Tujuh Kardus Diary Pesantren, Mengantar Endang Kartini Jadi Novelis
Endang Kartini saat memaparkan materinya |
Pesantren merupakan pendidikan tradisional yang ada di Indonesia. Pola pendidikan yang ada di pesantren secara mendasar yakni ditekankan pada kedisiplinan menggunakan waktu dan istiqamah mengkaji berbagai literatur keilmuan.
Segala aktivitas santri dalam pesantren sudah terjadwal dengan ketat. Waktu mereka mulai dari mandi, masak, shalat, hingga mengaji kitab sudah diatur sedemikian rupa. Santri selam 24 Jam telah memiliki waktu yang sangat terstruktur.
Hal itu yang menurut Endang Kartini bikin santri memiliki ide-ide cemerlang untuk dituangkan ke dalam bentuk tulisan atau buku. Keterbatasan santri dengan dunia luar membuat mereka hanya akrab dengan literasi.
“Jadi curhatan kita itu tertuang dalam buku catatan,” katanya kepada Santrinews saat mengisi acara “Bincang Kreatif” di Rumah Literasi Sumenep pada Jumat, 18 Desember 2020.
Alumnus Pesantren TMI Al-Amien Prenduan Sumenep kini sukses menjadi penulis novel (Novelis). Menurutnya, keterbatasan santri tidak bisa pegang Gadget (Handphone) mendidik mereka jadi lebih kreatif. Hal itu membuat santri memiliki waktu tersendiri untuk bertafakkur.
“Mereka bisa atur waktu lebih baik. Di pessantren sudah terlatih untuk menulis dan fokus bagi waktu,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Santri di pesantren selama 24 jam tidak akan pernah lepas dari kegiatan literasi (baca-tulis). Sehingga, sambungnya, hal remeh temeh seperti memasak, mandi, dan menunggu kiriman uang dari orangtua jadi tulisan.
Kesuksesannya menjadi Novelis tidak lepas dari pola pendidikan yang ada di pesantren. Ia terbiasa menulis sebab pesantren. Kemajemukan warga pesantren sering menjadi isnpirasi tulisan – tulisannya. “Di pesantren ada banyak karakter. Kita lihat dari teman – teman kita yang beragam dari berbagai daerah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, seorang penulis harus memiliki dua kekuatan. Yakni kaya bacaan, kedua banyak menulis dan fokus. Dua kekuatan itu merupakan pendidikan dasar yang ada di pesantren. Maka tidak aneh kalau banyak santri yang sukse menjadi penulis besar. Semisal Novelis Best Seller Ayat – Ayat Cinta Habiburrahman.
Ia mengungkapkan, kebiasaanya menulis di pesantren mengalahkan koleksi kitabnya. Seteleh lulus dari pesantren Endang memiliki 7 Kardus Diary (buku harian). Sedangkan koleksi kitabnya hanya 6 Kardus.
Novelis asal Kota Bekasi ini mengungkapkan, literasi merupakan ibu dari ilmu pengetahuan. Bahkan, tegasnya, suatu daerah akan lebih maju di berbagai sektor baik sosial, ekonomi dan pendidikan bila letarasinya kuat. “Literasinya kokoh, pasti kehidupannya lebih baik,” pungkasnya.
Endang Kartini telah menulis dua Novel serangkai, Ali dan Aisyah. Kini sedang menggarap novel ketiganya. Proses kreatifnya tiap novel ia habiskan menulis kerangka novelnya berkisar 1,5 tahun. Sedangkan menulis rangkaian alur novelnya ia garap selama 1,5 bulan. (ari)
Tulisan ini bersumber dan telah tayang di jatim.santrinews.com,