Feeling Something
Cerpen: Siti Nur Khotijah
Mungkinkah semua itu
Bisakah aku merindu?
Apakah ada waktu?
Mampukah aku?
Aku mencintainya, cinta yang mampu ku sembunyikan di balik sikap dan keluguanku untuk tidak mengatakannya. Begitupun dengan kamu, ternyata kau tak berbakat menerjemahkan perasaan seseorang. Pernahkah kau berjalan mundur dan menghadapi kebaikan ku yang lugu, seakan menyatakan bahwa aku sedang baik-baik saja. Aku perempuan yang katanya ditakdirkan memiliki kepekaan yang tinggi, harapan yang terlalu besar pula, hingga aku menggenggammu terlalu erat hingga kamu enggan.....
Aku harus berkemas dari hati yang tercecer di jalan, adakalanya aku harus membungkam rasa walau ada goresan luka. Aku sadar, ini memang terlalu jauh untuk ku gapai, ibarat langit dan bumi yang tak dapat mempersatukannya, perasaan yang berdebar saat ini, aku harus membunuhnya dengan tidak sabar dalam keadaan sadar. Sungguh, tak pernah terbayangkan sebelumnya akan sesakit ini, Aku kira cinta yang bergelut dalam diriku bisa seperti disinetron yang berakhir dengan happy ending seperti di di FTV yang sering aku tonton, namun kini aku menyadari terkadang cinta tak selamanya bahagia.
Aku memahami keputusanmu yang lebih memilih berteman. Aku hanya bisa tersenyum, tanpa harus mengatakan ‘’Aku sakit’’. Iya sakit, Sakit karena sesorang yang aku harapkan memberikan cintanya kepada yang lain. Keputusan yang awalnya membuatku terpuruk karena serpihan luka, lambat laun aku akan menyadari hal itu sebuah keputusan yang bijak.
Bukan lebih dulu siapa yang jatuh kemudian terluka, melainkan karena sebuah rasa yang tidak dapat diterjemahakan dan dirangkul bersama dan hanya sepihak belaka. Rasanya memang sakit, ketika aku harus terbuang dari pilihan dan aku rasa butuh waktu lama untuk mengobati. Semua perasaan yang aku pendam selama ini akan tertutupi dengan ‘’Status Persahabatan’’.
‘’Fina, aku rasa, lebih pantas lagi jika diantara kita tidak ada rasa, aku hanya ingin kamu menjadi sahabat terbaik yang aku kenal, ’’ ungkapmu tanpa merasa bersalah.
‘’Baiklah, jika itu keputusan yang terbaik untuk kita, aku akan menerimanya,’’ jawabku dengan perasaan kecewa.
Ia meninggalkan aku sendiri, pergi tanpa permisi
***
Ketika aku mengingatnya kembali semenjak kejadian beberapa hari itu, rasanya sakit. “Aditia kamu takut, jika aku terlalu jauh masuk dalam kehidupanmu,” keluhku dalam hati.
Entah aku harus beruntung atau tidak pernah mencintai laki-laki bersolidaritas tinggi atau bahkan aku harus menyesali mencintai laki-laki yang tidak bisa memberikan sebuah ruang untuk aku singgah walau sebentar.
“Aditia, ma’afkan aku yang diam-diam masih memperhatikanmu dari jauh, aku hanya ingin tahu bagaimana keadaanmu ketika kamu jauh dari aku,”. Entah mengapa perasaan ini terus menghantuiku
Aku hanya mampu berdo’a tentang rasa yang tak sempat aku lontarkan dan hanya mampu terselipkan disepertiga malam ku...
‘’Ya Allah........izinkanlah diri ini bersimpuh hanya kepada mu, jagalah hati dan cintaku hanya dan atas mu, jangan kau biarkan setiap langkah dan hentakan hati ini melangkah untuk mencari cinta selain untuk Mu, Berilah hamba Mu waktu untuk senantiasa bertasbih dan memuji mu Ya Rabb, karena aku percaya skenerio Engkau Ya Rabb jauh lebih indah dari rencana hamba mu’’.
Hari demi hari ku lalui dengan indah nya belajar dan merajut cerita, karena aku tidak akan porak-poranda karena cinta, justru dengan hal itu aku harus berjuang demi masa dimana aku ingin melihat senyum bahagia dari orang-orang tersayang, terutama orang tua ku. Empat tahun bukanlah waktu sebentar.
Tetapi, siapa sangka, ternyata aku perlu waktu selama itu untuk benar-benar sembuh dari luka kemarin, dan bukan hanya sekedar mengobati luka dan ‘’mengikhlaskan’’. Kata itu tak memiliki arti diruangku, kala cinta merajai, aku rasa itu bukan cinta, tetapi hanya keegoisan ingin memiliki.
Perasaan ini sangat dalam sehingga aku memilih untuk memendamnya. Jangan terlalu menyesali apa yang terjadi. But, kita harus bisa menentukan seperti apa kita terbangun keesokan harinya, bersemangatkah? atau justru capek melihat kenyataan?.
Dear Perempuan.....
Jika kelak kalian terjebak dalam sebuah perasaan
Diam adalah pilihan
Karena diam yang paling tenang adalah mendo’akan bukan hanya sebatas kata-kata belaka
Karena mendo’akan adalah cara yang paling rahasia....
Good bye Kenangan, Welcome Masa Depan, Happy Time And Happy Day........!!!!
*****
Siti Nur Khotijah, lahir di Sumenep, 1 Juni 2002. Ia tinggal di desa Pakondang, Kec. Rubaru, Kab. Sumenep. IG : nenkkhotijahkhotijah, email: khotijahn406@gmail.com