Sajak-Sajak Durrotun Adilla, Bangka Belitung
Durrotun Adilla. Santriwati, asal Bangka Belitung ini kini duduk di Kelas V DIA-A TMI Pi Al-Amien Prenduan. Ia penikmat embun pagi dan senja dan juga Aktif dikepengurusan dalam Bidang Bahasa, asal Tanah Melayu, Laskar Pelangi, Sumatra. Kini juga aktif sebagai Pengurus Bidang Bahasa dan juga aktif di Komunitas Literasi
*****
Di Warung Makan Padang
----Setelah lelah menyusup tubuh, pelangi membias warna melebihi tujuh-----
Ingin ku baca kembali raut wajah mu
Yang bersemayam di puncak malam
Menjadi pemanis sayap-sayap tidur
Meski banyak pertanyaan belum terjawab
Maka biarlah hidangan ini kita santap
Agar lapar tak lagi berteriak kalap
Dan kekosongan akan terisi dengan sedap
Ayah, kenapa kita pergi kesini ?
Aku tak mau menjadi pemandu sunyi
Degup jantungku tak lagi berbunyi
Nafsuku hilang tuk makan nasi
Jadi, bagaimanalah rendang menyesap kenyang
Kalau matanya dari tadi tak berhenti mencuri pandang
Sebelum akhirnya ku hapus bimbang
Tuhan, biarlah mataku mengusir gersang,
Menjadi kembang, agar ia lekas tenang.
Tak usah kau sodorkan sendok itu
Biarlah jemariku menuang kuah
Sejumput ayam dan sayur basah
Karena ku takut, jika kau papah,
Pipiku bersemu merah dan salah tingkah
Kelak, semua tak sampai piring dan malah tumpah !
Aduuhh,, ku mohon menjauhlah..
Seharusnya taqdir menggelar satu meja untuk dua piring
Dan kita dapat menikmati sajian malam ini
Melempar kata yang kelak kan kita kenang bersama
Di bawah atap warung makan padang ini,
Kisah kita akan lebih dari episode kedua
Kau tau kenapa anggrek suka menjadi parasit ?
Padahal pohon enggan menjadi penampung
Sebab masakan basi tak pernah menjadi minat
Walau sambalnya menarik semangat
Itulah kenapa ku menyesali kesempatan
Saat ku dapati ada seuntai parasit yang memgikuti
Menabur jarak, menggulung harap
Bahwa taqdir tak menggelar satu meja untuk dua piring,
Melainkan empat bahkan delapan !
Adapun semilir senyum manismu
Meluapkan resah dan gelisah ku
Maka, kubiarlah mereka tetap bercakap
Karena aku pun begitu padamu
Selama tak putus irama lagu kita
Semua kan tetap baik-baik saja..
Barangkali warung makan padang ini
Merupakan persembahannya untuk kita
Yang menyesap rindu diantara aroma-aroma
Untuk kita mengenal do’a
Tanah melayu, Juni 2020
Gemuruh Rindu
Lagi-lagi pada lembayung senja kali ini
Ku menabuh gemuruh rindu ramai berbunyi
Sorak sorainya yang menguar nun jauh di lubuk hati
Membuat ku semakin tak berdaya tuk menepi
Cakrawala senja itu semakin jelas
Menukik langit dengan jingga samarnya
Dan aku harus kalah dengan nostalgia
Yang kembali mengulur masa-masa indah kita
Dalam mentari pagi terbangun
Dalam terik siang terangsang
Dalam gelayut senja menyapa
Dalam kerlip malam terjaga,,
Hingga kelak tertidur kembali
Untuk mengubur semua mimpi-mimpi
Yang enggan meraba pucuk-pucuk kanopi
Kitalah,sebuah keniscayaan yang berani
Mengukir di atas air..
Kitalah, sebuah kemustahilan yang tanpa ragu
Menapaki jejak-jejak pelangi
Prenduan, awa1 November 2020
Kaki Senja
Senja,
Untuk tidak menyebut namamu
Sebagai hak milik bagiku.
Andaikata aku bukanlah jingga yang temaram,
Tak susah bagi kita melukis langit menderang
Tapi aku bukanlah langit !
Mampu memelukmu di ujung peraduan
Walau ku punya kesempatan
Bukanlah alasan bagiku tuk tak tertawan
Selatan, 18 November 2020
Nahkoda Usang
Senja, nahkodaku usang
Layarku tumbang
Bahteraku kusam.
Aku bisa apa?
Jika para penumpang,
Menoreh banyak kekurangan
Berharap diriku,
Solusi jitu segala itu
Senja, aku sungguh tak tau
Pada siluet taqdir yang berjibaku
Memelukku berbisik sesuatu
Perihal nahkoda kan ku bawa kemana
Prenduan, 22 november 2020
Kepada; Embun Pagi
Aku tak pernah paham kendati embun
Yang suka merangkai angan diam sendirian
Menapaki jejak-jejak silam dan kini
Yang ia arti dalam hati
Sebenarnya siapalah pemilik fiksi dan diksi?
Jika hanya milik burung-burung terbang,
Lantas akan sulit sekali tuk gapai bukan?
Tapi, aku tak pernah paham kendati embun
Utara, akhir November 2020