaku sunyi
Jiwa gundah rasa berkalut
Kala genggaman jemari menengadah
Degud jantung bergemuruh nengharu-biru
Mulut tak lagi berucap-keluh
Sepenuh hati doa mengutik haru dalam qalbu
Sekuntum mawar dalam genggaman
Hati kini lapuk memerah
Dusta kiat merambat menikam asa dalam kemunafikan
Hingga rasa ini perlahan mati karena lelah
Aku pernah berbisik pada senja
Berharap diriku adalah dermagamu berlabuh
Menjadi tempat pulangmu setelah mengarungi samudera
Namun, tampaknya diriku bukanlah satu-satunya dermaga
Sama halnya dengan sekuntum mawar yang layu lalu lapuk
Begitupun dengan hati yang luluh lantak
Sekuntum mawar gugur dalam genggaman
Dan hati mati dalam kenangan
Sekuntum mawar
Terima kasih sudah pernah berjuang bersama
Melewati masa-masa kritis demi sebuah kehidupan
Meski pada akhirnya, kehidupan itu pulalah yang mematikan
Bandung, 03 November 2020
Tentang Hujan
Novemberku tak begitu suka
Namuk tidak juga begitu pilu
Semesta menangis pada senja pertama
Seakan november berselubung duka-pilu
Hujan di bulan november
Memainkan dawai-dawai nadanya
Mengalirkan melodi indah dalam sukma
Tiap rintiknya menyampaikan makna bersyukur
Hujan
Tak ada yang bisa menjaga rahasia sebaik hujan
Kala menangis, ia mendekap mesra penuh cinta
Membisikan kata penenang jiwa
Hujan
Tiap tetesan airnya adalah kenangan
Terkadang meninggalkan luka dalam kubangan
Ataukah berlalu tanpa pamitan
Hujann
Tiap rintiknya adalah kehidupan
Jatuh beriringan bergandengan tangan
Membasahi bumi memberi wewangian
Tentang hujan dan kamu
Sama-sama sumber kehidupan
Sumber tawa dan kenangan
Hanya saja, hujan lebih tahu bagaimana cara mendekap lebih baik darimu
Aku begitu iri dengan hujan
Dia bisa memelukmu kapanpun dan dimanapun
Menghirup aroma tubuhmu yang memabukkan
Hingga berakhir basah beriringan
Tentang hujan dan dirimu
Ketika tangan tak dapat menggapaimu
Ku harap tetasan air hujan dapat menyapamu pada tiap senja
Membisikan pesan dariku yang mencintaimu tanpa batas waktu
Bandung, 03 November 2020