Mendongeng di Sekolah
OIeh: Eko Santosa Pendongeng, Eklin Amtor De Fretes . foto : bir (terasmaluku.com) Keith Johnstone (1999) menjelaskan bahwa mendonge...
https://www.rumahliterasi.org/2018/07/mendongeng-di-sekolah.html
OIeh: Eko Santosa
Pendongeng, Eklin Amtor De Fretes . foto : bir (terasmaluku.com) |
Keith Johnstone (1999) menjelaskan bahwa mendongeng atau bercerita (storytelling) merupakan produk seni budaya kuno. Hampir semua suku bangsa di dunia memiliki tradisi mendongeng. Mereka menggunakan dongeng untuk mengajarkan sejarah dan nilai-nilai kehidupan pada generasi yang Iebih muda.
Proses penyampaian dongeng ml dilakukan dengan cara yang khusus dan cenderung sakral di mana semua anggota suku duduk berkumpul bersama dan setelah melakukan satu ritus tertentu, dongeng di sampaikan oleh tetua adat. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Dongeng yang disampaikan biasanya berisi tentang asal-muasal suku tersebut serta nilal-nilal luhur yang diwariskan para pendahulu yang perlu dijunjung. Dongeng ml dianggap terjadi secara nyata dan menjadi satu-satunya pelajaran hidup yang diteladani oleh semua anggota suku.
Seiring perkembangan zaman dongeng tidak hanya sekedar sebagai media penutur sejarah dan nilai antargenerasi tapi juga dapat dijadikan media pembelajaran di sekolah bahkan ekspresi seni. Di Eropa dan Amerika storytelling (bercerita atau mendongeng) menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dan perkembangan kehidupan manusia. Sejak kecil anak-anak diajar melalui dongeng yang dicenitakan atau dibacakan oleh orang tua mereka sebelum tidur. Hal ml telah berlangsung lama dan membudaya sehingga dunia pendidikan pun perlu mengadaptasinya.
Dongeng di sekolah
Viola Spolin (1986) memasukkan storytelling sebagai media pembelajaran di kelas. Kekuatan cerita naratif Ia gunakan untuk membina konsentrasi dan kerjasama antarpeserta didik. Dongeng di tangan Spolin tidak berdiri sendiri dan hanya sebagal dongeng yang sekedar untuk diceritakan tetapi juga dimainkan. Guru dan siswa berperan aktif dalam membangun cerita dan mereka mainm ainkan secara bersama-sama.
Apa yang dikerjakan Spolin sebetulnya bisa dijadikan model untuk mengembangkan dongeng di sekolah. Meski ketika dongeng disampaikan secara lisan atau dibacakan sudah memiliki kekuatan imajinatif, namun jika penyajiannya dibuat variatif pasti akan Iebih hidup. Dengan demikian, dongeng bisa merambah ke berbagal sisi atau bidang tidak hanya berkutat di sastra dan bahasa saja. Memang perlu tahapan sistematis untuk mengembangkan atau mengubah dongeng menjadi satu pertunjukan kreatif, tetapi jika hal itu mungkin dilakukan — terutama di sekolah — kenapa ticiak?
Jika mengacu kepada kamus bahasa Indonesia, maka dongeng dapat diartikan sebagal cerita yang tidak benar-benar terjadi. Secara luas, mendongeng bisa diartikan sebagal membacakan cerita atau mengomunikasikan cerita kepada seseorang. Entah itu cerita nyata, tidak nyata, atau pengalaman hidup. Jadi, bukan hanya memperdengarkàn cerita rakyat (tradisional) yang sering kita baca atau dengar di kala masih kecil. Dengan batasan arti di atas, dongeng memiliki wilayah jangkauan yang luas yang bisa bersumber dan apa saja. OIeh karena itu, terbukalah kemungkinan menggali sumber dongeng sebanyak mungkin untuk diubah dan disesuaikan berdasar tujuannya.
Proses penyampaian dongeng ml dilakukan dengan cara yang khusus dan cenderung sakral di mana semua anggota suku duduk berkumpul bersama dan setelah melakukan satu ritus tertentu, dongeng di sampaikan oleh tetua adat. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Dongeng yang disampaikan biasanya berisi tentang asal-muasal suku tersebut serta nilal-nilal luhur yang diwariskan para pendahulu yang perlu dijunjung. Dongeng ml dianggap terjadi secara nyata dan menjadi satu-satunya pelajaran hidup yang diteladani oleh semua anggota suku.
Seiring perkembangan zaman dongeng tidak hanya sekedar sebagai media penutur sejarah dan nilai antargenerasi tapi juga dapat dijadikan media pembelajaran di sekolah bahkan ekspresi seni. Di Eropa dan Amerika storytelling (bercerita atau mendongeng) menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dan perkembangan kehidupan manusia. Sejak kecil anak-anak diajar melalui dongeng yang dicenitakan atau dibacakan oleh orang tua mereka sebelum tidur. Hal ml telah berlangsung lama dan membudaya sehingga dunia pendidikan pun perlu mengadaptasinya.
Dongeng di sekolah
Viola Spolin (1986) memasukkan storytelling sebagai media pembelajaran di kelas. Kekuatan cerita naratif Ia gunakan untuk membina konsentrasi dan kerjasama antarpeserta didik. Dongeng di tangan Spolin tidak berdiri sendiri dan hanya sebagal dongeng yang sekedar untuk diceritakan tetapi juga dimainkan. Guru dan siswa berperan aktif dalam membangun cerita dan mereka mainm ainkan secara bersama-sama.
Apa yang dikerjakan Spolin sebetulnya bisa dijadikan model untuk mengembangkan dongeng di sekolah. Meski ketika dongeng disampaikan secara lisan atau dibacakan sudah memiliki kekuatan imajinatif, namun jika penyajiannya dibuat variatif pasti akan Iebih hidup. Dengan demikian, dongeng bisa merambah ke berbagal sisi atau bidang tidak hanya berkutat di sastra dan bahasa saja. Memang perlu tahapan sistematis untuk mengembangkan atau mengubah dongeng menjadi satu pertunjukan kreatif, tetapi jika hal itu mungkin dilakukan — terutama di sekolah — kenapa ticiak?
Jika mengacu kepada kamus bahasa Indonesia, maka dongeng dapat diartikan sebagal cerita yang tidak benar-benar terjadi. Secara luas, mendongeng bisa diartikan sebagal membacakan cerita atau mengomunikasikan cerita kepada seseorang. Entah itu cerita nyata, tidak nyata, atau pengalaman hidup. Jadi, bukan hanya memperdengarkàn cerita rakyat (tradisional) yang sering kita baca atau dengar di kala masih kecil. Dengan batasan arti di atas, dongeng memiliki wilayah jangkauan yang luas yang bisa bersumber dan apa saja. OIeh karena itu, terbukalah kemungkinan menggali sumber dongeng sebanyak mungkin untuk diubah dan disesuaikan berdasar tujuannya.
***
Tulisan bersambung: